Tiga tahun Jokowi-JK, ini lima catatan penting ICW soal pemberantasan korupsi

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tiga tahun Jokowi-JK, ini lima catatan penting ICW soal pemberantasan korupsi

GATTA DEWABRATA

ICW menilai upaya pemerintah untuk memberantas korupsi masih belum optimal

JAKARTA, Indonesia – Tepat pada 3 tahun pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla, Indonesia Corruption Watch (ICW) memuat beberapa catatan penting terkait pekerjaan pemerintah yang dinilai masih belum optimal dalam memberantas tindak pidana korupsi. ICW memberikan evaluasi terhadap komitmen anti korupsi yang diusung oleh Jokowi-JK, sesuai dengan Nawacita atau 9 Agenda Prioritas pemerintah. 

Di dalam Nawacita tersebut, sangat jelas posisi pemerintah untuk memberantas habis para koruptor. Jokowi-JK berjanji untuk membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

Bahkan, mantan Gubernur DKI itu juga dengan tegas ingin melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi. Beberapa cara di antaranya dengan pemberantasan mafia peradilan, penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan, korupsi penebangan liar, perikanan dan penambangan liar, tindak kejahatan perbankan dan pencucian uang.

Namun pada kenyataannya, masih banyak pergerakan pemerintah yang tidak merefleksikan Nawacita tersebut. Salah satu sikap nyata yakni pemerintah seolah lepas tangan ketika DPR membentuk pansus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintahan Jokowi mengatakan tidak mampu berbuat banyak karena itu merupakan isu yang menyangkut legislatif. 

Apa saja catatan lain ICW terkait langkah pemerintah dalam tindak pemberantasan korupsi? Berikut catatannya: 

1. Pemerintah diam dalam menyikapi hak angket KPK

Di bawah pemerintahan Jokowi-JK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mendapat serangan yang bertubi-tubi. Pada tahun ini, serangan tersebut datang dari DPR lantaran lembaga anti rasuah itu tengah gencar mengusut kasus mega korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik. 

Anggota Komisi III meminta agar KPK bisa menayangkan video pemeriksaan salah satu rekan mereka, Miryam S. Haryani yang tengah diperiksa oleh penyidik. Anggota DPR mengaku ingin melihat dengan mata kepala sendiri, siapa-siapa saja yang disebut politisi Partai Hanura itu telah menerima uang dari proyek KTP Elektronik. 

Sejak awal isu pembentukan pansus hak angket bergulir telah diwarnai kontroversi. Bahkan, dalam sidang paripurna yang membahas pembentukan pansus tersebut, palu diambil dan diketuk secara sepihak oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.

“Kami melihat ini sebagai masalah. Karena dari awal, ini sudah bermasalah dari dasar regulasi, dasar pengunaannya dan pembentukan panitia khususnya,” ujar Divisi Korupsi Politik dari ICW, Almas Sjafrina ketika memberikan keterangan pers pada Jumat, 20 Oktober di kantor ICW. 

Padahal, di Nawacita Jokowi-JK, pemerintah berkomitmen untuk melepas intervensi pihak manapun yang ingin melemahkan dan menghalang-halangi KPK. Berangkat dari hal tersebut, ICW dan beberapa organisasi masyarakat mengajukan peninjauan kembali UU MD3 untuk menolak hak angket. Namun, lagi-lagi sikap pemerintah tidak sejalan dan tercermin dengan pernyataan sikap Jokowi.

Menurut Almas, pemerintah melalui kuasa hukum Kemendagri dan Kemenkumham mengatakan hak angket adalah kewenangan DPR yang sah. Lantaran, itu adalah open legal policy

“Terserah DPR menggunakan itu kepada siapa yang kemudian dianggap bermasalah atau perlu diselidiki,” kata dia.

Sementara, Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan dari ICW, Lalola Esther juga menyayangkan posisi KPK yang kerap dilemahkan oleh beberapa pihak. Ia menuturkan KPK hampir collapse dua kali dalam jangka waktu 3 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, tahun 2015 dan kedua pada 2017 yang terkait dengan angket DPR.

Dua tahun lalu, KPK kembali dilemahkan melalui upaya kriminalisasi beberapa komisionernya. Hal itu dipicu penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening gendut di kepolisian. Gara-gara penetapan status tersangka itu, Budi batal dilantik sebagai Kapolri kendati sudah lolos fit and proper test di DPR.

 

“Justru di zaman ketika ada pimpinan yang menyatakan dia mau memperkuat KPK, KPK justru makin collapse. Sikap politik Jokowi-JK dan jajarannya sangat dinanti. Jangan sampai hanya jadi lip service yang kemudian tidak terwujud di akhir,” kata Lalola. 

2. Kebijakan pemerintah tidak pro pemberantasan korupsi

Jokowi-JK dinilai tidak terlalu suportif dalam hal kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Contoh kebijakan tersebut tertuang dalam SE Setkab dan Inpres 1 tahun 2016 angka (1), (2), (6) dan (8). Menurut ICW, keduanya berpotensi memunculkan impunitas terhadap Kepala Daerah dan pengambil kebijakan. Khususnya, mereka-mereka yang bersentuhan langsung dengan penggunaan anggaran dan pembangunan infrastruktur di daerah. 

