Benarkah Pangkalan Udara Halim menjadi ‘markas besar’ PKI?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah Pangkalan Udara Halim menjadi ‘markas besar’ PKI?
Wawancara dengan mantan Panglima AURI Omar Dani tentang G30S

 

JAKARTA, Indonesia – Omar Dani disebut oleh Marsekal Madya Purnawirawan Boediardjo sebagai sosok yang senantiasa berpegang pada kata-kata yang pernah diucapkannya.  Di depan Mahmilub, mantan Menteri Panglima AURI saat terjadinya Gerakan 30 September pada tahun 1965 itu menyatakan bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan anak buahnya.  Namun dia menolak tuduhan terlibat dalam G30S.  Bahwa dia Soekarnois, tidak disangkalnya.

Sebagaimana dimuat dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965, di depan Mahmilub, Omar Dani menyatakan ajaran Bung Karno menjadi satu-satunya pegangan politiknya.  “Sebagai pimpinan Angkatan Udara, dia menginginkan setiap insan AURI menjadi ‘kleine Soekarnotje”, atau Soekarno-Soekarno kecil.”

Buku yang terbit pada tahun 2000, dan digagas oleh Purnawirawan AURI itu, juga mengutip pendapat Boediardjo dalam bukunya Siapa Sudi Saya Dongengi.  “Sejarah AURI mencatat saya sebagai Angkatan 45, sedangkan Omar Dani Angkatan 50.  Semula saya lebih senior, tapi kemudian menjadi deputinya ketika dia menjadi KSAU.  Omar Dani yakin benar bahwa Bung Karno sungguh-sungguh pemimpin besar dan ia telan mentah-mentah indoktrinasi Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme),” tulis Boedihardjo, yang pernah menjabat Menteri Penerangan.

Omar Dani dituduh terlibat dalam peristiwa G30S PKI.  Dia dijatuhi hukuman mati.  Dalam pelaksanaannya, dia mendapat pengurangan hukuman menjadi seumur hidup. Dia akhirnya dibebaskan setelah menjalani hukuman selama 32 tahun.

Dalam buku yang disusun oleh tim sejarawan yang dipimpin wartawan senior Aristides Katoppo, dimuat pula wawancara panjang yang dilakukan oleh Kolonel (Purn) JMV Soeparno, mantan Kepala Dinas Penerangan TNI-AU dan Letkol (Purn) H. Mohamad Cholil, mantan Pamen Pusat Sejarah ABRI.  Wawancara itu berjudul :  Saya bertanggung jawab.

BACA : Menyingkap Kabut Halim 1965, G30S Versi Purnawirawan AURI

Berikut cuplikan wawancara berkaitan dengan keterkaitan Omar Dani dengan peristiwa G30S, terutama kehadirannya di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma:

Pertemuan yang Bapak pimpin malam hari pada tanggal 30 September (1965), apakah Bapak dapat mengingat perwira-perwira yang hadir?

Almarhum Komodor Udara Dewanto, waktu itu menjabat sebagai Deputi Men/Pangau Bidang Operasi (DMPO), kemudian Deputi  Men/Pangau Bidang Logistik Komodor Udara Andoko, Almarhum Komodor Udara Leo Wattimena sebagai Panglima Komando Operasi Angkatan Udara (Pangkoops), selain itu hadir pula Letnan Kolonel Udara Heroe Atmodji.  Jabatan Letkol Heroe bukan Direktur Intelijen, tapi Asisten Direktur. Semula Komodor Dewanto mau menaikkan jabatannya, tapi saya tidak menyetujui (catatan: Deputi Operasi Komodor Udara Dewanto waktu itu juga merangkap sebagai Direktur Intelijen Departemen AU).  Malam itu juga hadir Laksamana Muda Udara Makki Perdanakusuma yang waktu itu datang untuk minta tandatangan saya pada surat yang ada hubungannya dengan luar negeri.

Dapatkah Bapak menguraikan kembali secara kronologis dan alasan mengadakan pertemuan malam tanggal 30 September itu?

Saya ingin memulainya dari awal, yang mendorong diadakannya pertemuan itu.  Hari itu, sekitar Pukul 16.00 WIB, Letkol Udara Heroe datang ke rumah untuk menyampaikan info bahwa dia memperoleh informasi akan terjadi sesuatu malam itu di Angkatan Darat.  Heroe mengatakan akan ada gerakan penculikan terhadap beberapa jenderal di Angkatan Darat.  Karena beritanya tidak masuk akal, lalu saya perintahkan untuk dicek dulu.  Saya katakan: “Cari info lagi, nanti pukul 8 kamu datang ke sini lagi.” Kemudian saya minta para deputi datang untuk mendengarkan info yang diperoleh Letkol Heroe. Jadi bukan briefing dari saya, tetapi mendengarkan laporan Heroe Atmodjo itu.

