Konsumsi daging anjing dari perdagangan ilegal berpotensi sebarkan rabies

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Konsumsi daging anjing dari perdagangan ilegal berpotensi sebarkan rabies
Koalisi DMFI mengusulkan microchip yang berisi identitas anjing peliharaan

 

JAKARTA, Indonesia – Perdagangan daging anjing secara ilegal untuk dikonsumsi masyarakat masih marak dilakukan di Indonesia. Walaupun hal ini masih kerap dikaitkan dengan kearifan kuliner lokal dan diiringi persentase konsumsi daging anjing di Indonesia yang hanya 7% dari total populasi, namun potensi penyebaran rabies mampu menjadi ancaman kesehatan nasional jika tidak dilakukan penanganan secara komprehensif oleh pemerintah. 

Padahal menurut World Health Organization (WHO), perdagangan daging anjing di Indonesia menjadi kontributor utama dalam penyebaran penyakit rabies yang mematikan. Masalah tersebut kemudian diangkat oleh Koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) untuk melakukan kampanye dalam menghentikan konsumsi daging anjing dan resiko penyebaran penyakit rabies dari perdagangan ilegal tersebut. Hal ini mereka sampaikan dalam keterangan persnya di bilangan Melawai, Jakarta Selatan pada Kamis, 2 November 2017.

Koalisi DMFI juga telah menggandeng Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Indonesia untuk beraudiensi dan melakukan empat kali pertemuan FGD untuk menghentikan pendistribusian ilegal daging anjing.

Sejak tahun 2014, DMFI aktif melakukan investigasi ke rantai pelaku perdagangan di beberapa daerah seperti Manado, Flores, Pulau Jawa, dan Pulau Sumatera. 

Berdasarkan pengakuan para penjagal, anjing-anjing tersebut dikirim dari sejumlah kota di Indonesia seperti Bali, Yogyakarta, Solo, Bandung dan Cianjur. Anjing yang dikirimkan dari kota-kota tersebut dikhawatirkan mengidap penyakit rabies akibat penyiksaan dan penelantaran, serta tertular ke manusia akibat konsumsi dan gigitan, yang mampu berujung pada kematian.

Co-Founder Animal Friends Jogja, Angelina Pane menjelaskan bahwa hasil investigasi ke lapangan menemukan terdapat 215 anjing di Yogyakarta dan 428 anjing di Solo yang berada di rumah jagal untuk siap didistribusikan ke kota-kota besar. Faktanya, mereka menemukan bahwa kondisi rumah jagal yang tidak higienis dan status kesehatan anjing yang tidak jelas, mampu membuat manusia rentan pula untuk tertular penyakit rabies. 

“Dinas KPKP salama ini kooperatif, seperti di Solo kami juga sudah bertemu dengan DPRD disana untuk membahas soal pelarangan konsumsi daging anjing dan pendistribusiannya yang ilegal,” ujar Angelina. Ia juga menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri masih belum ada regulasi yang melarang konsumsi daging anjing, namun terkait pendistribusian daging anjing memang ilegal.

Disinggung soal keuntungan Indonesia terkait dengan mayoritas penduduknya yang muslim, sehingga budaya memakan daging anjing ini tidak membengkak persentase angkanya, Angelina menampik, “Ini bukan sekedar soal budaya dan agama. Karena berdasarkan fakta di lapangan, justru yang menjagal anjing-anjing tersebut adalah saudara kita yang muslim. Kita harus lihat hal ini dari perspektif lain, seperti ekonomi misalnya. Jadi mohon jangan jadikan ras dan budaya tertentu sebagai alasan.”

Tak hanya aktivis dari Yogyakarta, Co-Founder Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Karin Franken menambahkan bahwa ini regulasi mengenai perdagangan ilegal daging anjing sudah direancang dalam draft perdagangan yang menggunakan prinsip ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). “Kami sadar bahwa ini butuh waktu dan tidak bisa diberhentikan secara instan. Hingga saat ini kami masih melakukan investigasi, kampanye, pendekatan ke pemerintah dan edukasi untuk melarang kekejaman pada anjing,” ujar Karin.

“Kita gak nyangka transportasi perdagangan anjing ini sebegitu besarnya. Ada peningkatan laporan pengaduan yang masuk ke kami, seperti mereka melihat adanya kekerasan terhadap anjing atau anjing kompleks mereka dicuri, nantinya akan berujung ke sebuah lapo (re: rumah makan),” jelas Karin.

Koalisi DMFI juga nantinya sedang mengusulkan microchip yang berisi identitas anjing peliharaan, Karin menilai hal ini mampu menjadi semacam KTP bagi anjing jika pemiliknya kehilangan mereka. Usulan ini juga masih dibicarakan oleh pihak pemerintah dan masih dalam tahap pendiskusian.

Karin juga sempat bercerita tentang beberapa kasus rabies, seperti pada kasus di Sukabumi pada Maret 2017. “Menurut saya ini bisa menjadi ancaman kesehatan nasional. Ini pemerintah mau nunggu sampai kapan? Ini seperti bom waktu, rabies bisa menyebar kemana-mana, padahal Indonesia punya target untuk menghilangkan rabies pada tahun 2020,” tutup Karin. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!