Polemik kata ‘pribumi’, apakah publik bereaksi berlebihan?

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Polemik kata ‘pribumi’, apakah publik bereaksi berlebihan?

ANTARA FOTO

Polemik 'pribumi' justru menutupi pesan utama Anies-Sandi yang ingin disampaikan yakni merangkul semua warga Jakarta

JAKARTA, Indonesia – Koordinator dari Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian mendatangi kantor Bareskrim Polri pada Selasa malam, 17 Oktober sekitar pukul 18:30 WIB. Ia datang didampingi kuasa hukumnya Rudi Kabunang dan tiga anggota Banteng Muda Indonesia.

Mereka melaporkan Anies Baswedan gara-gara penggunaan kata ‘pribumi’ pada pidato pertamanya sebagai gubernur pada Senin malam, 16 Oktober di depan Balai Kota. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu dianggap telah menggunakan kata yang dianggap sensitif dalam pidatonya yang berdurasi selama 22 menit.

Ketika memasuki bagian akhir pidato, Anies mengucapkan kalimat yang akhirnya menjadi petaka. (BACA: Ketika Gubernur Anies singgung nasib pribumi di era kolonial)

“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik se atellor, ajam se ngerremmi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami,” kata Anies di depan Balai Kota dua hari yang lalu.

Anies sedikit berimprovisasi dalam teks pidatonya, termasuk dalam bagian yang kini menjadi perbincangan hangat. Di teks pidato sebenarnya tertulis, “Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura; ‘Itik se atellor, ajam se ngeremme.’ Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain.”

Jack menilai kalimat Anies dalam pidatonya itu telah memecah belah Pancasila, karena dianggap rasis dan diskriminatif.

“Terkait dengan bahasa Beliau, bicara mengenai pribumi yang dulu kalah sekarang pribumi harus menang, ini pribumi yang mana? Pribumi Arab, Cina atau pribumi yang betul asli Indonesia?” tanya Jack kepada media.

Lagipula kata ‘pribumi’ sudah diatur penggunaannya di dalam UU nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Hal itu juga diatur dalam Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Inpres itu, penggunaan istilah ‘pribumi’ dilarang dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintah.

Sebelum Anies menyampaikan pidato, kata ‘pribumi’ sudah menjadi perbincangan karena ada sekelompok orang yang membentangkan spanduk dengan tulisan ‘Kebangkitan Pribumi Muslim’ di depan Balai Kota. Maka, ketika kata yang sama terlontar dari mulut Anies, seolah-olah mengonfirmasi tulisan pada spanduk tersebut.


Reaksi publik di media sosial justru menutupi esensi yang ingin disampaikan Anies dan Sandiaga Uno saat mereka dilantik, yakni merangkul semua golongan dan menciptakan keadilan yang merata bagi warga DKI. Polemik kata ‘pribumi’ justru menjadi highlight di berbagai pemberitaan media.

Pertanyaannya, apakah reaksi publik dianggap berlebihan atau sudah sesuai konteks? Pengamat komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heriyanto menilai tidak ada makna diskriminatif dari pidato Anies pada Senin malam kemarin. Namun, kata ‘pribumi’ yang digunakan memiliki makna kerawanan apa yang disebut dalam komunikasi politik sebagai ‘polisemik’ atau multimakna.

“Makna kalimat itu kan sedang flash back ke era kolonialisasi, terutama dipenggal pada kalimat yang bermasalah itu, ‘dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka. Kini, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri’. Kalimat itu, ‘dulu’ dan ‘kini’ dinilai oleh sebagian pihak diartikan sebagai satu benang merah. Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini berarti setelah Anies-Sandi yang memenangi kontestasi, maka telah merdeka. Saatnya, ada yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tutur Gun Gun kepada Rappler yang menghubunginya pada Rabu pagi, 18 Oktober.

Situasi itu diperparah dengan muncul kembali diskusi mengenai siapa yang sesuai dikatakan sebagai warga pribumi dan non pribumi. Saat kampanye kemarin, kata non pribumi seolah diarahkan kepada Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang terlahir dari kelompok keturunan Tionghoa. Maka, ketika kata itu kembali muncul, sebagian publik seolah mengenang kembali masa itu dan momen peristiwa kerusuhan di tahun 1998 lalu.

Tetapi, ia sepakat, seharusnya Anies menggunakan diksi yang lain daripada memasukan kata ‘pribumi’. Kata ‘rakyat’ sebenarnya juga sudah cukup. Dalam kesempatan itu, Gun Gun juga mengaku khawatir jika polemik terus berlanjut maka berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Hal tersebut tentu bukan sesuatu yang diharapkan Anies-Sandi pada pekan pertama mereka menjabat sebagai pemimpin baru DKI.