Apakah istilah yang digunakan pengambilan para jenderal atau penculikan?

Kalau tidak salah mendengar, disebut…diculik begitu untuk dihadapkan kepada Bung Karno.  Gerakan ini akan diadakan oleh perwira-perwira muda, dan mendapat dukungan dari bawahan serta para pegawai sipil.  Mereka ini merasa tidak puas dengan keadaan di dalam AD, khususnya mengenai kesejahteraan, kenaikan pangkat, perumahan, kesehatan, jaminan sosial dan lain-lain.

Pukul berapa selesainya pertemuan yang dimulai pukul 20.00 WIB itu?

Pertemuan untuk mendengarkan hasil pengecekan Heroe Atmodjo selesai sebelum pukul 10 malam.  Tapi masih dilanjutkan dengan bicara-bicara sampingan, seperti pertanyaan Laks. Makki kepada Pak Heroe: “Kalau informasi itu betul, bahwa Kujang, RPKAD, panser dan infanteri sekian batalyon, kan berarti sudah sebesar divisi.  Masa Pangdam tidak tahu?”

Apakah ada semacam kesimpulan sebagai hasil laporan informasi yang diberikan Letkol Heroe itu?

Sebetulnya mengenai isu Dewan Jenderal, kita sudah mengetahui lama. Tapi mengenai akan adanya penculikan, saya meragukan kebenarannya. Apa betul….wong Angkatan Darat itu pengaruhnya dalam masyarakat sudah begitu besar.  Kalau terjadi, akibatnya bisa besar sekali.  Ini yang kita takutkan.  Kemudian saya bicarakan dengan staf yang hadir pada malam itu (catatan: Mantan Deputi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Laksamana Udara (Purn) Makki Perdanakusuma dalam wawancaranya di Jakarta, 2 Februari 1999, mengatakan dia sulit mempercayai info itu.  Kesan itu juga terbesit dari sikap Komodor Leo Wattimena dan Komodor Andoko. “It’s hard to believe…Could it be? Sepertinya sesuatu yang tak mungkin, tanpa terdeteksi adanya suatu gerakan waktu itu di tengah-tengah situasi konsentrasi pasukan di Jakarta menghadapi HUT ABRI, 5 Oktober).

Apakah dalam laporan Letkol Heroe itu, selain penculikan para jenderal disebutkan pula tentang Dewan Revolusi dan keterlibatan PKI dalam gerakan itu?

Tidak ada.  Hanya menyebutkan adanya suatu gerakan dari Angkatan Darat yang mendapat simpati dari bawahan seperti tadi saya ceritakan.

Tidak pula disebutkan bahwa kalau gerakan itu gagal, maka akan mundur ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma?

Tidak ada, sama sekali mengenai hal itu tidak disebut-sebut.

Bagaimana sikap Bapak waktu itu dalam menanggapi info penculikan para jenderal seperti yang dilaporkan Letkol Heroe Atmodjo?

Saya banyak mengetahui kondisi sosial di lingkungan Angkatan Darat. Waktu itu saya menjabat sebagai Panglima Komando Mandala Siaga, sehingga mengetahui keadaan-keadaan sosial, apalagi bawahan.  Memang dapat dikatakan di Angkatan Udara dan ALRI itu yang paling baik.  Saya banyak sekali mendengar dari Brigjen Achmad Wiranatakoesoemah, Wakil Panglima Kolaga yang juga menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad. Jenderal Achmad ini banyak bercerita mengenai keadaan intern Angkatan Darat, seperti kondisi asrama para prajurit bawahan yang menyedihkan.  Antara lain bagaimana perwira-perwira menengah hidup di kampung-kampung menyewa rumah sendiri. Seperti Siliwangi (Kodam VI/Siliwangi) hanya punya dua buah asrama yang wajar.  Selebihnya bekas sekolah, bekas onderneming dipakai sebagai asrama.

