Peperangan di Marawi turut berpengaruh dalam aksi teror di Indonesia

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Peperangan di Marawi turut berpengaruh dalam aksi teror di Indonesia

Bobby Lagsa

Sebagian besar teroris fokus kepada peperangan di Marawi, sehingga mengabaikan serangan teror di Indonesia

JAKARTA, Indonesia – Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) begitu sibuk terhadap perjuangan mereka di kota Marawi. Saking sibuknya, mereka mulai melupakan untuk merencanakan serangan teror di Indonesia.

Hal itu tercermin dalam sebuah laporan yang dibuat oleh organisasi Konsorsium Analisa dan Penelitian Terorisme (TRAC) dengan judul ‘Narasi Tersembunyi ISIS’. Dalam laporannya, TRAC menemukan di lingkaran teroris, mereka semua fokus ke pertempuran yang terjadi di Filipina. Alhasil, aktivitas teroris di Indonesia terabaikan.

“Narasi (ISIS) bagi anggota asal Indonesia yakni mereka hijrah ke Filipina dan tidak melakukan serangan di negara asalnya,” tulis TRAC dalam laporan mereka yang dirilis pada Selasa, 24 Oktober.

Puluhan militan asal Indonesia dan Malaysia menemukan cara untuk bisa menyeberang ke Marawi. Apalagi berperang di Marawi menjadi cara untuk menyalurkan semangat berperang.

Peristiwa di kota Marawi secara signifikan menyelimuti aktivitas teror di negara lain di kawasan Asia Tenggara. Hal itu akhirnya berdampak serangan teror kerap kali terlambat diklaim oleh ISIS.

Sebagai contoh, tiga serangan yang pernah diklaim oleh ISIS Indonesia di musim panas lalu, dua di antaranya terjadi pada akhir Juni lalu, tidak diklaim oleh kelompok tersebut di aplikasi Telegram (seperti biasa) di hari peristiwa itu terjadi. ISIS baru mengklaim serangan tersebut lebih dari satu pekan sesudahnya di Majalah Rumiyah 10 milik Kelompok Al Hayat. Itu pun klaimnya hanya dilakukan dalam Bahasa Indonesia.

“Sepertinya Majalah Amaq dan (ISIS) pusat mengabaikan klaim dari Indonesia karena mereka tengah sibuk dengan peperangan di Malaysia karena itu merupakan peristiwa monumental ISIS,” kata TRAC dalam laporan mereka. (BACA: ISIS klaim jadi dalang serangan teror Kampung Melayu?)

Menurut TRAC, serangan bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu yang pernah diklaim ISIS pada 24 Mei lalu tidak terlalu luas diliput oleh media internasional.

“Ini sepertinya tertutupi oleh media internasional karena ada peperangan di Marawi yang dimulai satu hari sebelumnya,” kata mereka.

Pada 23 Mei lalu, militer masuk ke kota Marawi dan mulai menyerang sebuah rumah persembunyian di mana pemimpin ISIS kawasan Asia Tenggara Isnilon Hapilon dilaporkan sempat terlihat. Dia berhasil melarikan diri, tetapi para pendukungnya keluar ke jalan-jalan dan mengibarkan bendera ISIS.

Kelompok teroris itu dipimpin oleh grup militan lokal Maute dan didukung anggota militan dari Indonesia dan Malaysia. Aksi penyerbuan ke rumah persembunyian itu kemudian melebar menjadi peperangan besar antara militer dengan kelompok teroris.

Peperangan itu berlangsung selama lima bulan. Pada 16 Oktober, militer Filipina akhirnya berhasil menewaskan Isnilon dan Omar Maute yang telah mereka buru selama ini. Akhirnya, usai lima bulan peperangan berlangsung, pada 23 Oktober, pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa peperangan di kota Marawi sudah berakhir.

Menyasar personel Polri

Di dalam laporan itu juga memaparkan mengapa serangan teror di Indonesia tidak begitu berhasil. Sebenarnya, beberapa serangan teror di Tanah Air sempat dilakukan oleh kelompok Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang beraliansi dengan ISIS. Namun, serangan yang mereka lakukan kerap kali gagal.

“Bukan berarti mereka tidak terus mencoba ya. Tetapi, mereka hanya mewakili kelompok teroris amatur melawan personel terlatih dari anggota Densus 88 Anti Teror,” kata laporan itu.

Selama ini personel anti teror Indonesia sudah berhasil mengungkap beberapa rencana teror dan memberangus kelompok militan Santoso yang berada di daerah Poso.

Namun, ada alasan lain mengapa serangan teror di Indonesia lebih menyasar anggota keamanan daripada warga sipil.

“Tiga serangan yang terjadi pada tahun 2017 dapat dilihat dalam konteks kampanye pada awal musim panas JAD melawan personel Polri. Motivasi mereka menyerang personel Polri karena adanya dendam pribadi,” tulis TRAC.

Mereka mengurangi jihad dan amaliyah yang menyasar warga sipil yang notabene juga sesama umat Muslim. Mereka menyasar personel Polri karena dianggap menggunakan taktik dan strategi yang terlalu brutal serta membabi buta ketika menangkap terduga teroris.

“Oleh sebab itu, mereka memilih target aksi seperti gedung pemerintahan dan pos polisi,” kata mereka.

Namun, kendati anggota militan itu masih menggunakan aplikasi Telegram untuk mengajak perang melawan personel Polri, tetapi fokus utama mereka masih tetap peperangan di Marawi. Selain itu, mereka juga ingin menyebarluaskan instruksi dan cara pembuatan bom.

Informasi ini sesuai dengan kesaksian Lordvin Acopio yang sempat disandera di kota Marawi. Acopio mengatakan bahwa sebagian besar anggota militan asal Indonesia merupakan perakit bom. Sedangkan, militan dari Malaysia dan Arab Saudi berjuang di garis depan.

Acopio mengaku sempat bertemu dengan tujuh anggota militan asal Indonesia selama disandera. Namun, badan intelijen Indonesia menyebut jumlah WNI yang berperang di sana mencapai 40 orang. Empat di antaranya malah pernah menjadi DPO oleh kepolisian Filipina. (BACA: Empat WNI terduga teroris masuk DPO kepolisian Filipina)

Risiko besar di Filipina

Secara keseluruhan, laporan tersebut menunjukkan sinyalemen rasa optimistis. Di dalam laporan itu menunjukkan kendati media yang berafiliasi dengan ISIS mengklaim sudah melakukan 21 serangan di 7 negara pada musim panas 2015 lalu, 80 serangan di 21 negara pada musim panas 2016, dan 222 serangan di 21 negara pada musim panas 2017 – nyaris tiga kali lipat lebih tinggi – tetapi peningkatan proyeksi secara global terpotong oleh temuan kedua.

“16 dari 21 negara hanya mengklaim telah terjadi 3 serangan. Bahkan kurang dari itu. Lalu, hanya 5 dari 21 negara yang mengaku telah terjadi 6 serangan teror atau lebih,” tulis TRAC.

Namun, mereka tetap memperingatkan bahwa di Filipina bisa saja terjadi lebih banyak serangan.

“Hanya ada 3 negara yang diklaim memiliki serangan tertinggi pada musim panas 2017. Ada 175 serangan teror yang terjadi di tiga negara ini: Filipina (99 klaim), Afghanistan (43 klaim), Afghanistan (43 klaim), dan Mesir (33 klaim). TRAC berpendapat bahwa tempat-tempat ini yang memperoleh fokus dari negara-negara barat, bisa mewakili narasi kepentingan ISIS di masa mendatang,” kata mereka. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!