Idrus Marham jadi Plt Ketua Umum Partai Golkar

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Idrus Marham jadi Plt Ketua Umum Partai Golkar

ANTARA FOTO

Jika Setya Novanto memenangkan gugatan pra peradilan, maka ia tidak jadi dilengserkan

JAKARTA, Indonesia – Rapat pleno Partai Golkar akhirnya berakhir pada Selasa malam, 21 November. Dari rapat itu, diputuskan bahwa Sekretaris Jenderal Idrus Marham menduduki kursi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum hingga gugatan pra peradilan yang diajukan Setya Novanto diputus.

Rencananya sidang perdana gugatan pra peradilan akan digelar pada 30 November di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Kami berharap pra peradilan itu berhasil,” ujar Idrus Marham di kantor DPP Golkar semalam.

Selain menetapkan Idrus sebagai Plt, rapat pleno juga memutuskan empat hal lainnya. Tiga di antaranya menyangkut nasib Setya sebagai ketua umum Golkar dan ketua DPR.

Pertama, jika Setya memenangkan pra peradilan maka jabatan Plt ketua umum Golkar berakhir dan posisi ketua dikembalikan kepada yang bersangkutan. Kedua, jika Setya kalah dalam pra peradilan maka Plt ketua umum dan rapat pleno akan meminta yang bersangkutan untuk mundur sebagai ketua umum Golkar. Jika Setya tidak mundur, maka DPP Golkar akan melaksanakan Munaslub.

Ketiga, posisi Setya sebagai ketua DPR itu juga menunggu sampai adanya putusan pra peradilan. Lalu, bagaimana jika Setya tidak memenangkan pra peradilan?

Idrus menjelaskan akan dilakukan berbagai upaya antisipasi yang membuktikan Golkar dapat menyelesaikan masalah dengan dewasa dan produktif.

Keputusan itu diambil usai sebelumnya beredar surat yang ditulis tangan oleh Setya dan meminta agar ia tidak dilengserkan dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR.

“Mohon pimpinan DPR RI lainnya dapat memberikan kesempatan kepada saya untuk membuktikan tidak ada keterlibatan saya. Untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno, sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) terhadap kemungkinan me-nonaktifkan saya sebagai Ketua DPR maupun anggota dewan,” demikian tertuang dalam tulisan Setya.

Sementara, dalam surat yang ditujukan kepada DPP Golkar, ia menunjuk Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum. Surat itu ditulis pada 21 November dan dibubuhkan materai serta tanda tangan Setya.

Namun, Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad kemarin justru mengaku belum menerima surat itu.

“Saya malah tahunya dari wartawan, tapi belum menerima surat itu,” ujar Dasco di gedung DPR.

Alih-alih meloloskan keinginan Setya, MKD justru akan tetap memproses tersangka kasus korupsi KTP Elektronik itu. Apalagi, kata dia, MKD sudah menerima laporan mengenai adanya pelanggaran kode etik seperti yang tertuang di dalam pasal 87 ayat 2 poin 1 dan 2.

“Ini kan hal yang berbeda (sidang MKD). Ada laporan lain tentang pelanggaran kode etik karena mencemarkan lembaga DPR, karena tidak bisa melaksanakan sumpah dan janji jabatan sehubungan yang bersangkutan tengah ditahan. Ini kan beda scoop,” kata dia lagi.

Jadi beban

Sementara, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyayangkan jika Partai Golkar justru tetap mempertahankan Setya di dalam partai. Sebab, hal itu dapat membuat citra partai menjadi buruk dan mengonfirmasi persepsi publik bahwa partai berlambang beringin itu adalah partai yang korup.

“Padahal, hail survei sudah menunjukkan elektabilitas partai merosot lantaran kasus yang mendera Setya Novanto,” ujar Yunarto yang dihubungi Rappler pada Selasa malam, 21 November.

Menurut dia, Partai Golkar sebaiknya melihat isu kasus korupsi yang melibatkan Setya secara jernih. Betul memang jika Golkar berhasil melewati lubang jarum berkali-kali terkait kasus korupsi.

Ketika rezim orde baru tumbang, Golkar tetap bisa muncul sebagai partai dengan suara terbanyak kedua. Lalu, saat Akbar Tanjung terseret kasus Bulog Gate dua, hasil pemilu tahun 2004 lalu justru menempatkan Golkar sebagai pemenang.

“Ini seolah-olah menciptakan kesan dan pemikiran Golkar kebal dengan isu korupsi. Padahal, harus diingat Golkar dapat bertahan karena memiliki infrastruktur yang kuat, karena mereka masih memiliki pemilih yang dulu terbiasa dan dipaksa memilih Golkar. Namun, harus diingat suatu saat para pemilih tua itu akan habis dan mereka mulai beralih memilih partai karena sosok pemimpin dan nilai-nilai yang diberikan partai tersebut,” kata dia.

Dalam penilaian Yunarto, Golkar belum memiliki itu.

Oleh sebab itu, harus diingat apa kemudian partai sebesar Golkar dengan semua pengurus dan konstituennya harus terbebani dan menunggu Setya menuntaskan kasus hukumnya?

“Sebab, jika itu yang terjadi roda organisasi tidak bisa berjalan optimal. Maka, satu-satunya cara Setya Novanto sebaiknya mengundurkan diri baik sebagai Ketua Golkar dan Ketua DPR,” tutur dia.

Yunarto pun mengingatkan bahwa berdasarkan rekam jejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani suatu kasus, prosesnya tidak bisa diintervensi oleh pemerintahan yang tengah berkuasa. Sehingga, ia meminta pihak tertentu untuk tidak mengaitkan antara peristiwa hukum di KPK dengan proses politik di negeri ini.

 – dengan laporan Santi Dewi/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!