Ibu rumah tangga ini cegah bencana dengan menangkap air hujan

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ibu rumah tangga ini cegah bencana dengan menangkap air hujan
Upaya ini bisa menjadi solusi krisis air bersih

 YOGYAKARTA  – Bola plastik berwarna biru itu teronggok di halaman depan di seberang rumah Sri Wahyuningsih. Tak lama berselang, sejumlah anak mulai bermain sepakbola hingga petang tiba. 

Tak jarang, ditengah asyiknya permainan, haus datang menerpa. Rumah Sri Wahyuningsih pun menjadi tempat anak-anak untuk melepas dahaga. Tersedia sejumlah dispenser berisi air siap minum, serta tumpukan gelas, yang bisa digunakan anak-anak itu.  Mereka sudah mengerti, air itu adalah air hujan yang ditampung Sri, dari atap rumahnya.  

Di bagian rumah yang berfungsi sebagai garasi itu, siapapun bisa masuk dan mengambil air hujan yang telah melalui proses elektrolisa. Tak jarang, mereka membawa galon air bekas air mineral kemasan atau botol dan ceret air sebagai tempat membawa air. Beberapa juga meninggalkan galon mereka jika stok air hujan siap minum milik Sri sedang kosong. 

“Anak-anak itu sering langsung masuk dan teriak untuk izin minta minum. Banyak juga yang selalu datang ke sini jika stok air minumnya habis,” kata Sri ditemui di kediamannya, Rabu 8 November 2017.

Di rumah perempuan yang kerap disapa Yu Ning itu, ada banyak drum plastik untuk menampung hujan. Ada kaleng dan berbagai wadah yang lebih kecil untuk menampung air secara manual yang jatuh dari atap. 

Prosesnya mudah. Cukup menampung air hujan yang mengucur dari atap atau air hujan yang turun dari langit. Prinsipnya, air hujan pertama tak aman untuk dikonsumsi. “15 menit hingga 30 menit pertama saat hujan, air banyak membawa polutan. Air hujan setelah itu, baru ditampung. Tetapi jika tiap hari hujan, tak perlu lagi menunggu hingga 15 menit untuk segera menampung air,” katanya. 

Sediakan air hujan siap minum

Galon milik warga berisi air hujan di rumah Sri Wahyuningsih. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Air kemudian ditampung dalam drum yang bersih dan tertutup rapat serta terbuat dari plastik yang tersertifikasi food grade. Di dasar drum terdapat saringan yang terbuat dari aneka bahan, seperti kain dakron, atau penyaring (filter) mikro lainnya untuk menyaring padatan terlarut yang terkandung di dalam air hujan. 

“Air ini sudah bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi agar siap minum kami gunakan proses elektrolisasi untuk memisahkan kandungan asam dan basa. Air dengan kandungan basa siap minum setelah melalui proses elektrolisasi menggunakan konduktor berbahan titanium untuk menyaring kandungan mineral padat seperti zat kapur,” kata Sri.

 Alat elektrolisa air yang digunakan terlihat sederhana. Terdiri dari dua bejana dari kaleng plastik  food grade yang terbuat dari plastik dan masing-masingd disambungkan dengan pipa. Di dalamnya terdapat konduktor titanium berbentuk spiral yang tersambung dengan listrik yang dialirkan dari adaptor kecil di luar bejana. Terdapat macro filter di dalam bejana untuk menyaring kandungan karbon dari air hujan selama proses elektrolisa berlangsung.

Setelah melalui proses elektrolisa selama satu jam, air hujan pun siap untuk diminum. 

“Tahun 2016 Dinas Kesehatan menyatakan elektrolisasi air ini lulus uji kandungan fisika dan kimia untuk air minum. Tahun 2015 mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada juga melakukan uji klinis. Hasilnya air hujan ini layak minum,” kata perempuan berusia 50 tahun itu.

Awalnya menuai cibiran

Upaya ibu rumah tangga ini, bersama suaminya Kamaludin, dalam memanfaatkan air hujan tak bisa dibilang mulus. Kediaman Sri berada di Jalan Rejondani, Dusun Tempursari, RT 2 RW 7 Desa Sedonoharjo, Kecamatan Ngaglik,Kabupaten Sleman, berjarak sekitar 20 km dari Gunung Merapi. 

“Jadi rumah saya ini wilayah hulu. Di sini air selalu melimpah,” kata perempuan yang sehari-hari berdagang aneka jajanan tradisional di Pasar Godean, Yogyakarta itu.