Misalnya, Bung Karno setiap hari Senin kembali ke Jakarta, karena Jumat siang pulang ke Bogor, senantiasa terganggu pikirannya melihat perumahan yang ditempati anggota Angkatan Darat di Cibinong.  Pohon-pohon dari perkebunan karet sebelah Selatan Cibinong dibabat dan kayunya langsung dibikin perumahan untuk Kostrad.  Kemudian dibandingkan dengan asrama AURI di daerah Cilodong (Asrama Skuadron Peluru Kendali).  Setelah melihat itu, Bung Karno kemudian memanggil Deputi Operasi Angkatan Darat, Mayjen Moersjid.  Dimintanya melihat asrama itu dengan helikopter bersama Presiden.  Mayjen Moersjid ditanya Bung Karno, bagaimana AURI bisa bikin begini, kok kalian begitu.  Kisah ini diceritakan oleh Koloner Udara Kardjono, ajudan dan penerbang pribadi Presiden, yang menerbangkan helikopter pada peristiwa itu.

Adakah pertimbangan lain, kenapa Bapak tidak menyampaikan info akan adanya rencana penculikan kepada pimpinan Angkatan Darat?

Saya kira Jenderal Yani sudah pasti mengetahui keadaan di Angkatan Darat seperti itu.  Begitu dia menjadi Men/Pangad pada Juni 1962, Jenderal Yani pernah mengatakan: “Saya mau mendemobilisasikan anggota Angkatan Darat itu sebanyak 65.000 orang dalam lima tahun.”  Mendengar hal itu saya langsung bertanya: “Yang menampung siapa, karena kira-kira 13.000 per tahun atau lebih dari seribu orang per bulannya.  Bagaimana kalau AURI yang menampung karena sedang butuh orang.”  Jenderal Yani langsung mengatakan: “Tidak mungkin.  Wong tidak bisa menulis dan membaca.” Sampai dia meninggal, program demobilisasi itu tidak bisa dijalankan.  Jenderal Yani tentunya sudah memahami keadaan di dalam AD seperti itu.  Kalau saya bilang Jenderal Yani pada saat menjadi Men/Pangad tidak memiliki kekuasaan, tentu bisa menimbulkan kemarahan di kalangan Angkatan Darat.  Waktu itu kekuasaan riil masih di tangan Jenderal Nasoetion dan Mayjen Soeharto.  Dalam pembelaan di depan Mahmilub saya mengatakan, pernah secara terbuka berbicara dengan Jenderal Yani mengenai hubungan Angkatan Darat dan angkatan-angkatan lainnya.  Hadir antara lain Men/Pangal dan Men/Pangak.  Seperti biasa Men/Pangal Laksamana Madya RE Martadinata yang paling blak-blakan kalau membicarakan hubungan antar angkatan ini.  Laksdya Laut Martadinata mengatakan kepada Jenderal Yani, kalau dibutuhkan baru diperlakukan sebagai angkatan.  Ketika itu Jenderal Yani menolak anggapan tersebut.  Martadinata mengatakan: ”Ya, kau tidak, tapi anak buahmu itu…lo!”.

Kemudian dijawab lagi oleh Jenderal Yani: “Ah tidak.  Angkatan Darat belum pernah sekompak sekarang ini.”  Saya terus bilang: “Sudah tiga kali kamu perintahkan Deputi Operasi-mu di depanku untuk menyerahkan radar guided artillery pada AU, tapi belum juga dilaksanakan.”  Waktu itu AURI punya SAM-2 (Surface to Air Missile-2).  Kalau diluncurkan, sampai ketinggian tertentu belum dapat dikendalikan oleh sistemnya, sehingga membutuhkan suatu alat yang namanya radar guided artillery untuk “menutup” ruangan di bawah ketinggian tertentu tadi dan merupakan satu kesatuan dengan SAM-2.  Akan sangat efisien bila AD menyerahkan alat itu ke AU dan AD bisa beli keperluan lain untuk AD.

Setelah ada pengumuman G30S melalui RRI pagi hari, Bapak selaku Men/Pangau mengeluarkan Perintah Harian.  Dapat dijelaskan?

Sewaktu mendengarkan pengumuman itu pagi hari melalui siaran RRI jam 07.00 WIB, saya langsung berpendapat, kok sama dengan yang dilaporkan Heroe (Letkol Heroe Atmodjo).  Dari bicara-bicara malam itu (tanggal 30 September di Wisma Angkasa), Heroe menyarankan perlu membuat pernyataan AURI.  Setelah mendengarkan siaran itu, terus saya membuat pernyataan Men/Pangau, yang saya konsultasikan dengan Komodor Udara Leo Wattimena sebagai Pangkoops.  Beliau setuju dan naskah itu saya kirim ke Depau agar dikonsultasikan dulu dengan Komodor Udara Dewanto, Deputi Operasi, sebelum dikirim ke RRI.  Tapi ketika mendengar bahwa Panglima Tertinggi ABRI mau datang ke Halim, saya pikir konsep itu perlu disesuaikan dulu dengan pendapat Bung Karno.  Maka saya minta agar jangan dikirim ke RRI dulu.  Pernyataan itu baru jam 13.00 WIB disiarkan.