“Padahal, memang kohesi sosial yang sudah dibangun sejak republik ini berdiri, tidak mudah menata dan mengkonsolidasikan publik. Jangan sampai hanya karena pernyataan yang memiliki multi makna itu, lalu ditambah-tambahi orang akhirnya malah menjadi konflik sosiologis,” kata dia.

Gun Gun sudah memprediksi jika Anies-Sandi tidak akan melalui masa-masa awal pemerintahannya dengan mudah. Apalagi usai melalui kontestasi Pilkada yang menghasilkan ketegangan yang mirip seperti Pilpres tahun 2014 lalu. Namun, apakah itu akan mengganggu konsentrasi Anies-Sandi untuk mewujudkan 23 janji politiknya? (BACA: Segera dilantik jadi Gubernur DKI, ini janji manis Anies-Sandi)

“Itu semua tergantung dari aksi dan reaksi Anies-Sandi. Jika kemudian, ia ikut terbawa dalam aksi yang menentang kepemimpinannya, menurut saya, selalu akan ada cicilan persoalan setiap hari di masa kepemimpinannya. Jadi, jika nanti masih ada yang terus bersikap skeptis dan nyinyir, maka saran saya Anies-Sandi tidak perlu terlalu terbenam dalam energi negatif dan antagonistik,” tutur Gun Gun.

Salah satunya, tidak perlu semua pihak yang menyerangnya nanti, kemudian dilaporkan ke polisi. Menurut Gun Gun itu malah akan menghabiskan energi.

Ia mengaku tidak yakin jika penggunaan kata ‘pribumi’ dalam pidato pada Senin malam kemarin untuk mewakili kepentingan kelompok tertentu. Sebab, jika itu yang dilakukan mantan rektor Universitas Paramadina tersebut, sama artinya dengan bunuh diri politik.

Anies, kata Gun Gun, tidak bisa hanya berdiri di atas satu kepentingan dan golongan. Selain mengkhianati isi janji di dalam pidatonya, hal tersebut malah akan mendegradasikan karier politiknya di masa mendatang.

“Padahal, Anies-Sandi bisa memanfaatkan momentum kekuasaan selama lima tahun ini untuk memupuk kepercayaan publik. Trust building itu, nantinya dapat digunakan sebagai modal kampanye untuk karier politiknya di masa mendatang. Jadi, mereka bisa berkampanye lewat kerja,” kata dia.

Gun Gun melihat nama Anies bisa saja masuk ke radar politik di tahun 2024 mendatang. Sebab, karier politik tokok-tokoh seangkatan Megawati dan Prabowo sudah akan selesai pada tahun 2019 mendatang.

“Nama Anies pasti masuk sebagai salah satu nama yang diperhitungkan,” tutur dia.

Oleh sebab itu, Anies-Sandi serta tim komunikasinya harus mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi pada Senin malam kemarin. Menjadi seorang pejabat seperti Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, mau tidak mau memiliki posisi yang strategis. Skala pemberitaannya pun mendapat porsi setara dengan coverage Presiden.

Gun Gun menyarankan agar tim komunikasi yang dimiliki Anies-Sandi untuk memiliki narasi tunggal soal gaya kepemimpinan keduanya hingga lima tahun ke depan.

“Narasi tunggal yang dimaksud bukan soal teks pidato, tetapi lebih fokus kepada kebijakan dan langkah strategis gubernur serta wakilnya supaya punya asupan yang sama. Jangan sampai, kedua orang itu memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai satu kebijakan,” katanya.

Saran lain bagi Anies-Sandi yakni agar keduanya menggunakan bahasa yang lebih membumi dan egaliter. Dilihat dari latar belakang keduanya, baik Anies maupun Sandi sehari-hari lebih banyak bergaul dengan kalangan elit.

“Anies sehari-hari merupakan akademisi, terlahir dari keluarga mantan pejuang kemerdekaan. Akademisi itu menara gading lho. Sedangkan, Sandi adalah pengusaha yang juga menara gading dari struktur ekonomi. Jika bisa, dipilih cara berkomunikasi yang lebih down to earth dan menggunakan diksi yang dipakai oleh warga sehari-hari,” tutur dia.

Menengok konsep pribumi di Malaysia

PEKERJA. Seorang pekerja tengah bekerja di depan Menara Petronas di Kuala Lumpur. Foto oleh AFP

Jika sistem segregasi melalui pelabelan pribumi dan non pribumi sudah tidak lagi terjadi pasca tahun 1998 lalu, maka tidak demikian di negeri tetangga, Malaysia. Mereka menyebut penduduk asli dengan sebutan ‘Bumiputera’

Berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah dan dikutip oleh media Singapura The Straits Times 68,8 persen dari 28,7 juta warga di Malaysia adalah bumiputera. Masyarakat yang masuk dalam kategori bumiputera yakni Melayu, orang asli, penduduk Sabah dan penduduk Sarawak.

