Kisah di balik kematian Johannes Marliem dan aliran dana ke pejabat di Indonesia

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah di balik kematian Johannes Marliem dan aliran dana ke pejabat di Indonesia
Kepada penyidik KPK, Johannes sempat mengaku sudah bernegosiasi uang suap yang akan diberikan kepada Setya Novanto

JAKARTA, Indonesia – Usai dinyatakan meninggal akibat luka tembak di bagian kepala, tabir kematian Johannes Marliem perlahan-lahan terkuak. Laman Star Tribune yang terbit pada Sabtu, 30 September mengungkap jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya sudah menggandeng Biro Investigasi Federal (FBI) selama hampir satu tahun terakhir untuk memperoleh keterangan dari pria berusia 32 tahun itu.

Kecurigaan FBI terhadap Marliem sudah muncul setelah di tahun 2014 ia memberikan donasi kepada lembaga non profit untuk konservasi Orangutan bernama Como Friends sebesar US$ 66 ribu atau setara Rp 874 juta. Bahkan, di usianya yang baru 28 tahun, Johannes sudah bisa memberikan donasi untuk upacara pelantikan Presiden Barack Obama sebesar US$ 225 ribu atau setara Rp 2,9 miliar.

Star Tribune menurunkan laporan bahwa otoritas setempat di Minnesota mengajukan tuntutan ke pengadilan pada Kamis, 28 September untuk menyita aset milik Johannes sebesar US$ 12 juta atau setara Rp 158 miliar yang ada di Amerika Serikat. Diduga, dana tersebut diperoleh Johannes karena ikut terlibat dalam kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik di Indonesia.

Untuk memproses tuntutan itu, seorang anggota FBI bernama Jonathan Holden membuat keterangan tertulis ke pengadilan. Dalam keterangannya, Holden menyebut jika Johannes secara langsung memang diuntungkan dari adanya proyek yang telah merugikan Pemerintah Indonesia Rp 2,3 triliun itu. Holden pun mengakui FBI memang sudah cukup lama bekerja sama dengan KPK dalam proses penyelidikan kasus tersebut.

“Tidak diketahui dengan jelas bagaimana awal mula keterlibatan KPK dalam proses investigasi, namun keterlibatan mereka sudah mulai aktif sejak Desember 2016,” tulis media lokal lainnya Wehoville.

Sementara, antara Johannes dengan KPK, kata Holden sudah bernegosiasi selama 18 bulan lamanya. Negosiasi itu dibutuhkan agar Johannes merasa percaya dan yakin ingin memberikan kesaksiannya kepada lembaga anti rasuah tersebut.

Akhirnya, Johannes bersedia untuk bertemu penyidik KPK pada bulan Maret 2017 di Singapura. Dalam pertemuan yang dilakukan di KBRI, Johannes membantah telah menyuap siapa pun di Indonesia.

Namun, pengakuannya berubah di bulan Juli ketika penyidik KPK bertemu kembali dengan Johannes di kantor KJRI Los Angeles. Kepada penyidik, Johannes mengaku memang telah bernegosiasi mengenai nominal uang suap yang akan diberikan kepada Ketua DPR Setya Novanto. Ia juga mengaku kepada penyidik sudah memberikan jam mewah Richard Mille senilai US$ 135 ribu (Rp 1,7 miliar) yang ia beli di Beverly Hills.

Di sana, Johannes juga mengaku sudah merekam pembicaraan dan negosiasinya dengan beberapa pejabat pemerintah. Ia juga bercerita kepada penyidik KPK, bahwa ia telah menyuap salah satu anggota DPR bernama Chaeruman Harahap senilai US$ 700 ribu (Rp 9,2 miliar).

“Johannes sempat memutar rekaman dengan seorang pejabat berwenang Indonesia untuk mendiskusikan nilai suap yang akan disiapkan dan dimasukan ke dalam nilai kontrak,” kata Holden.

Kepada KPK, Johannes dilaporkan juga menunjukkan bukti-bukti elektronik lainnya yang terkait dan beberapa foto, termasuk foto jam mewah yang ia beli dan diberikan kepada Setya.

