SETARA Institute: Kota Bogor dan Depok rawan radikalisme

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

SETARA Institute: Kota Bogor dan Depok rawan radikalisme
46 persen warga Kota Bogor setuju terhadap gagasan khilafah

JAKARTA, Indonesia — Peneliti SETARA Institute Sudarto menyebutkan ada 46 persen warga Kota Bogor yang setuju terhadap gagasan khilafah. Hal ini disampaikan berdasarkan temuan SETARA Institute dari penelitian yang dilakukan oleh Hasani dan Naipospos yang bertajuk “Wajah Pembela Islam” pada 2011.

“Jadi ini kalau ini dianggap pintu awal isu makar, ini sudah bisa disimpulkan, 20 persen lho angkanya,” ujar Peneliti SETARA Institute Sudarto di Kantor SETARA Institute pada Rabu, 1 November 2017. Sudarto menyebut ada 22,7 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 17 persen di antaranya adalah pegawai Badan Usaha Milik Negara, dan 11 persen lagi adalah masyarakat umum.

Sudarto menyayangkan bagaimana pegawai yang mendapat gaji dan tunjangan dari pemerintah bisa mendukung gagasan yang kontra Pancasila. Sementara, Peneliti SETARA Institute M. Syauqillah menyebut Kota Bogor sendiri sudah menjadi inkubator bagi berkembangnya paham-paham radikalisme. 

Syauqillah mengatakan sudah pernah menyerahkan indeks kota intoleran kepada pemerintah Kota Bogor, namun tidak ada respon. Padahal, Syauqillah menyebut berbagai survey tentang intoleransi selalu menyebut Kota Bogor sebagai kota yang intoleran. 

“Porsi anggaran untuk wawasan kebangsaan itu sangat minim,” kata Syauqillah. Syauqillah menyebut minimnya anggaran menandakan pemerintah daerah tidak peka terhadap isu radikalisme.

Selain itu yang memperkuat argumentasi bahwa Kota Bogor sudah menjadi inkubator radikalisme seperti yang disebut Syauqillah adalah pengakuan dari mantan teroris. “Di kalangan teman-teman yang mantan teroris juga mengakui bahwa ‘Bogor hari ini sudah berbeda dengan 10 tahun yang lalu’ dan itu kita bisa lihat dengan keterlibatan beberapa pelaku yang berasal dari Bogor, seperti pelaku bom Thamrin,” katanya.

Selain itu SETARA Institute juga merilis data jaringan teroris yang berasal dari Kota Bogor. Ada 20 teroris dimulai dari Umar Faruq, pelaku bom Bali pada tahun 2002, hingga Rohim yang menjadi pelaku bom Kampung Melayu di tahun 2017. 20 pelaku tersebut berdomisili di area Kota Bogor. 

Selain itu, SETARA Institute menyebut juga kampus Institut Pertanian Bogor pernah menjadi pusat pergerakan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelumnya, HTI sudah dibubarkan pada pertengahan Juli tahun 2017 melalui PP nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat, karena bertentangan dengan Pancasila.

Sudarto juga menyebut bahwa Kota Depok rawan radikalisme. Ada 3 poin mengapa Depok rawan radikalisme. Pertama, Depok adalah kota transit, penyangga Ibukota. Kedua, pernah terjadi insiden peledakan bom seperti di Beji pada tahun 2012. Ketiga, Depok memiliki sejarah dalam tindak makar, yakni gerakan DI/TII atau Darul Islam Tentara Islam Indonesia. 

“Depok adalah daerah transit, jadi kalo terjadi insiden di Jakarta, paling cepat orang lari ke Depok dulu, jadi ia menjadi tempat pelarian sementara,” katanya. Meski begitu, Sudarto membantah bahwa Depok menjadi tempat mangkalnya teroris.

Selain itu, pemerintah Kota Depok tidak memiliki anggaran khusus untuk program deradikalisasi, karena pemerintah Depok menganggap bahwa ini adalah kewenangan pemerintah pusat. 

Intoleransi juga disebut Sudarto tinggi di Kota Depok, karena adanya penyebaran kebencian pada kelompok tertentu seperti Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), dan kaum LGBT. Pemerintah Kota Depok menganggap tidak ada permasalahan yang signifikan dalam ranah intoleransi.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!