Seseorang dikatakan warga Melayu jika salah satu dari kedua orang tuanya merupakan seorang Muslim melayu. Dalam Konstitusi Federal seseorang dinyatakan warga Melayu jika beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu, memiliki orang tua berasal dari Malaysia dan mempraktikan kebiasaan warga Negeri Jiran.

Menurut jurnalis Malay Mail Online, Zurairi AR awal mula kebijakan itu diberlakukan, karena adanya kekhawatiran bahwa warga Melayu akan menjadi minoritas di negara mereka sendiri. Kendati di Negeri Jiran, warga Melayu adalah mayoritas.

“Padahal, warga Melayu mengendalikan banyak hal di Malaysia, mulai dari kekuatan politik mayoritas termasuk juga bidang ekonomi. Hal itu karena mereka mengendalikan perusahaan yang dimiliki pemerintah dan koneksinya, tetapi mereka tetap khawatir bahwa warga non Melayu akan mengambil alih itu semua dan pada akhirnya akan menggantikan Islam dan Raja,” kata Zurairi ketika ditemui Rappler pada Selasa malam, 17 Oktober.

Kekhawatiran itu bermula ketika Negeri Jiran terbebas dari penjajahan Inggris tahun 1957 lalu. Saat itu, banyak imigran yang datang ke Malaysia dan mengisi kebutuhan tenaga kerja.

Imigran asal Tiongkok kemudian masuk dan bekerja secara legal. Tetapi, mereka memainkan peranan yang signifikan di sektor komersial usai warga India kembali ke negara asalnya. Maka, sektor komersial kemudian dijual ke imigran China.

Khawatir akan tersisih, maka pada tahun 1971, pemerintah mengeluarkan satu kebijakan bernama Kebijakan Ekonomi Baru (NEP). Melalui kebijakan ini, warga Melayu dan suku lainnya mendapat bantuan yang sangat besar dari pemerintah. Mereka memperoleh kemudahan untuk masuk ke universitas, pinjaman bisnis dengan bunga yang rendah, beasiswa, status PNS, kuota untuk bekerja di perusahaan swasta dan tender khusus untuk proyek-proyek pemerintah.

Dalam pandangan sebagian besar publik, kebijakan itu tak pelak dilabeli rasis. Majalah The Economist pun menyebut kebijakan tersebut rasis dan diskriminatif dalam tulisan mereka. Tetapi, pemerintah menjustifikasi kebijakan itu karena dianggap terbukti menciptakan penduduk natif Sabah kelas menengah dan kaum perkotaan dari ras Melayu.

Kebijakan itu tentu tidak disambut secara positif oleh warga Malaysia yang berasal dari kelompok minoritas.

Direktur Asia Institute di Universitas Tasmania Australia James Chin pernah menulis kebijakan tersebut benar-benar menciptakan kekecauan politik. Pertama, kebijakan itu memungkinkan ras tertentu untuk memonopoli berbagai hal. Itu sangat memungkinkan karena kalangan elit Melayu rata-rata memiliki jejaring yang kuat dengan pemerintah.

“Maka mereka tentu saja dapat mengamankan proyek dan kontrak yang melibatkan warga Melayu. Proyek-proyek itu tentu memberikan keuntungan secara finansial kepada mereka,” tulis Chin.

Kekecauan kedua, kelompok non Melayu yang notabene terdiri ras China dan India, akhirnya dianggap warga kelas dua, kendati mereka juga warga Malaysia. Mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung kepada bantuan pemerintah atau mengikuti pendidikan yang lebih tinggi karena sebagian besar kuotanya untuk warga Melayu.

Sementara, bagi kalangan pebisnis non Melayu, akhirnya menggunakan taktik yang lazim disebut “Ali Baba” untuk dapat mempertahankan usahanya. Caranya, yakni di atas kertas, perusahaan itu diklaim milik warga Melayu (“Ali), padahal sesungguhnya bisnis tersebut sehari-hari dijalankan oleh warga non Melayu (“Baba”).

Zairi pun mengamini lazimnya praktik itu. Ia pun tak menampik ketegangan antar etnis muncul yang dipicu kebijakan ini.

“Dulu, mereka tidak menunjukkan sentimen negatif itu secara terang-terangan, karena mereka menyadari posisinya sebagai kaum minoritas. Jadi, mereka hanya ingin hidup damai dan tak membuat kericuhan. Tetapi, kini secara perlahan-lahan mereka mulai menyadari adanya ketidakadilan. Mereka mulai mempertanyakan dan meminta agar status quo diubah. Tetapi, itu tentu sulit direalisasikan,” kata Zairi.

Sayangnya, akibat kebijakan NEP, banyak warga Malaysia non Melayu yang memilih bermukim di luar Negeri Jiran. Padahal, secara kemampuan intelijensi, mereka termasuk SDM unggul. 

Data dari Bank Dunia yang dikutip Chin menyebut jika lebih dari satu juta warga Malaysia memilih bermigrasi ke luar negeri agar tidak mengalami diskriminasi ras. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!