Kebijakan tersebut juga dinilai berpotensi menjadi payung hukum yang “melindungi” dan mampu menjustifikasi praktik korupsi para Kepala Daerah atau pengambil kebijakan. Karena berdasarkan data yang didapatkan oleh ICW, Rp 273 triliun dana desa tidak terserap untuk kebutuhan pembangunan desa. Hal ini tentu menimbulkan peluang korupsi yang cukup besar.

Selain itu, dua kebijakan yang terkait dengan pengaturan Proyek Strategis Nasional juga cukup janggal. Lantaran jika aparat penegak hukum mendapat aduan korupsi atau penyalahgunaan wewenang terkait proyek tersebut, mereka harus melapor atau memberitahu lebih dulu kepada kepala lembaga atau institusinya.

“Ini aparat pemerintah mau dijadikan penyampai pesan semacam messenger atau gimana? Saya kira ini agak aneh,” kata Lalola. 

3. Penindakan kasus korupsi belum optimal

Berdasarkan data ICW, aparat penegak hukum saat ini menangani 1.306 kasus korupsi, dengan jumlah tersangka mencapai 3.018 orang. Sementara, total kerugian negara sebanyak Rp 7,8 miliar. Lalu, nilai uang suap yang terungkap sebesar Rp 717 miliar. 

Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa jumlah kasus korupsi yang sangat banyak ini tidak menjamin penuntasan kasus korupsi tersebut terselesaikan. Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah menuturkan jika penindakan kasus korupsi harus tuntas.

“Seharusnya penindakan korupsi tak hanya dilihat dari penyidikannya saja, tapi perlu dilihat hingga proses akhir yaitu eksekusi putusan. Sementara pemerintah hanya gencar melakukan penyelidikan dan penetapan tersangka, namun hasil akhirnya tidak ada,” ujar Wana.

Ia juga berkaca pada kasus mantan Kabareskrim Budi Waseso, bahwa kepolisian kerap tidak menyelesaikan kasus korupsi hingga ke akarnya. Upaya penegakan hukum dalam kasus korupsi pun belum menyasar kepada aktor-aktor penting.  

Namun, Wana menyadari ketidaktuntasan kasus korupsi ini berakar dari kurangnya alat bukti. Salah satunya, alat bukti kerugian negara. Penyidik terkadang tidak kooperatif untuk memberikan pelaporan kerugian negara yang dilakukan oleh PPATK.

4. Pembentukan tim Saber Pungli kurang efektif

Tim Saber Pungli yang dibentuk atas Perpres 86 tahun 2016 dinilai belum optimal. Tim ini merupakan inisiasi dari Presiden Jokowi untuk memberantas praktik pungutan liar di lembaga pemerintah, dari sekecil apapun nominalnya.

ICW mencatat ada 78 kasus pungli yang melibatkan 182 orang. Namun ironisnya, 45 dari 78 kasus belum diproses hingga ke penuntutan di pengadilan. 

“Jangan-jangan ini hanya semacam euforia penegakan hukum yang tidak tuntas. Tim Saber Pungli ternyata hanya giat menangkap, tapi tidak tuntas proses penanganannya hingga ke proses penuntutan,” ujar Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah.

Ia juga menuturkan contoh kasus pembebasan pihak terduga pungli di Kota Batu, Jawa Timur yang sempat ditangkap oleh Tim Saber Pungli. Terduga penerima pungli dibebaskan karena tim Saber Pungli kekurangan alat bukti. 

ICW menilai bahwa gaung dari Tim Saber Pungli ini mulai berkurang, lantaran ini hanya menjadi shock therapy bagi “pemain-pemain” di tingkat bawah. Penerapan aksi dari tim ini juga kemudian tidak diikuti dengan pembangunan sistem pencegahan pungli pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT). 

5. Partai politik belum mau terbuka soal anggaran 

Pelaporan pertanggung jawaban dan transparansi anggaran dana Partai Politik (Parpol) belum diungkap secara terbuka oleh Parpol nasional kepada publik. Hal ini terkuak, lantaran ICW pernah meminta informasi pada tahun 2012-2015 mengenai laporan keuangan seluruh partai di tingkat nasional.

Hasilnya, tidak ada satupun parpol yang memberikan. Bahkan ICW harus bersengketa terlebih dahulu di Komisi Informasi. 

Divisi Korupsi Politik dari ICW, Almas Sjafrina kembali menuturkan publik perlu tahu siapa penyokong dana parpol tersebut.

“Sedangkan, negara tidak memiliki kepastian apakah pendanaan partai ini sehat atau tidak, siapa penyokong partai dan sebagainya,” kata dia.

Walaupun pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kemendagri sudah menyusun revisi PP 5 tahun 2009 tentang Partai Politik, namun PP ini hanya mengurus soal besaran subsidi negara untuk parpol. PP tersebut tidak membahas soal tata kelola partai secara keseluruhan.

ICW juga mengkritisi setidaknya empat poin penting mengenai tata kelola partai politik yang harus diperbaiki. Yakni dari rekruitmen dan kaderisasi, sistem demokrasi internal parpol, pelaporan atas transparansi anggaran dana dan sanksi parpol jika terjadi penyalahgunaan anggaran. 

Padahal, pelaporan dan transparansi dana parpol sangat dibutuhkan, untuk mengetahui seberapa besar dana subsidi yang bersumber dari negara, anggota internal partai atau sumbangan pihak ketiga. 

“Akan sulit untuk direalisasikan atau dikejar ketinggalannya pada tahun 2018 dan 2019, karena 2 tahun ini adalah tahun politik,” kata Almas.

– Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!