Menutup tempat hiburan, Anies bisa bercermin pada Dolly

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menutup tempat hiburan, Anies bisa bercermin pada Dolly
Meski Alexis tak sebanding dengan Dolly, namun DKI patut belajar dari penutupan lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara ini

SURABAYA, Indonesia — Deretan rumah di Jalan Kupang Gunung Timur I Surabaya itu tampak sepi. Tak ada aktivitas yang berarti. Beberapa di antaranya bahkan sudah kosong tak berpenghuni. Padahal, gang yang dikenal sebagai Gang Dolly dulunya ramai.

Siang malam banyak orang berkumpul, mulai dari para pedagang asongan, pria hidung belang, para makelar yang menawarkan wanita pekerja seks (WPS) dan tentu saja para WPSnya sendiri. 

Namun kini, semuanya sudah tidak tampak lagi. Selain warga, sore itu hanya ada satu pria setengah baya yang menawarkan WPS. “Mas cari cewek?” tanya pria tersebut.

Sejak Rabu malam 18 Juni 2014 lalu lokalisasi Dolly yang konon terbesar di Asia Tenggara ini memang secara resmi telah ditutup oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. 

Orang mengenalnya Gang Dolly sejatinya adalah sebuah gang di Jalan Kupang Gunung Timur I. Saat masih aktif, gang ini berjajar puluhan rumah bordil.

Tapi jangan salah, selain gang Dolly ada juga gang-gang sempit sekitar Dolly juga digunakan sebagai lokalisasi. Gang ini bernama Gang Jarak. Beda antara Gang Dolly dengan Jarak adalah soal tarif dan usia WPS. Tarif WPS di Gang Jarak lebih murah dibanding Gang Dolly karena WPS di Jarak lebih berumur dibanding Dolly, meski tak semua.

Makanya tak heran jika Dolly diklaim sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, selain karena luasan wilayah yang digunakan sebagai lokalisasi juga karena jumlah WPS yang terlibat di dalamnya. Saat ditutup total ada 1.499 WPS dan 311 mucikari.

 

Jelang penutupan, WPS menerima uang Rp. 5.050.000 dan mucikari menerima Rp. 5.000.000 dari Kementerian Sosial. Mereka kemudian dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. 

Namun meski Gang Dolly sudah sepi dari aktivitas prostitusi, jejak-jejak sebagai daerah bekas lokalisasi sampai sekarang masih ada. Buktinya, meski sudah tak sebanyak dulu, masih ada beberapa makelar yang tetap beroperasi menawarkan WPS kepada para pria hidung belang yang lewat.

Para makelar ini mudah mengenali mangsanya. Jika ada pria yang sedang memperlambat jalannya di gang ini dan matanya toleh kanan-kiri, maka kemungkinan pria ini sedang mencari WPS.

Beberapa alumni gang Dolly memang tidak sepenuhnya meninggalkan lokalisasi. Mereka memilih untuk kos di rumah-rumah warga sekitar. Mereka juga tetap berhubungan dengan para makelar untuk mencarikan tamu. Sedangkan untuk urusan eksekusi, tentunya tidak di sini, tapi di hotel.

Anak-anak bermain di taman yang dulunya bekas rumah bordil di Gang Dolly. Foto oleh Amir Tejo/Rappler

Camat  Sawahan M. Yunus tak menampik masih ada praktik prostitusi terselubung di bekas lokalisasi ini. “Praktik terselubung semacam ini sama dengan prostitusi melalui media sosial. Susah untuk dihapuskan,” kata dia.

Selain mencari mangsa di bekas lokalisasi, praktek terselubung prostitusi ini juga malah menyebar ke tempat hiburan di Surabaya. Misalnya saja di panti pijat, warung remang-remang, rumah karaoke dan café. 

“Mereka sekarang malah beroperasi secara independen di tempat-tempat tersebut,” kata Yorris Latto aktivis Yayasan Embun Surabaya yang aktif melakukan penjangkauan terhadap para WPS di Surabaya.

Kata Yorris, meski sebagian dari mereka tak pernah mengakui sebagai alumni Dolly, namun dia meyakini jika mereka-mereka adalah alumni dari Dolly.  Mereka beroperasi kembali secara independen di tempat-tempat hiburan itu.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Witanto dari Yayasan Orbit sebuah lembaga nirlaba yang juga melakukan pemantauan HIV/AIDS kepada para WPS. 

Kata dia, di beberapa titik di Surabaya masih ada WPS buka yang praktek secara terang-terangan (WPS Langsung/WPSL). Ada pula beroperasi tertutup. 

Mereka menyebutnya sebagai WPS Tak Langsung (WPSTL).WPSTL  yang beroperasi secara tertutup biasanya hanya bekerja sebagai sampingan, untuk tambahan penghasilan.  

Namun, meski hanya sebagai sampingan, resiko penularan penyakit tetap sama dibanding WPS Langsung. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Surabaya tahun 2015 jumlah WPS Langsung (WPSL)  masih ada sekitar 254 orang yang tersebar di 63 hot spot. 

Sedangkan untuk WPS Tak Langsung (WPSTL), jumlahnya ada ribuan atau sekitar 1.634 orang yang tersebar di 115 hot spot.  

 

Pengalaman Yayasan Orbit, tak mudah untuk menjangkau para WPSTL ini. Pasalnya mereka biasanya menolak dianggap sebagai pekerja seks. Dibutuhkan beberapa kali pertemuan untuk mempersuasi para WPSTL itu agar mau dilakukan tes HIV/AIDS. 

“Mereka biasanya resisten, karena menganggap dirinya bukan pekerja seks,” kata Witanto.

Selain dari WPS sendiri, petugas juga harus menghadapi kendala dari para pengelola tempat hiburan. Pengelola tempat hiburan biasanya juga menolak, tempatnya dilakukan tes, karena menganggap tempat yang dikelolanya bukan tempat esek-esek

“Jalan terakhir, kalau mereka tak mau. Biasanya kita menggandeng Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata. Kalau sudah begitu, mereka biasanya mau karena takut tempatnya ditutup,” ujar Witanto. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!