Lima fakta menarik mengenai Dwi Hartanto

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lima fakta menarik mengenai Dwi Hartanto
Di balik kebohongannya, ternyata prestasi akademis Dwi Hartanto lumayan moncer

 

JAKARTA, Indonesia – Dwi Hartanto menjadi sorotan dalam beberapa hari terakhir setelah kebohongan yang selama ini tersimpan terungkap ke publik. Namun di balik kebohongannya tersebut, Dwi ternyata juga menyimpan sejumlah prestasi akademis.

Dwi Hartanto, pria asal Yogyakarta berusia 35 tahun ini, merupakan mahasiswa doktoral di sebuah universitas teknik di Belanda, yakni Technische Universitet (TU) Delft.

Ia pernah mengklaim sejumlah prestasi di bidang kedirgantaraan dan roket. Bahkan sejumlah media menobatkannya sebagai “The Next B.J Habibie”. Bahkan B.J Habibie dikabarkan pernah memintanya bertemu.  

Publik yang semula memujinya pun berbalik mengecam. Meski begitu, perjalanan akademis Dwi Hartanto patut diacungi jempol. Berikut lima fakta yang perlu kamu ketahui tentang Dwi Hartanto.

1. Latar belakang S1 hingga S3 yang mengesankan

Lulus pada November 2005, Dwi merupakan jebolan dari S1 Teknik Informatika di Institut Sains dan Teknologi (IST), Akademi Perindustrian (Akprind) Yogyakarta. Dwi lulus dengan IPK 3,88 dan didukung dengan skripsinya yang berjudul “Membangun Robot Cerdas Pemadam Api Berbasis Algoritma Kecerdasan ANN (Artificial Neural Network)”.  

Tak heran, Dwi juga pernah menjadi salah satu mahasiswa berprestasi di tingkat Kopertis Wilayah V Yogyakarta. Prestasi Dwi di Akprind ini disampaikan oleh Rektor IST Akprind, Amir Hamzah dalam sebuah press rilis. Ia juga menuturkan bahwa rekam jejak Dwi selama di S1 tidak memiliki masalah-masalah terkait akademis.

Tak puas menimba ilmu di Indonesia, Dwi kemudian melanjutkan studi S2 di Fakultas Electrical Engineering, Mathematics and Computer Science di TU Delft dan lulus pada tahun 2009. Kemudian ia melanjutkan program doktoral S3-nya di Intelligent System TU Delft. Sehingga ia sudah tinggal kurang lebih 10 tahun di negeri kincir angin tersebut.

Tanpa harus berbohong, sebenarnya Dwi sudah memiliki rekam jejak pendidikan yang cukup cemerlang. Kebohongan ini sangat disayangkan, karena nyatanya ia akan menjalani ujian disertasi untuk menyelesaikan S3-nya pada 13 September 2017. Namun terpaksa ditunda karena Dwi harus melaksanakan sidang kode etik di TU Delft.

Sebelumnya ia sempat berbohong kepada publik dengan mengaku bahwa ia mengenyam pendidikan S1 di Institut Teknologi Tokyo di Jepang. Namun jika kita melihat sejarah pendidikannya, Dwi tidak pernah mengenyam pendidikan di negeri sakura tersebut.

2. Mendapat beasiswa S2 dari Kemkominfo 

Dwi pernah meraih beasiswa S2. Tak tanggung-tanggung, beasiswa ini dibiayai oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) pada 2007 untuk mengenyam pendidikan S2 di TU Delft.

“Betul bahwa dia (Dwi Hartanto) menerima beasiswa pada tahun 2007,” ujar Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Noor Iza. Namun sambungnya, Dwi sudah tidak memiliki keterkaitan apapun lagi dengan Kemenkominfo, sehingga sudah tidak ada perjanjian atau kontrak yang mengikat antara kedua belah pihak.

“Itukan sudah 10 tahun yang lalu, berarti dia sudah selesai S2-nya,” tambah Noor. Tentu beasiswa ini tak diraih Dwi dengan mudah, ia melalui tahap seleksi yang cukup ketat dari Kemkominfo.  

3. Berkuliah di TU Delft

Dwi memiliki kesempatan yang tidak main-main untuk bisa bersekolah di TU Delft, salah satu universitas tertua di Belanda. TU Delft dibangun pada tahun 1842 dan memiliki lebih dari 2.100 peneliti serta 200 profesor.

Universitas teknik ini menjadi kampus tertua, terbesar dan diklaim paling komprehensif di Belanda. Tak heran, TU Delft memiliki alumni terkenal, yakni tokoh-tokoh bergelut di bidang keilmuan seperti antariksa dan berbagai keilmuan teknik lainnya.

Tentu hal ini menjadi prestasi Dwi yang sebenarnya dan menjadi salah satu alasan mengapa dirinya cukup lama tinggal di Belanda. Untuk bisa bersekolah di TU Delft tentu Dwi mengalami seleksi yang ketat, hingga hal inilah yang memang menjadi nilai plus bahwa diaspora Indonesia satu ini memang betul-betul berkualitas.

4. Aktif di Delft Aerospace Rocket Engineering (DARE)

Dwi bergabung dengan kegiatan ekstrakulikuler DARE (Delft Aerospace Rocket Engineering) yang beranggotakan mahasiswa TU Delft untuk membuat roket amatir. Bersama teman-temannya, Dwi merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s.

Roket Cansat V7S tersebut merupakan roket amatir yang dibuat oleh mahasiswa. Keterkaitan Dwi untuk berkecimpung dalam dunia aerospace dan roket di ekstrakulikuler ini yang nampaknya menjadi motivasinya untuk berbohong menjadi ilmuwan dirgantara.

Ketertarikan Dwi di bidang luar angkasa ini memang terlihat dari hasil penulisan tesisnya pada Juli 2009 yang masih berkaitan dengan sistem satelit. Namun sayangnya, sistem satelit di hasil tesis tersebut tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kebohongannya mengenai proyek wahana peluncur satelit (Satellite Launch Vehicle) yang sempat ia beberkan.

Sebelumnya, ia berbohong bahwa ia merancang dan terlibat dalam proyek Satellite Launch Vehicle, sebuah wahana peluncur satelit. Bahkan ia juga sempat mengklaim bahwa dirinya memiliki paten bidang spacecraft technology.

5. Bertemu Mantan Presiden B.J Habibie

Dwi pernah bertemu dengan mantan presiden RI ke-3, B.J Habibie. Ia meminta KBRI Den Haag untuk bisa mengobrol dan menemui Habibie. Duta besar KBRI Den Haag kemudian memperkenalkan Dwi ke Habibie pada pertemuan yang memang dihadiri banyak pihak.

Pertemuan keduanya berlangsung selama 10 menit, sehingga pada acara tersebut, keduanya bukan bertemu secara privat, melainkan bertemu pada satu acara.

Sebelumnya, terbongkarnya kebohongan Dwi juga berasal dari munculnya dokumen “Investigasi Mandiri” sebanyak 33 halaman yang menolak mentah-mentah klaim prestasi Dwi selama ini. 

Investigasi ini dilakukan oleh teman-teman dekat dari Dwi, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan PPI. Bahkan sebelumnya, teman-teman terdekat Dwi sudah melakukan persuasif untuk melarang Dwi melakukan rentetan kebohongan ini.

Konsekuensinya, Dwi yang sedang menjalankan sidang kode etik yang telah dimulai sejak 25 September 2017 di TU Delft, dan terancam sanksi akademis. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!