Holden mengatakan kepada pengadilan jika KPK menyebut, perusahaan yang dipimpin Johannes yakni Biomorf Lone Indonesia telah menerima lebih dari US$ 50 juta (Rp 662 miliar). Nilai itu untuk pembayaran subkontrak terkait dengan proyek pengadaan KTP Elektronik. Sebanyak US$ 12 juta di antaranya masuk ke kantong pribadi Johannes.

Ia memasukan uang tersebut melalui akun bank pribadi di Indonesia lalu ditransfer ke akun bank di Amerika Serikat. Berdasarkan analis FBI, ditemukan adanya aliran dana ke akun Johannes antara bulan Juli 2011 dan Maret 2014 sebesar US$13 juta.

Uang itu berasal dari instansi pemerintah untuk pembayaran kontrak proyek tersebut. Dana tersebut langsung masuk ke akun Bank Wells Fargo milik Johannes. Berdasarkan keterangan analis itu pula, dana Johannes di Bank Wells Fargo yang semula hanya berjumlah US$ 49,62, tiba-tiba bertambah gemuk.

Dana itu rupanya digunakan Johannes untuk membeli berbagai properti mewah di Negeri Paman Sam, mulai dari mobil Bugatti senilai US$ 2,6 juta, rumah di tengah danau senilai US$ 2 juta, kapal senilai US$ 2 juta, jam senilai US$ 1,4 juta, biaya sewa pesawat jet US$ 800 ribu, tas tangan Hermes senilai US$ 638.800 hingga piano Steinway seharga US$ 87 ribu. 

Berdasarkan keterangan Holden, Johannes meninggalkan KJRI Los Angeles untuk memberi keterangan kepada penyidik KPK pada 6 Juli. Dalam pertemuan selanjutnya, Johannes berjanji akan menyerahkan pernyataan tertulis dan bukti fisik elektronik lainnya kepada penyidik KPK. Sebagai imbalannya, Johannes meminta untuk dilindungi dan tidak diusut. Namun, Johannes justru berubah pikiran.

Melalui pembicaraan telepon kepada penyidik KPK, Johannes mengaku sempat berkomunikasi dengan seseorang semalam sebelumnya. Orang tersebut memperingatkan Johannes agar tidak menyepakati kesepakatan dengan KPK sebelum lembaga anti rasuah itu memberikan jaminan penuh bahwa keselamatannya akan dijaga.

Tekanan bertambah

DONASI. Johannes Marliem terungkap pernah memberikan donasi untuk pelantikan Presiden Barack Obama pada tahun 2014 sebesar US$ 225 ribu. Foto diambil dari situs Johannes Marliem

Namun, tekanan terhadap Johannes justru semakin bertambah. Pada 8 Agustus lalu, personel FBI mengeluarkan surat penggeledahan di kediaman yang ia sewa di Edinburgh Avenue.

Dua agen FBI baru menemukan Johannes di sebuah hotel di dekat Bandara Internasional Los Angeles. Di sana, Johannes sepakat untuk berbicara dengan agen FBI. Holden mengatakan Johannes akhirnya mengonfirmasi bahwa ia terlibat dalam penyuapan terhadap beberapa pejabat di Indonesia. Namun, ia membantah menggunakan uang dari proyek KTP Elektronik untuk menyuap para pejabat tersebut.

“Namun, ketika ditekan dan didesak mengapa ia melakukan pembayaran dalam bentuk tunai dan apa yang ia lakukan dengan uang tunai tersebut, Johannes memberikan jawaban yang ambigu. Ia menjelaskan kalau sudah diinstruksikan oleh seseorang untuk membayar sebesar US$ 1 juta ke perusahaan yang tidak memenangkan kontrak pengadaan proyek KTP Elektronik,” kata Holden.

Ketika ditanya lebih jauh mengapa ia bersedia melakukan hal tersebut, Johannes hanya menjelaskan karena begitulah cara kerja di Indonesia.

Johannes sepakat dan membiarkan agen FBI menggeledah semua properti di Minnesota dan menyita berbagai barang bukti yang dibutuhkan terkait penyelidikan itu. Namun, tak lama setelah itu, Johannes ditahan oleh polisi Los Angeles karena memiliki senjata api secara ilegal di rumah yang ia sewa di Edinburgh.

