5 hal mengenai Densus Tipikor, unit khusus pembasmi korupsi yang dibentuk Polri

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 hal mengenai Densus Tipikor, unit khusus pembasmi korupsi yang dibentuk Polri

ANTARA FOTO

Apa yang membedakan antara Densus Tipikor dengan Komisi Pemberantasan Korupsi?

JAKARTA, Indonesia – Hasil rapat antara anggota Komisi III dengan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyetujui pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi di Polri sebagai salah satu kesimpulan rapat yang digelar pada 23 Mei lalu. Dalam putusan keenam rapat tersebut, Densus Tipikor akan disetarakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Usulan ini muncul ketika banyak anggota Komisi III mempertanyakan ‘melempem’nya peran Polri dalam penanganan kasus tindak kejahatan korupsi.

“Masa, hingga selama waktu 15 tahun ini Kejaksaan dan Kepolisian belum optimal dalam melakukan pemberantasan korupsi,” kata anggota Komisi III Masinton Pasaribu dalam rapat tersebut.

Ia menegaskan jika Kapolri pernah menyebut anggotanya memiliki kemampuan dalam menangani kasus korupsi. Namun, itu semua terkendala oleh anggaran. Nilai anggaran yang dimiliki Polri dengan KPK berbeda jauh.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto.

“Dittipikor Bareskrim terbatas oleh aturan SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kelola), jumlah personel. Anggaran juga terbatas karena bagian dari reserse,” kata Setyo di Mabes Polri pada 24 Mei lalu.

Namun, semakin maraknya tindak kejahatan korupsi dianggap menjadi penanda bahwa Densus Tipidkor sudah harus segera dibentuk. Apalagi, penanganan tindak kejahatan yang tergolong luar biasa itu tidak bisa jika hanya mengandalkan KPK.

Toh, lembaga anti rasuah itu hanya bisa menangani perkara yang menyebabkan kerugian mencapai minimal Rp 1 miliar. Lalu, seperti apa Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi yang akan bertugas di awal tahun 2018? Simak penjelasan Rappler:

1. Butuh anggaran Rp 2,76 triliun

Asisten Perencana Kapolri Irjen Bambang Sunarwibowo pernah mengatakan dana yang dibutuhkan Polri untuk membentuk Densus Tipidkor yakni mencapai Rp 975 miliar. Namun, menurut Tito jumlah tersebut masih dianggap kurang.

“Termasuk pembentukan sistem dan kantor, pengadaan alat-alat untuk lidik, surveillance, penyidikan dan lain-lain. Total semuanya menjadi lebih kurang Rp 2,6 triliyun,” ujar Tito di gedung DPR pada Kamis kemarin.

Ia merinci dari dana sebesar Rp 2,6 triliun, sebanyak Rp 786 miliar di antaranya akan digunakan untuk belanja pegawai sebanyak 3.560 personel. Lalu, belanja barang memakan biaya Rp 359 miliar dan belanja modal sebesar Rp 1,55 triliun.

Tito juga menjelaskan jika Densus Tipikor akan dibagi menjadi tiga tipe yakni Tipe A dengan 6 satuan petugas, Tipe B dengan 14 satuan petugas dan Tipe C dengan 13 petugas.

Anggaran yang diajukan Tito ke DPR tergolong fantastis, bahkan menyamai nominal kerugian yang dialami negara dari kasus korupsi KTP Elektronik. Rencananya, anggota Densus Tipikor akan berkantor di gedung lama Polda Metro Jaya.

2. Digaji sama dengan penyidik KPK

Menurut Tito, gaji yang diterima oleh anggota Densus Tipikor setara dengan yang didapat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menegaskan, tidak akan ada perpecahan antara kerjasama Polri dan KPK yang sudah solid. Bahkan, ia pun menjamin di antara personel Polri pun tetap ditanamkan kerjasama yang kuat.

“Wajarlah mereka yang lulus (jadi anggota Densus Tipikor) mendapatkan privilege (keistimewaan), untuk mendapatkan sistem penggajian lebih dari yang lain,” kata Tito.

Ia menjelaskan jika tidak sembarang anggota Polri bisa masuk ke dalam Densus Tipikor. Ada beberapa proses seleksi ketat yang harus mereka lalui. Tujuannya, untuk memastikan anggota Densus terpilih memang memiliki

“Ada assessment seperti di KPK. Ada assessment dalam rangka rekrutmen sehingga yang dipilih betul-betul memiliki integritas dan komitmen kepada tugasnya,” kata dia.

Ia mengatakan dengan adanya perbedaan gaji akan meningkatkan kapabilitas dan kapasitas anggota kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Tito merinci nantinya sistem anggaran di Densus Tipikor sama seperti yang digunakan KPK yakni sistem at cost. Sistem tersebut mengharuskan anggaran dibayarkan berdasarkan kebutuhan.

Kendati demikian, Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan masih melihat adanya permasalahan pada isu gaji. Sebelumnya, Tito menginginkan sistem penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dilakukan di bawah satu atap, seperti di KPK. Bahkan, Tito menyebut sudah menyiapkan tempat untuk bagi jaksa dari Kejaksaan Agung di gedung lama Polda Metro Jaya.

Permasalahannya, sistem penggajian bagi Jaksa Penuntut tidak sama dengan penyidik yang ada di KPK.

“Jika sistem penggajian disamakan di bawah satu atap seperti di KPK, maka ada ketidakseimbangan sistem penggajian. Itu yang ke depan harus kami bicarakan. Tetapi, anggaran untuk tahun 2018 sudah terlanjur disetujui,” kata Trimedya.

