Drama penangkapan Setya Novanto yang berujung kegagalan

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Drama penangkapan Setya Novanto yang berujung kegagalan

ANTARA FOTO

KPK mengimbau Setya agar bersikap kooperatif dan menyerahkan diri

JAKARTA, Indonesia – Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangkap Setya Novanto pada Rabu malam, 15 November berakhir dengan kegagalan. Sebab, Ketua DPR yang dicari tidak ditemukan di kediamannya di Jalan Wijaya III, Kebayoran Baru nomor 19 Jakarta Selatan.

Beberapa penyidik KPK datang ke kediaman Setya dengan membawa surat perintah penangkapan yang dikeluarkan pada Rabu kemarin. Ketua Umum Partai Golkar itu dianggap sudah kelewatan setelah sembilan kali mangkir dari panggilan KPK untuk penyelidikan kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

Bahkan, kini sudah tercium gelagat Setya yang ingin menghindari KPK, lantaran menggunakan berbagai dalil dan alasan. Teranyar, pihak Setya meminta KPK untuk meminta izin kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebelum dilakukan pemeriksaan. Sementara, hal itu direspons Jokowi dari Manado dengan kalimat ambigu.

Mantan Gubernur DKI itu meminta agar penegak hukum menengok Undang-Undang yang berlaku terkait pemeriksaan bagi anggota DPR. Jika memang dimungkinkan, maka KPK mendapat lampu hijau untuk memeriksa Setya.

Namun, Setya menggunakan alasan lain yakni menunggu gugatannya terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi rampung. Sayangnya, semua dalil itu tidak lagi ampuh. Batas kesabaran KPK sudah habis.

“Kami sampaikan bahwa KPK sudah melakukan berbagai upaya secara persuasif sesuai dengan aturan hukum yang berlaku untuk melakukan pemanggilan baik dengan status sebagai saksi atau pun sebagai tersangka. Saudara SN sudah pernah kami panggil sebanyak tiga kali sebagai saksi untuk tersangka ASS, namun ketiga-tiganya tidak datang meskipun sudah disampaikan pemberitahuan terkait ketidakhadiran tersebut,” ujar juru bicara KPK Febri Diansyah di kantornya pada Kamis dini hari, 16 November.

Ia menjelaskan bahwa alasan hak imunitas dan izin Presiden yang selama ini digunakan Setya sudah tidak relevan. Lembaga anti rasuah itu masih menanti sikap kooperatif Setya pada Rabu kemarin ketika dilakukan pemanggilan pertama usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Lagi-lagi ia mangkir dan memilih untuk membuka rapat sidang paripurna di DPR.

“Karena ada kebutuhan penyidikan dan faktor-faktor yang sudah disampaikan tadi, maka KPK menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap SN dalam proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi KTP Elektronik,” kata dia lagi.

Namun, saat penyidik KPK tiba di rumah Setya, mereka justru dihalang-halangi untuk masuk ke dalam. Kuasa hukum Setya, Fredrich Yunadi, ikut terlihat bolak-balik masuk ke rumah dengan membawa beberapa dokumen. Usai menunggu beberapa lama, penyidik KPK diizinkan masuk dan menjelaskan maksud kedatangannya.

Dari luar rumah, antara penyidik KPK, Fredrich dan keluarga Setya terlihat diskusi yang alot. Mereka mengaku tidak mengetahui di mana keberadaan Setya kendati siang harinya masih berada di Gedung DPR.

Lalu, di mana Setya, apakah ia melarikan diri? Febri menjelaskan sejauh ini pihaknya belum menyimpulkan demikian. Ia pun mengimbau kepada Setya agar bersikap kooperatif dengan menyerahkan diri ke KPK.

“Jadi, sekali lagi kami himbau belum terlambat untuk dapat melakukan penyerahan diri ke KPK. Sikap kooperatif akan jauh lebih baik untuk penanganan perkara ini atau untuk yang bersangkutan. Jika memang ada bantahan-bantahan yang ingin disampaikan, maka dipersilakan untuk disampaikan langsung kepada tim penyidik KPK,” tutur dia.

Mantan pegiat anti korupsi itu menjelaskan jika upaya penangkapan terhadap Setya sudah sesuai dengan ketentuan di KUHAP pasal 21. Setya, kata Febri, diduga keras telah melakukan tindak pidana.

“Itu artinya, dalam proses penanganan KTP Elektronik, kami telah memiliki bukti-bukti yang kuat. Jadi, ketika kami meningkatkan status ke penyidikan, kami memiliki bukti permulaan yang cukup atau minimal dua alat bukti,” katanya lagi.

Diduga alasan Setya tidak bersikap kooperatif, karena ia dapat langsung ditahan KPK. Apalagi lembaga anti rasuah itu sudah mengklaim sudah mengantongi banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan Setya dalam tindak korupsi yang telah merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut. Febri pun tidak menampik adanya kemungkinan penahanan terhadap Setya.

“Tetapi, itu semua tergantung kepada analisa penyidik yang memiliki batas waktu 1X24 jam untuk menetapkan penahanan,” katanya.

Siap keluarkan surat DPO

Lantaran hingga saat ini Setya belum ditemukan dan tidak ada itikad baik, KPK mengancam akan memasukan nama Ketua Umum Partai Golkar itu ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). KPK siap menggandeng Polri untuk menerbitkan surat DPO itu.

“Masih kami koordinasikan (mengenai penerbitan surat DPO). Tetapi, saya kira kami belum bisa menyampaikan lebih dari apa yang saya sampaikan dini hari ini. Sebab, masih perlu koordinasi antar institusi,” tutur dia.

Namun, sebelum mencapai titik itu, KPK tetap berharap Setya bersikap kooperatif dengan mematuhi pemanggilan lembaga anti rasuah tersebut.

KPK pun yakin Setya tidak mungkin bisa kabur ke luar negeri, karena status pencekalan sudah diberlakukan hingga April 2018 mendatang. Pencekalan ke luar negeri itu pun tengah digugat oleh pihak Setya saat ini.

MKD segera rapat

Sementara, informasi upaya penangkapan terhadap Setya mengejutkan berbagai pihak. Tak terkecuali kolega Setya di DPR.

Untuk itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menggelar rapat pimpinan dan rapat pleno untuk menyikapi perkembangan kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

“Dalam konteks itu, saya kira MKD akan menyikapi perkembangan kasus SN ini. Besok (hari ini) kami akan mengagendakan rapim dan pleno MKD,” ujar Wakil Ketua MKD Syarifudin Suddin seperti dikutip media.

Ia mengaku belum dapat menyimpulkan apakah Setya sudah nonaktif lantaran keberadaanya saat ini tidak diketahui. Pergantian Ketua DPR, kata Syarifudin, tergantung dari Fraksi Golkar, partai tempat Setya berasal sesuai yang diatur dalam UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!