Johannes dibebaskan setelah membayar uang jaminan pada 9 Agustus pagi.

Holden mencoba untuk mengontak kembali Johannes pada 9 Agustus. Akhirnya, dijawab melalui surat elektronik. Sayangnya, Johannes menjawab dengan beberapa tuntutan atau ia mengancam akan bunuh diri. Dari sana, Holden akhirnya mengontak personel polisi Los Angeles.

Di situlah dimulai tragedi penyanderaan putri dan istri Johannes di kediaman mereka. Tragedi penyanderaan ini berlangsung selama sekitar sembilan jam. Namun, akhirnya sang istri Mai Chie Thor dan putri mereka diizinkan untuk meninggalkan rumah.

Sayang, ketika polisi masuk ke kediaman Johannes, polisi menemukannya dalam keadaan tidak bernyawa. Ia meninggal akibat bunuh diri dengan menembak bagian kepala. Juru bicara FBI di Minneapolis menolak untuk memberikan komentar terkait penyelidikan itu pada Jumat, 29 September.

Sempat meminta perlindungan

Sebelum tewas akibat bunuh diri, Johannes dilaporkan sempat meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, Johannes belum mengajukan perlindungan secara resmi.

Ia tiba di Amerika Serikat untuk melanjutkan studinya di Universitas Minnesota pada tahun 2004 lalu. Tiga tahun kemudian ia menikahi Thor dan menjadi warga AS melalui proses naturalisasi di tahun 2014.

Sayang, walau sudah menjadi warga negara AS, Johannes tidak menyerahkan paspor Indonesianya ke kantor konsulat Indonesia di sana. Terbukti, ketika ia bolak-balik ke Indonesia, Johannes masih menggunakan paspor Indonesia.

Investigasi lintas negara

LINTAS NEGARA. Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan jika ada penyelidikan lintas negara untuk mengungkap kasus korupsi KTP Elektronik. Foto oleh Sigid Kurniawan/ANTARA

Sementara, ketika dikonfirmasi kepada KPK, juru bicara Febri Diansyah membenarkan bahwa lembaga anti rasuah itu memang menggandeng FBI untuk menyelidiki kasus korupsi KTP Elektronik. Febri mengatakan dasar kerja sama itu ada di konvensi UNCAC yang telah diteken oleh negara-negara anggota.

“Dengan meneken UNCAC, maka pertukaran informasi dan kerjasama internasional menjadi lebih kuat,” kata Febri melalui pesan pendek kepada Rappler, Kamis, 5 Oktober.

Ia pun tidak membantah mengenai fakta-fakta yang muncul di persidangan di Minnesota sebagai upaya untuk menyita aset Johannes. Febri mengatakan dukungan penyelidikan dengan FBI sangat penting untuk menuntaskan tugas KPK.

“Salah satu bukti yang kami dapatkan dari penyelidikan itu adalah adanya indikasi aliran dana pada sejumlah pejabat di Indonesia. Sebagian sudah muncul baik di persidangan di AS atau persidangan di Pengadilan Tipikor di Indonesia,” kata dia.

Oleh sebab itu, lembaga anti rasuah itu mengaku yakin dapat mengalahkan Setya di sidang praperadilan. Mereka mengaku memiliki bukti yang sangat banyak soal keterlibatan Setya dalam korupsi proyek KTP Elektronik. Sayangnya, hakim tunggal Cepi Iskandar memutuskan hal yang berbeda.

“Setelah praperadilan kemarin, tentu KPK perlu mempelajari kembali aspek formalitas yang dikatakan hakim yang belum terpenuhi. Walaupun kami merasa kecewa dan pahit menerima kenyataan itu,” katanya lagi.

Sementara, ketika pihak Setya Novanto dikonfirmasi, mereka mengaku tidak mengetahui adanya laporan yang diterbitkan di media Amerika Serikat itu. 

“Saya tidak tahu masalah ini,” ujar Nurul Arifin, orang dekat Setya melalui pesan pendek

Ketua Umum Partai Golkar itu baru meninggalkan rumah sakit usai dirawat di sana selama 15 hari pasca disebut mengidap beberapa penyakit. – dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!