Pernyataan Kapolri Tito Karnavian tentang pemerkosaan menuai kritik

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pernyataan Kapolri Tito Karnavian tentang pemerkosaan menuai kritik

ANTARA FOTO

Komunitas #MulaiBicara mengirim surat terbuka dan meminta bertemu

JAKARTA, Indonesia – Jawaban Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian saat diwawancarai BBC Indonesia menuai kritikan. Dalam wawancara yang dimuat Kamis, 19 Oktober, Tito mengatakan bahwa polisi harus bertanya kepada korban tindak kejahatan pemerkosaan apakah mereka merasa baik-baik saja usai diperkosa. Ia juga menceritakan bahwa polisi juga perlu bertanya kepada korban, apakah mereka merasa nyaman ketika tindak kejahatan itu terjadi.

Lebih lanjut, Tito menjawab,“Pertanyaaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu.”

Melalui surat terbukanya, tim #MulaiBicara yang diwakili Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Sintas Indonesia, menyatakan kekhawatirannya atas jawaban Tito.  Berikut isi surat terbuka itu:

Kami dari tim #MulaiBicara sangat khawatir dengan pernyataan tersebut. #MulaiBicara adalah sebuah kampanye yang beberapa tahun terakhir antara lain berusaha mengajak korban kekerasan untuk berani menyampaikan apa yang mereka alami. 

Berani menyampaikan pada orang lain, keluarga terdekat, teman, orang tua bahkan penegak hukum agar tidak ada lagi yang menjadi korban kekerasan seksual. Agar ibu, kakak dan adik perempuan, keponakan perempuan, bahkan anak perempuan kita mulai bicara dan tidak diam, supaya mereka yang mengalami kejahatan dan kekerasan seksual dapat memperoleh dukungan dan bantuan yang semestinya. Supaya orang-orang tidak lagi menyalahkan kami, perempuan sebagai penyebab terjadinya kejahatan tersebut.

Kami ada bagi mereka yang hampir kehilangan harapan untuk melanjutkan hidupnya, mereka yang terenggut masa depannya dan melewati harinya dibalut rasa takut. Bapak Jenderal yang menjadi pelindung kami, mohon sekiranya Bapak hargai perasaan kami, teman-teman kami para korban.

 Percayalah, Pak, perjuangan mereka tidak pernah usai. Hari-hari mereka dijalani sedemikian rupa dengan mencari celah untuk bangkit, memupuk kepercayaan diri bahwa keadilan ada bersama mereka, bahwa mereka juga berhak atas perlindungan. Sangat sulit bagi teman-teman yang mengalami kekerasan seksual dan pemerkosaan untuk mendapatkan perlindungan hukum hingga keadilan.

Pak Tito, jika berkenan, temuilah kami yang bekerja berdampingan dengan teman-teman yang pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan. Duduklah bersama kami. Satu, dua cangkir kopi rasanya tak cukup untuk menceritakan kepedihan yang mereka rasakan. Akan kami suarakan sekam amarah dan luka mereka yang terpendam. Temuilah kami, karena kami bisa bersaksi bahwa tidak pernah ada yang merasa “nyaman” ketika harga diri dikoyak, kemudian dibalut rasa bersalah, dipersalahkan dan dipinggirkan oleh hukum. Tidak perlu mengalami luka itu untuk bisa memahami pedihnya dilecehkan, dihina, bahkan diperkosa.

Bolehkah kami meminta, di sela-sela waktu Bapak, untuk membicarakan apa yang bisa kita lakukan bersama untuk membantu mereka, melindungi mereka, dan membangkitkan kembali semangat hidup mereka? Karena tidak ada yang pernah meminta diperkosa dan tidak ada yang pernah menginginkan untuk menjadi korban kekerasan seksual.

Tim #MulaiBicara

#MulaiBicara adalah kampanye bersama yang diinisiasi oleh Yayasan Lentera Sintas Indonesia, Change.org, Magdalene.co and Campaign.com. Kampanye ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk aktif mengambil peran dalam mendukung penyintas kekerasan seksual, menghentikan maupun mencegah kekerasan seksual atas nama para penyintas. Harapan kampanye ini supaya kasus kekerasan seksual tidak lagi menyalahkan penyintas dan isu ini tidak lagi tabu untuk dibicarakan.

Penjelasan Tito Karnavian

Sementara, dalam klarifikasinya, Tito mengaku omongannya tidak dikutip secara utuh sehingga menimbulkan kesalahan persepsi. 

“Itu dipotong infonya,” kata Tito ketika Rappler menanyakan pernyataan yang memicu kontroversi di ranah media sosial ini, melalui pesan pendek pada Kamis, 19 Oktober.

Dalam penjelasannya, yang juga dimuat di laman BBC Indonesia sebagai klarifikasi, Tito menyampaikan hal berikut: 

1. Unsur pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, dan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh. Dengan unsur-unsur tersebut, maka variabel penentu untuk mengkualifikasi ada tidaknya suatu tindak pidana perkosaan adalah pada unsur consent/persetujuan kedua belah pihak.

2. Istilah “nyaman” dan “tidak nyaman” adalah diksi dan bahasa operasional yang digunakan oleh penyidik untuk bertanya dalam proses pemeriksaan untuk mencari tahu ada atau tidaknya persetujuan. Karena itu tidak ada maksud reviktimisasi terhadap pelapor/korban perkosaan.

3. Perlu diketahui, banyak kasus laporan perkosaan yang dilatarbelakangi oleh praktik ingkar janji pasangan untuk menikahi. Jika kasusnya seperti ini, maka itu bukanlah bentuk tindak pidana perkosaan melainkan ingkar janji/penipuan. 

Dalam diskursus tentang kekerasan terhadap perempuan, praktik ingkar janji dalam masa pacaran adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang juga harus ditangani secara hukum.

4. Demikian juga kasus perkosaan adalah jenis tindak pidana yang perlu penanganan khusus, termasuk memastikan akurasi dan ketersediaan bukti dalam rentang waktu yang cukup lama dari proses in take hingga penyidikan dan penuntutan. Karena itu kebutuhan memastikan adanya consent atau tidak consent menjadi pelindung bagi mereka yang benar-benar menjadi korban kekerasan.

Data BPS bikin miris

Pada akhir Maret tahun ini, Badan Pusat Statistik  (BPS) merilis data survei yang membuat miris. Satu dari tiga perempuan di Indonesia menjadi korban tindak kekerasan.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional ini dilakukan oleh BPS atas kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan United Nations Fund for Population Activities (UNPFA). BPS mewawancarai 9.000 responden perempuan usia 15 – 64 dari berbagai latar-belakang ekonomi dan pendidikan. Sebanyak 33,4% responden mengaku pernah mengalami kekerasan dalam hidup mereka.

BPS juga menemukan bahwa dari 33,4% yang pernah mengalami kekerasan, 15,3%  adalah korban kekerasan seksual, sementara 9,1%  mengalami kekerasan fisik. 

Para perempuan yang menjadi responden mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka alami bentuknya mulai dari disentuh dan dipaksa melakukan kegiatan seksual yang tidak dikehendaki, sampai pemaksaan oleh suami kepada istri dalam aktivitas seksual dalam rumah tangga. Sebanyak 1 dari 10 perempuan 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam satu tahun terakhir.

“Wawancara dengan perempuan yang sudah menikah menunjukkan data ada 7,8% responden setuju untuk berhubungan seksual karena mereka takut kepada suami,” kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam jumpa pers pada hari Kamis, 30 Maret. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!