Jangankan untuk air minum, air hujan yang nyaris turun sepanjang tahun tak lazim ditampung untuk kebutuhan lain, seperti mandi, cuci atau yang lain. Hujan dianggap sumber penyakit dan buruk untuk kesehatan. Sehari-hari, kebutuhan air dipenuhi oleh air tanah yang mudah didapat dan tak pernah mengering. 

“Hujan yang turun berlimpah tak pernah dimanfaatkan bisa menjadi bencana, banjir dan kekeringan di masa depan. Keinginan saya memanen hujan untuk menghindari bencana karena airnya tidak dimanfaatkan dengan baik,” tutur Sri.

 Ketika ia mulai menangkap hujan dan menggunakannya untuk air minum, lima tahun yang lalu, banyak warga yang tak tertarik dan bahkan mencibir. Pola pikir yang buruk tentang air hujan membuat sikap Sri tak populer diantara warga. Namun perlahan, pandangan miring itu mulai terkikis dengan bukti nyata yang disampaikan warga sendiri. 

“Ada tetangga yang merasakan manfaat air hujan ini, dan kemudian menceritakannya pada tetangga yang lain. Semua yang minum juga tak pernah diare karena air minum saya. Tubuh orang yang minum air ini jadi laboratorium dan testimoni yang banyak merubah pandangan orang,” ujar ibu yang memiliki dua anak ini.

Kini ada banyak warga yang menjadikan rumah Sri sebagai sumber air minum isi ulang. Siapapun boleh mengambil sekaligus belajar memproses air hujan siap minum dengan gratis. Sehari-hari Sri juga menggunakan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Air tanah juga digunakan ketika hujan tidak turun.

“Kami tak memungut biaya apapun. Elektrolisasi air itu juga kami dapat setelah belajar dari banyak orang, ada profesor, ulama, pendeta, dan pada mereka kami meminta ijin untuk menyebarkan pengetahuan ini pada masyarakat,” kata Sri.

Sejumlah tetangga pun kini mulai menangkap air hujan, menggunakan tandon air di kediaman mereka. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga memberikan bantuan sejumlah tandon air penangkap hujan temuan pakar  hidrologi dari Universitas Gadjah Mada di dusun Sri. Tandon itu bekerja dengan memisahkan air hujan pertama ke pipa khusus di samping tandon.

Jika pipa telah penuh, ada bola yang mengapung dan menghalangi air masuk ke pipa serta mengarahkan air masuk ke dalam tandon utama berkapasitas sekitar 1000 liter. Jika air tandon penuh, luberan air akan masuk ke sumur resapan yang dibuat disamping tandon. 

“Jangan hanya menggunakan air tapi lupa mengisi kembali. Sumur resapan berfungsi sebagai tabungan air untuk anak cucu kita,” kata Sri. 

Sediakan tempat untuk belajar gratis

Manfaat menangkap hujan tidak hanya dirasakan oleh warga sekitar tempat tinggal Sri. Setidaknya sekitar 60 kota dan kabupaten di Jawa atau di luar Jawa pernah berkunjung dan belajar langsung cara menangkap air hujan dan mengolahnya hingga menjadi air siap minum. Sri pun sering diundang untuk membagikan pengalaman atau memberikan informasi tentang proses pengolahan air hujan siap minumnya di banyak tempat. 

Dia juga menjadi pemateri di program tanggap bencana BNPB untuk menyebarkan aktivitas menangkap air hujan. Wilayah lain seperti di Gunung Kidul dan Kulon Progo juga mulai menangkap air hujan untuk digunakan sehari-hari. 

Meskipun menurutnya tantangannya juga masih sangat besar, terutama di wilayah perkotaan. “Kampanye serupa di wilayah Kota Yogyakarta itu susah sekali, dari belasan tandon air penadah hujan, sekarang hanya tersisa satu yang masih aktif,” kata Sri yang juga bergerak dalam komunitas Banyu Biru itu.

Popularitas menangkap air hujan di perkotaan menurutnya kalah dengan pola pikir dan gaya hidup masyarakat perkotaan yang masih menempatkan air kemasan dan air tanah serta air dari PDAM sebagai bersih dan layak konsumsi. 

Sementara di saat yang sama, krisis air bersih juga sering terjadi di Yogyakarta. Dibutuhkan upaya lebih untuk merubah pola pikir yang menganggap air hujan adalah bencana, menjadi berkah. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!