Philippine arts

LBH: Privatisasi air adalah bentuk pelanggaran hukum

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LBH: Privatisasi air adalah bentuk pelanggaran hukum
Saat ini pengelolaan air bersih dipegang oleh PT PAM Jaya yang menggaet dua persuhaan swasta asing

JAKARTA, Indonesia – Pemerintah dan PT PAM Jaya didesak untuk melakukan perbaikan terkait kasus privatisasi air yang menggaet dua perusahaan swasta asing yakni PT. Palyja dan PT Aetra. PT PAM diketahui sudah lama bekerja sama dengan dua perusahaan swasta asing dan dibagi berdasarkan area di Jakarta.

Untuk area Jakarta Timur dan Jakarta Utara dikuasai oleh PT. Aetra, sedangkan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan menjadi area kerja PT. Palyja. Hal itu ditentang oleh para aktivis. Mereka menolak akses terhadap air justru malah diprivatisasi.

Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa mendesak agar akses terhadap air diremunisipalisasi, artinya akses pengelolaan air bersih dikembalikan ke pemerintah atau warga. Tren remunisipalisasi ini bahkan pernah dilakukan oleh banyak kota besar di dunia.

Ia menjelaskan bahwa 90 persen dari 400 kota di dunia telah mengelola sendiri akses terhadap air bersih. Pada tahun 2006 terdapat 81 kota yang sempat melakukan privatisasi air, namun melakukan diremunisipalisasi atau kembali dikelola oleh kota.

“Jadi penyelesaiannya bukan berarti kita memberikan cek kosong kepada PAM. Karena bisa saja PAM menjadi aktor yang bermasalah di situ,” kata Alghiffari.

Sebelumnya, pada 10 April Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggugat ke Mahkamah Agung agar akses pengelolaan air dikembalikan ke publik. Hasilnya pun menggembirakan sebab Majelis Hakim MA mengabulkan gugatan itu.

Hakim MA menyatakan bahwa privatisasi air adalah perbuatan melawan hukum sehingga harus dihentikan.

Privatisasi air adalah perbuatan koruptif

Dalam kesempatan itu, Alghiffari juga menambahkan privatisasi air di Jakarta sudah masuk sebagai investasi yang melanggar HAM dan koruptif. Sehingga, hal ini bisa dibatalkan oleh warga negara melalui pengadilan.

Ada tiga poin yang menyebabkan privatisasi masuk ke dalam kriteria pelanggaran hukum. Pertama, adanya indikasi korupsi atau kerugan negara yang sudah terdata di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 1,4 triliun. Jika kontrak dijalankan sampai selesai, potensi kerugian dapat mencapai 18 triliun.

Kedua, adanya pelanggaran atas hak mendapatkan air bagi masyarakat. Walaupun di kota besar, namun masih ada sebagian warga Jakarta yang belum mendapatkan akses air bersih. Bahkan, mereka tidak memperoleh air bersih karena tidak mampu untuk membayar biayanya.

Ketiga, privatisasi air ini merugikan warga negara secara finansial. Tarif air yang dijual per 1 meter kubik di Jakarta mencapai Rp 7.800,00. Harga tarif air di Jakarta bisa masuk ke dalam kategori mahal, mengingat air tersebut tidak bisa langsung diminum seperti layaknya air di Singapura.

Perwakilan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, M. Reza menuturkan volume bisnis paling besar untuk privatisasi air terjadi di Jakarta.

“Artinya privatisasi ini memang pergeseran dari (sumber daya) hajat hidup orang banyak, berubah menjadi bisnis besar kemudian jadi bancakan bagi investor-investor asing,” kata Reza di gedung LBH.

Air bersih menjadi komoditas yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan, bukan lagi sekedar diprivatisasi.

“Kami sudah memulai (gugatan) ini bahkan dari tahun 2011, melalui kampanye dan lainnya. Menyusun gugatan ini enggak gampang, karena kami memang menemukan banyak sekali keanehan atau kejanggalan di dalam tubuh PAM Jaya itu,” tutur dia.

Ia menjelaskan bahwa kejanggalan itu terlihat sangat jelas dan merugikan publik. Anehnya, malah tetap dipertahankan oleh pemerintah. Maka tak heran jika Reza dan KMMSAJ pada akhirnya mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah kontrak malah lebih kuat daripada hukum nasional. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!