Menanti Gunung Agung berhenti erupsi

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menanti Gunung Agung berhenti erupsi
Para pengungsi meyakini jika Gunung Agung akan kembali meletus seperti tahun 1963 lalu

JAKARTA, Indonesia – Gunung Agung kembali “batuk-batuk”. Gunung setinggi 3.031 meter itu mengeluarkan abu vulkanik dan mengenai ke beberapa desa.

Namun, kali ini dari bidikan kamera pos pemantauan, terlihat cahaya merah membuncah dari dalam kawah. Menandakan magma Gunung Agung sudah berada dekat di bibir kawah.

Melihat peristiwa itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVBMG) kemudian kembali menaikan status Gunung Agung dari level siaga ke awas pada Senin, 27 November pukul 06:00 WITA. Status tersebut menandakan status tertinggi dalam bencana gunung api.

“Tingkat erupsi gunung api Agung sekarang meningkat dari fase freatik ke magmatik. Hal itu teramati sejak adanya sinar api di puncak malam hari pada 25 November pukul 21:00 WITA,” ujar Sutopo melalui keterangan tertulis pada Senin, 27 November kemarin. (BACA: Status Gunung Agung kembali dinaikan ke level awas)

Situasi pada saat itu begitu genting lantaran terjadi pula suara dentuman lemah yang terdengar hingga jarak 12 kilometer dari puncak.

“Asap kawah bertekanan sedang teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal serta tinggi yakni 2.500 – 3.000 meter di atas puncak kawah. Letusan teramati dengan tinggi 3.000 meter dan asap berwarna kelabu serta ada sinar api,” tutur dia lagi.

Tak mau ambil risiko otoritas setempat langsung mengimbau agar warga yang berada di radius 8-10 kilometer dari puncak kawah segera mengungsi ke beberapa titik posko pengungsian. Sementara, otoritas bandara menutup sementara Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan Bandara Internasional Lombok. Pulau di sebelah timur Bali itu ikut terkena dampak, lantaran angin turut membawa abu vulkanik ke sana.

Tempat yang dijadikan pusat pengungsian adalah GOR Swecapura di Klungkung. Area yang semula digunakan sebagai pusat kegiatan olah raga itu dihuni oleh sekitar 1.000 pengungsi.

Salah satunya adalah keluarga Kadek Dhana dan istrinya Ketut Mariyani. Mereka turut memboyong putra semata wayangnya Putu Eka Mardihakayasa yang baru berusia 6 tahun.

“Kami total mengungsi bersama 8 orang. Sisa lima orang lainnya adalah tetangga yang ada di Desa Selat,” ujar Dhana yang Rappler temui pada Kamis, 30 November.

Tidak ada raut semangat di wajahnya lantaran kebosanan telah mendera selama berada di tempat pengungsian. Ia dan istrinya juga mengungsi ke GOR Swecapura ketika otoritas setempat menaikan status Gunung Agung beberapa bulan lalu.

“Enggak ada apa-apa. Jadi, hanya makan dan tidur saja. BNPB atau Pemda tidak memberikan kegiatan apa-apa,” kata pria berusia 35 tahun tersebut.

Ia mengaku tidak tahu harus sampai kapan berada dalam tempat pengungsian, lantaran letusan Gunung Agung yang besar belum terjadi. Kendati demikian, Dhana meyakini gunung itu akan meletus. Sebab, tanda-tanda yang mirip seperti letusan tahun 1963 sudah terlihat.

Usai terjadi hujan abu, lahar dingin mengalir ke sungai dan area persawahan.

“Tahun 1963 lalu bagian pinggir rumah kami kena lahar dingin. Tapi, untungnya kami sudah mengungsi,” katanya dengan pandangan nanar. (BACA: Letusan Gunung Agung tahun 1963 dalam ingatan Warga Bali)

Belajar dari peristiwa 57 tahun lalu, pada Senin dini hari ia, istri dan putra semata wayangnya langsung bergegas mengungsi. Saat itu, suasana gelap dan tertutup hujan abu vulkanik. Belum lagi bau belerang yang begitu menyengat, membuat sang istri mual dan hampir muntah.

Kehilangan mata pencarian

PENGUNGSIAN. Suasana salah satu pusat pengungsian di GOR Swecapura Klungkung pada Kamis, 30 November. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

Menjadi pengungsi, membuat Dhana praktis menganggur. Padahal, sehari-hari ia biasa menganyam bambu untuk membuat bedeg dan dijual ke warga lain.

“Ya, sebenarnya bisa saja menganyam di lokasi pengungsian, tapi membawa alatnya sulit dan berat,” katanya.

Ia sempat memiliki hewan ternak berupa empat ekor sapi. Tapi, keempatnya terpaksa ia jual murah ke teman sepupunya seharga hanya Rp 7 juta. Ia terpaksa menjual hewan ternak itu lantaran tidak memiliki daya untuk ikut membawanya ke lokasi pengungsian.

“Padahal, saya membesarkan sapi itu dari kecil. Waktu pembibitan butuh dana sekitar Rp 7,5 juta,” kata dia.

Jelas itu merugikan Dhana secara ekonomi. Tapi, ia tidak memiliki pilihan lain, karena selama mengungsi keluarganya membutuhkan uang.

Kini, kondisi di pengungsian semakin memburuk, karena akses terhadap air bersih terbatas. Materi lahar dingin yang turun dari kawah gunung menerjang dan membuat rusak pipa PAM. Akses air bersih pun tersendat.

“Sampai sekarang saluran pipa PAM itu belum bisa diperbaiki, karena lahar dingin masih mengalir,” ujar dia.

Sesekali Dhana kembali ke rumah menggunakan sepeda motor di Desa Selat yang jaraknya hanya 10 kilometer dari kawah gunung. Ia mengecek kondisi rumah dan mengambil baju untuk dikenakan di tempat pengungsian.

Ingin segera pulang

LAHAR DINGIN. Materi lahar dingin yang masih terbawa dari hulu Gunung Agung pada Rabu, 29 November. Foto oleh Santi Dewi/Rappler

Rasa jenuh juga mendera istri Dhana, Ketut Mariyani. Perempuan berusia 28 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga sambil mengasuh Mardihakayasa.

“Dia sebenarnya sudah bisa sekolah, tapi tidak mau. Kalau diminta sekolah bawaannya nangis terus,” kata dia kepada Rappler.

Untuk membunuh rasa jenuh, Mariyani sesekali menengok layar televisi yang ia bawa dari rumah. Tapi tetap saja, dia ingin secepatnya bisa kembali ke rumah.

“Lama-lama di sini males. Memang di sini banyak makanan, tapi saya agak apa namanya itu (bosan),” tutur dia.

Ia mengaku tidak marah dan kesal melihat situasi ini. Tidak ada yang menginginkan bencana gunung api untuk meletus.

“Ya, harapan saya sama seperti yang lain, ingin pulang ke rumah secepatnya,” kata dia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!