Ribuan jurnalis tewas saat meliput konflik

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ribuan jurnalis tewas saat meliput konflik
Hal itu disebabkan salah satunya sikap jurnalis yang partisan ketika meliput di area konflik

SOLO, Indonesia – Peran jurnalis itu penting dalam meliput daerah konflik. Mereka berperan mengabarkan terjadinya konflik kepada dunia dan mengingatkannya kembali ketika konflik yang berkepanjangan mulai terlupakan.

Namun, tidak semua kegiatan jurnalistik bisa memberikan manfaat positif bagi meredanya konflik tersebut. Jurnalisme yang partisan, tidak berimbang dan perspektif yang salah malah bisa memicu konflik menjadi lebih meruncing. Ujung-ujungnya keselamatan jurnalis di lapangan ikut terancam akibat praktik jurnalistik yang partisan dan tidak berimbang.

“Sejak 2002 sampai 2013 sebanyak 1.300 jurnalis tewas. Sebagian besar tewas di wilayah konflik dengan represi yang medium, bukan di wilayah konflik bersenjata yang terbuka,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid di acara diskusi berjudul “Meliput Wilayah Konflik” dalam rangkaian acara Festival Media Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2017 di Surakarta pada Kamis, 23 November.

Data itu dikutip Usman dari informasi yang dioleh oleh beberapa akademisi antara lain Anita Gohdes dari Universitas Zurich di Swiss dan Sabine Carey dari Universitas Mannheim di Jerman. Sementara, data dari UNESCO mencatat ada 930 jurnalis yang dibunuh dalam kurun waktu 10 tahun, pada periode 2006-2016.

“Sementara, data Reporters Without Borders juga menunjukkan penurunan kualitas kebebasan (berekspresi) di dunia. Jadi, tantangan jurnalis saat ini masih sangat sangat berat. Meksiko, Brasil dan Indonesia menjadi daerah yang berbahaya (untuk diliput),” kata dia.

Ikut diseret Pengadilan Internasional

Sebagai jurnalis, Usman mengingatkan agar mereka memiliki perspektif kemanusiaan sebelum turun dalam meliput konflik. Ia kemudian memberi contoh dalam kasus konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Jurnalis yang turun untuk meliput ke sana cenderung dilandasi sentimen keagamaan.

“Sentiment itu kemudian menjelaskan bahwa Ahmadiyah memang wajar diperlakukan demikian karena (mereka) sesat. Pada konflik antar etnis di Sampit misalnya, ketika menurunkan petugas, juga harus dilihat apakah masih ada kaitan etnis yang berkonflik atau tidak,” ujar Usman.

Jurnalis yang tidak tepat akan membuat berita yang menjadi berat sebelah dan tidak berimbang. Kemudian memperkeruh kondisi konflik dan mengancam keselamatannya sendiri.

Dalam catatannya, perspektif jurnalis ditantang dalam meliput tiga isu yang rawan konflik di Indonesia, yakni isu konflik yang disebabkan program infrastruktur pemerintah seperti pembangunan Bandara Kulon Progo, isu konflik menyangkut perselisihan identitas dan moralitas seperti kasus Ahok dan Rizieq Shihab, serta isu konflik menyangkut stabilitas NKRI seperti UU Ormas dan HTI.

“Isu pilkada berikutnya juga rawan konflik. Apalagi ketika pemilik media yang juga aktivis parpol ikut terlibat di ruang redaksi media,” kata dia.

Di tempt yang same, Deputy Head of Communication ICRC Sonny Nomer mengatakan media ikut berperan memperparah konflik antar etnis di Rwanda yang berujung pada peristiwa genosida. Akibatnya ratusan ribu nyawa melayang. Keberpihakan media terhadap salah satu pihak yang berkonflik ikut memperkuat kebencian antar etnis dalam konflik pembantaian etnis tersebut.

“Sebuah radio di sana berpihak pada salah satu suku (yang) berkonflik dan salah satu announcernya ikut dijatuhi hukuman oleh pengadilan Internasional PBB,” kata Sonny.

Sementara, menurut Desy Fitriani, reporter senior Metro TV yang sering meliput wilayah konflik, jurnalis seringkali menemui kendala berupa akses yang terbatas untuk menembus semua pihak berkonflik ketika meliput konflik. Jurnalis yang sering masuk ke wilayah konflik bersama aparat kemudian akan kesulitan mendapat kepercayaan dari kelompok lain. Akibatnya pemberitaan pun menjadi tidak berimbang.

Sementara, di sisi lain jika meliput konflik di Indonesia, jurnalis justru sering mendapat tekanan terutama dari aparat keamanan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!