Survei SMRC: Mayoritas publik tidak lagi percaya PKI dapat bangkit

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Survei SMRC: Mayoritas publik tidak lagi percaya PKI dapat bangkit
SMRC juga menemukan publik yang percaya PKI bisa bangkit kembali merupakan pendukung Partai Gerindra, PAN dan PKS

JAKARTA, Indonesia – Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) merilis hasil survei mereka pada Jumat, 29 September di kantornya di area Menteng. Dalam survei bertajuk ‘Isu Kebangkitan PKI: Sebuah Penilaian Publik Nasional’, SMRC bertanya kepada 1.220 responden secara acak pada periode 3-10 September. 

Sayangnya, usai dicek dari 1.220 responden, hanya 1.057 responden yang opininya dianggap valid. Hasil survei tersebut memiliki margin of error sekitar 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. 

Salah satu temuan SMRC menunjukkan jika sebagian besar responden tidak percaya bahwa PKI bisa kembali bangkit.

Overwhelming majority sebanyak 86.8 persen dari 1057 responden memang mengatakan tidak setuju dengan adanya isu kebangkitan PKI. Hanya 12.6 persen dari mereka yang setuju,” ujar Direktur Program SMRC Sirojudin Abbas pada Jumat kemarin.

Isu kebangkitan PKI dan ideologi komunis selalu menjadi perbincangan jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Tetapi, di tahun ini, isu tersebut kembali marak dengan adanya instruksi pemutaran kembali film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ yang datang langsung dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Sirojudin menemukan hal unik lainnya dalam survei mereka. Terkait dengan 12,6 persen responden adanya kebangkitan PKI, SMRC menemukan jika mereka berasal dari kalangan pemuda yang berusia kurang dari 21 tahun, terpelajar, tinggal di perkotaan, aktif mengakses informasi, berpendapatan tinggi dan beragama Islam.

“Ini kan mestinya yang punya pengalaman langsung terhadap situasi politik zaman PKI. Jadi, seharusnya usia yang lebih tua, di atas 55 (tahun) lah. Ternyata ini menarik sekali, malah berasal dari golongan muda,” kata dia.

Tak hanya latar belakang secara demografis, preferensi politik responden juga sudah dikaji oleh SMRC. Jika ditelusuri para responden yang mempercayai kebangkitan PKI ternyata juga mendukung PKS, Gerindra dan PAN. Selain itu, pada Pilpres 2014 lalu, kelompok responden ini mengaku memilih paslon Prabowo-Hatta Rajasa.

Temuan SMRC ini beririsan dengan unjuk rasa “Bela Rohingya” yang dilakukan oleh PKS pada 16 September lalu. Adanya koalisi dari pendukung ketiga partai ini, juga ditunjukkan dengan kehadiran Ketua Umum Gerindra, Prabowo dan mantan Ketua PAN, Amien Rais pada acara itu.

Sirojudin juga menambahkan tujuan dimasukkan unsur preferensi politik responden adalah untuk memberikan data yang lebih komprehensif.

“Penting kami uji, karena kami ingin mengetahui ke mana kecenderungan arah politiknya. Apakah mereka punya irisan kencederungan pilihan dengan parpol atau tokoh tertentu,” kata dia.

Jokowi terafiliasi dengan PKI?

Di lokasi yang sama, Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola juga sepakat dengan paparan survei SMRC. Menurut Tamarin, isu bangkitnya PKI lebih merupakan manipulasi elit. Jadi, tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi kekuatan politik.

Hasil survei SMRC lainnya juga menunjukkan jika 75,1 persen responden tidak setuju Presiden Joko Widodo terkait dengan PKI. Hanya 5,1 persen orang yang setuju dengan pendapat tersebut.

“Kalau kita menilai seseorang itu komunis atau marxis, itu persyaratannya harusnya banyak sekali. Kadang orang-orang itu mencampuradukkan,” kata Tamrin.

Ia pun mengingatkan masyarakat tidak boleh sembarangan untuk memberi cap kepada seseorang, terutama mengenai ideologinya.

“Kalau mau nilai Pak Jokowi, kita harus menilai kebijakan-kebijakannya. Kalau saya nilai, dia itu jelas bukan komunis, bukan marxis, tapi seorang kapitalis negara atau state capitalism. Jadi, dia ingin membesarkan capital lewat BUMN-BUMN yang dimiliki negara. Bukan capitalism yang swasta,” katanya.

Ia juga membuka fenomena menarik mengenai demografis wilayah yang setuju dengan isu kemunculan PKI. Daerah-daerah yang dulu pernah menjadi basis PKI, ternyata sekarang beralih menjadi basis dari ISIS.

Fenomena ini bisa ditelaah melalui sosial budaya dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang berkarakter kolektivistik, mengutamakan kerukunan serta religius, cenderung tertarik dengan organisasi atau komunitas yang menjadi “penyelamat hidup” mereka. Dalam hal ini, PKI maupun ISIS menjadi magnet bagi mereka.

Tamrin juga menilai PKI sulit untuk kembali bangkit di Indonesia. Apalagi sudah ada aturan yang jelas melarang itu.

“Saya kira memang masih ada orang yang punya ideologi komunis dan berpikir kekiri-kirian, namun yang dilarang di Indonesia itu adalah marxism sebagai ideologi yang disiarkan ke publik,” katanya.

Di sisi lain, temuan SMRC ini sempat dikritik oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan, Salim Said. Ia mempertanyakan soal hasil survei yang kemudian dikaitkan dengan dukungan bagi partai politik tertentu.

“Apa penting mengemukakan survei yang berkaitan dengan pendukung Prabowo dan beberapa parpol lain? Saya kira kita harus berhati-hati,” kata Salim.

Namun, ia sepakat bahwa isu kebangkitan PKI sudah tidak lagi berdasar. Komunisme, dalam pandangannya sudah bangkrut.

The more you talk, the more you’re in trouble. Saya kira ini yang memprovokasi ketakutan orang, bahwa PKI bangkit,” tuturnya.

Spekulasi kepentingan

Menurut Salim yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu bukan ingin membangkitkan kembali PKI ala DN Aidit. Justru mereka ingin mencabut TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 agar isunya mengambang.

“Selama ini kan yang ditakuti oleh para elit mencari tahu siapa yang bersalah pada tahun 1965. Siapa yang dimaksud para elit? Ya, terutama tentara itu. Jadi, ini soal kepentingan juga,” katanya.

Peneliti senior dari LIPI Syamsudin Haris pun mengamini jika isu kebangkitan PKI ini dieksploitasi untuk kepentingan politik. Bahkan, ada indikasi untuk menaikan elektabilitas jelang Pilpres tahun 2019.

“Ini sifatnya elitis. Saya merasa ada eskalasi kekuatan untuk Pemilu tahun 2019, penggalangan massa. Isu ini juga memang diciptakan dan bukan secara natural,” ujar Syamsudin.

Ia mengaku tidak menemukan adanya fokus dari isu kebangkitan PKI yang kini tengah ramai diperbincangkan. Lagipula, di negara-negara yang berpaham komunis, menurutnya, tidak terlalu mementingkan isu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Jadi, menurutnya, isu kebangkitan paham komunis dan PKI hanya digunakan untuk kepentingan politik semata. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!