Mengenai D.N Aidit, apakah Bapak mengetahui dia berada di Halim?

Tidak.  Saya mengetahuinya di kemudian hari dari persidangannya Soejono (Mayor Udara Soejono, anggota Dewan Militer Polit Biro PKI yang dikepalai Aidit, red).  Kata Soejono, pada malam tanggal 30 September itu ia membawa Aidit ke Halim, ke rumah seorang sersan dan sebelumnya mampir di rumah mertuaku di Ie Straat, sekarang namanya Jalan Otto Iskandardinata III di Polonia, Jatinegara.  Menggedor pintu di sana, dikiranya saya tidur di sana.  Saya mendengar dari mertuaku, kalau Soejono mampir di situ.  Rupanya setelah menggedor rumah mertuaku, lalu malam itu juga menggedor saya di Halim.  Tidak berhasil bertemu, terus ke rumah Pak Santo (Komodor Susanto, mantan Komandan Pangkalan Halim yang masih tinggal di komplek rumah dinas di Halim, red).  Soejono tidak pernah melaporkan keberadaan Aidit itu kepada saya, mantan Komandan Halim Komodor Susanto, maupun Komandan Halim Kolonel Udara Wisnoe Djajengminardo.

Agaknya ada yang mengait-ngaitkan kehadiran Bung Karno di Halim dengan Bapak dan D.N Aidit, seakan-akan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma menjadi markas G30S

Iya.  Di situlah krusialnya.  Bung Karno, saya dan Aidit, tiga-tiganya berada di wilayah Halim sebagai sebuah fakta.  Tetapi harus diketahui, Bung Karno dan saya berada di Koops kemudian jam 11.00 pindah ke rumah D-1, yang dihuni Pak Soesanto, dan kami tidak pernah tahu bahwa Aidit berada, atau lebih tepat disembunyikan di rumah sersan di komplek bintara pasukan.  Anehnya, sekarang ini setelah saya sudah dibebaskan, ada Jenderal Besar yang ngotot mengatakan bahwa Halim sebagai markasnya PKI.  Dia tidak mengetahui bahwa sayalah yang memerintahkan Kolonel Udara Wisnoe untuk kirim pesawat menjemput mertuanya ke Bandung.  Ada permintaan via telepon dari Laksamana Muda Udara Makki Perdanakusuma kepada saya untuk menjemput Ibu Gondokusumo agar dapat mendampingi cucunya, Ade Irma Suryani yang tertembak G30S.  Anak laki-laki Ibu Gondo bernama Broer, ikut berangkat ke Bandung naik pesawat C-47 “Dakota” untuk penjemputan.  Kan tidak pantas kalau saya mengatakan bahwa Broer pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965 itu, berada di “markas besar PKI” di Halim.

Pernahkah ada niatan Bapak mengarahkan AURI menjadi komunis?

Tidak.  Tidak pernah.  Dulu, ketika mmenjadi saksi dalam persidangan Kolonel Sudiono, saya ditanya, “Pernahkah saksi belajar Marxisme.” Saya menjawab,”Pernah, sewaktu belajar di Royal Air Force Staff College di Inggris.”  Oditur dan hakim yang bertanya tidak percaya.  Lalu saya katakan: “Di Eropa tahun 1957-an, adalah dianggap uncivilized atau tidak beradab kalau tidak memahami Marxisme.  Coba tanyakan ke Zairin Zain yang menjadi Dubes Jerman Barat atau Profesor Soepomo atau Pak Sunaryo yang saya kenal jadi Dubes di London.  Marxisme sebagai ilmu pengetahuan perlu dipelajari, tidak perlu ditakuti.  Kita belum mengetahui, apakah teori Marxisme yang sedang diterapkan oleh uni Sovyet atau RRC itu berhasil atau tidak.  Ini perlu dipelajari.  Waktu saya pada suatu malam datang di Sekolah Komando Angkatan Udara, saya didatangi beberapa perwira.  Salah satunya kalau tidak salah, Mayor Saleh Basarah.  Ditanyakan, kenapa diajarkan Marxisme?  Saya jelaskan, NATO mempelajari komunisme karena musuhnya orang komunis.  Di sini semua perwira adalah perwira terpilih dan yang diharapkan pandai memilah-milah.  Sebab pengetahuan Marxisme (ceramah) yang diberikan di Seskau bukan indoktrinasi

Setelah 52 tahun peristiwa itu, sebagian pihak masih alergi dan menganggap belajar paham Marxisme adalah kegiatan yang harus dilarang. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!