Ditolak Rudenim Semarang, keluarga pengungsi asal Afganistan kini terlunta-lunta

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ditolak Rudenim Semarang, keluarga pengungsi asal Afganistan kini terlunta-lunta
"Dari kapasitas 60 kamar, di kantor saya sudah menampung 120 orang. Ini kan sudah melebihi kapasitas."

SEMARANG, Indonesia — Kedua mata Qudsiah berkaca-kaca tatkala sejumlah petugas Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) mengangkut barang berharganya ke dalam truk penjemput pengungsi. Qudsiah memeluk Ali Khisoh dan Ilyas, dua putra kesayangannya.

Ia yang tinggal di tepi Jalan Hanoman Raya, Krapyak, Semarang selama sembilan hari itu tak habis pikir dengan tindakan petugas yang tega mengusirnya pada Selasa 7 November siang.

Qudsiah menganggap perbuatan petugas terhadapnya sangat tak adil. Niatnya untuk memohon suaka kepada kantor Rudenim Semarang kandas setelah petugas menolaknya mentah-mentah.

“Saya ingin masuk ke dalam, tetapi ditolak sama pengelola kantor Rudenim. Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah kami diusir dari sini,” kata Qudsiah saat berbicara dalam bahasa Arab.

Selama sembilan hari terakhir, ia  bersama suami dan kedua anaknya hidup terlunta-lunta di pinggir jalan. Keluarganya tinggal di bawah terpal warung seadanya. Saat siang hari, ia terpaksa menepi pada bangunan tembok di depannya karena warung itu dipakai untuk berjualan bakmi oleh pemiliknya.

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Qudsiah hanya mengandalkan belas kasih warga setempat.

Beberapa warga Kampung Krapyak RW IX yang iba terhadapnya kerap memberi roti dan bahan makanan ala kadarnya. Warga setempat terenyuh melihat keluarga Qudsiah dalam kondisi memprihatinkan. Baju yang menempel pada tubuhnya tampak lusuh.

“Saya merasa kasihan melihat mereka hidup kesusahan di pinggir jalan, makanya kadang saya kasih mereka mie instan, biskuit dan makanan lainnya biar mereka ndak kelaparan,” sahut Jaelani, warga setempat kepada Rappler.

Korban perang saudara

Menurut penuturan Mohammad Husein, suami Qudsiah, keluarganya memilih Semarang sebagai tempat pelariannya karena di kota asalnya, Kazni, Afganistan tengah dilanda perang saudara.

Demi melepaskan diri dari konflik berkepanjangan di Afganistan, ia nekat kabur ke Indonesia dengan menumpang pesawat terbang. Ia kemudian menjejakan kakinya di Bogor empat bulan terakhir.

“Semua harta saya jual biar bisa kabur ke Indonesia. Saya ingin meminta tolong kepada pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan nyawa keluarga saya,” ungkapnya.

Dengan sisa uangnya, dari Bogor ia menempuh perjalanan panjang dengan naik bus menuju Semarang. Sejumlah orang yang bertemu dengannya lalu menyarankan agar meminta bantuan kepada kantor Rudenim Semarang.

“Selama di sini, saya mandi di masjid dan beberapa kali dibantu warga. Tetapi ketika saya minta bantuan ke pihak Rudenim kenapa malah ditolak. Apa salah saya,” ujarnya.

Dwi Afando Farid, Kasi Keamanan dan Ketertiban Rudenim Semarang beralasan tak mau menerima pengungsi Afganistan itu karena tempat penampungan di kantornya sudah overload.

Menurutnya, keberadaan pengungsi itu justru membebani pihaknya yang selama ini kerepotan mengurus ratusan pengungsi dari berbagai negara.

“Dari kapasitas 60 kamar, di kantor saya sudah menampung 120 orang. Ini kan sudah melebihi kapasitas. Maka dari itu, kami enggak bisa menerima mereka,” cetusnya.

“Lagian keberadaan mereka sering dijadikan modus operansi oknum-oknum tertentu untuk mengirimkan pengungsi secara ilegal. Tentu situasinya ke depan jadi tidak kondusif,” sambungnya.

Dipulangkan ke Bogor

Ia mengatakan sebagai opsinya keluarga pengungsi itu akhirnya dipulangkan lagi ke Bogor agar situasinya terkendali. Pihaknya tidak ingin dicap buruk oleh masyarakat karena tidak mau menampung keluarga pengungsi tersebut.

“Sudah pokoknya kalian tidak boleh tinggal di sini! Ketimbang kondisinya tidak menentu, kami pulangkan kalian ke Bogor. Kami berikan mereka uang saku biar bisa naik bus sampai ke Bogor. Di sana kan mereka bisa berkumpul dengan ribuan pengungsi lainnya sambil menunggu penerbitan surat resmi dari UNHCR,” katanya.

Melihat kondisi itu, Mohammad Raziq, seorang penghuni Rudenim merasa prihatin dengan apa yang menimpa pada keluarga Husein.

Raziq sendiri lebih beruntung ketimbang mereka. Raziq sudah ditampung di Rudenim selama dua bulan terakhir. Ia yang tak bisa berbuat banyak hanya mampu memberi dukungan moril supaya keluarga pengungsi itu tabah menghadapi kesusahan yang dialami selama ini.

“Kasihan mereka, tidak ada makanan dan uang. Saya hanya bisa memberikan dukungan moril seadanya saja,” terangnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!