Anggota Komisi III rencananya akan mengelaborasi kembali isu penggajian tersebut.

Berbicara mengenai gaji penyidik di KPK dan Polri, mantan Kabid Humas Mabes Polri Boy Rafli Amar pernah berkomentar jika gaji di KPK bisa 400 kali lipat lebih tinggi dari gaji penyidik di Polri.

“Kalau gaji penyidik setingkat Kompol Polri bisa Rp 5 juta, di KPK bisa mencapai Rp 20 juta – Rp 25 juta,” kata Boy pada tahun 2012 lalu.

3. Gantikan Direktorat Tindak Pidana Korupsi

Sebelum Densus Tipikor dibentuk, sebenarnya Polri sudah memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipidkor) yang khusus menangani perkara kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Dit Tipidkor dikepalai oleh Brigjen Pol Drs. Akhmad Wiyagus.

Sementara, dengan dibentuknya Densus Tipikor maka akan menghapus keberadaan Dit Tipikor. Di struktur yang baru, Densus Tipikor akan secara langsung bertanggung jawab terhadap Kapolri.

Pengubahan ini juga memerlukan rekomendasi dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) karena mengubah Struktur Organisasi dan Tata Kelola (SOTK)di Polri. Densus Tipikor rencananya akan dibentuk pada akhir 2017 dan beroperasi di awal tahun 2018.

Ketua Komisi III Bambang “Bamsoet” Soesatyo mengatakan Densus Tipikor akan dikepalai oleh Jenderal Polisi Bintang 2 yang membawahi 500 perwira menengah Polri yang akan menjadi penyidik kasus korupsi. Hingga kini, payung hukum yang menjadi landasan beroperasinya Densus Tipikor masih dikaji secara mendalam.

4. Rival KPK?

Dibentuknya Densus Tipikor oleh Polri, sempat menimbulkan persepsi adanya persaingan dalam penanganan kasus korupsi antara Polri dengan KPK. Itu pula yang menjadi penyebab Kejaksaan Agung enggan bergabung di dalam Densus Tipikor.

Selain itu, belum ada undang-undang yang mengatur penggabungan Polri dan Kejaksaan dalam sebuah lembaga pemberantas korupsi.

“Menghindari ada tanggapan nanti ini dianggap saingan KPK,” kata Prasetyo saat rapat dengan Komisi III pada Rabu, 11 Oktober.

Kejaksaan tetap memilih berpegang kepada KUHAP yang mengatur bahwa Kejaksaan menerima hasil penyidikan dan penyelidikan dari kepolisian untuk diproses.

Wakapolri Komjen (Pol) Syafruddin menepis dugaan bahwa Densus Tipikor adalah saingan KPK. Syafruddin pun meminta agar isu ini tidak dibuat polemik.

“Enggak usah dipolemikkan itu. Itu memperkuat pemberantasan korupsi, dan mem-backup KPK,” kata Syafruddin di Hotel Dharmawangsa pada 26 September lalu.

Ia meminta agar semua pihak tidak menganggap Densus Tipikor sebagai saingan lembaga anti rasuah tersebut.

Senada dengan Polri, KPK sendiri mengapresiasi pembentukan Densus Tipikor. KPK yakin tidak akan ada tumpang tindih kewenangan dengan hadirnya Densus Tipikor.

“Kalau ada upaya untuk memperkuat pemberantasan korupsi itu positif saja. Nanti KPK akan mendukung sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK di UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK.

Ia menilai justru pemberantasan korupsi akan semakin maksimal jika Polri dan Kejaksaan diperkuat.

“Semakin kuat Polri dan Kejaksaan itu semakin bagus. Karena yang berwenang untuk menangani tipikor kan tidak hanya KPK,” kata dia.

5. Hanya tangani kasus di bawah Rp 1 miliar

Tidak ada tumpang tindih tugas antara Densus Tipikor dengan KPK sebenarnya sudah terlihat jelas dari nilai total kerugian. Densus Tipikor hanya akan menangani kasus dengan nilai kerugian di bawah Rp 1 miliar. Jika di atas angka tersebut, maka itu menjadi kewenangan KPK.

Komisioner KPK Laode M Syarif mengatakan kewenangan itu memang diatur di dalam UU tentang KPK.

“Jadi kalau yang kecil-kecil itu (kasus korupsi) walaupun kami dapat informasinya akan kami serahkan ke Polri. Mudah-mudahan dengan yang khususnya ke Polri ini, yang Densus ini, yang masif di mana-mana, yang kecil, bisa tertangani dengan baik,” kata Laode.

Harapan serupa juga diurai oleh Bambang Soesatyo. Ia berharap Densus Tipikor dapat membantu KPK dalam menangani kasus seperti korupsi dana desa. “Duet maut” kedua institusi tersebut nantinya diharapkan mampu memberantas tindak korupsi yang sudah mendarah daging di negeri ini. Pasalnya, dari tindak korupsi dana desa pada periode 2016-2017, negara sudah dirugikan sebesar Rp 30 miliar.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengungkapkan ada sedikitnya 110 kasus korupsi yang menyangkut dana desa.

“Dari segi aktor, 107 dari 139 pelaku merupakan kepala desa. Aktor lain yang terlibat adalah 30 perangkat desa, dan istri kepala desa sebanyak 2 tersangka,” ujar Almas di kantor ICW.

– Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!