Komnas Perempuan: MK selamatkan perempuan Indonesia dari kriminalisasi

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komnas Perempuan: MK selamatkan perempuan Indonesia dari kriminalisasi
Pasal 292 KUHP bukan melegalkan LGBT

YOGYAKARTA, Indonesia –  Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak gugatan materi terhadap pasal 284 KUHP tentang perzinahan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal 292 KUHP tentang pencabulan sesama jenis dari yang dewasa kepada yang belum dewasa sebagai bukti MK sedang melakukan fungsinya untuk menjaga hak konstitusi warga Indonesia.

Komnas Perempuan yang turut menjadi pihak terkait sepanjang persidangan meyebut gugatan yang ditolak menyelamatkan banyak perempuan Indonesia dari upaya kriminalisasi.

MK menolak gugatan terhadap pasal 284 KUHP tentang perzinahan, pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, dan pasal 292 KUH karena menganggapnya salah alamat.

“Konsep zina atau permukahan dalam KUHP adalah apabila jika dirumuskan seperti keinginan pemohon, akan sangat bahaya sekali bagi perempuan untuk dikriminalisasi,” kata Ketua Umum Komnas Perempuan Azriana ditemui dalam rangkaian kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Yogykarta Jumat petang 15 Desember 2017. Menurutnya konsep permukahan dalam pasal itu merujuk pada hubungan seksual dengan selain istri atau suami dari pernikahan yang sah dan dengan delik aduan. Sehingga yang bisa mengadukan adalah pasangan suami atau istri yang merasa dirugikan. Sementara menurutnya, penggugat meminta permukahan diganti dengan konsep zina dalam agama-agama dan menyasar pada siapaun yang melakukan perzinahan di luar pernikahan, serta dengan delik umum sehingga siapapun boleh mengadukan hal itu.

“Sehingga siapapun yang berhubungan seksual di luar pernikahan bisa dipenjara dan siapapun bisa mengadukan ini. Ini sangat membahayakan bagi banyak perempuan di Indonesia yang tidak bisa membuktikan pernikahan mereka,” kata perempuan yang pernah menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan periode 2007-2009 itu.

Menurutnya, banyak pasangan kumpul kebo yang tidak bisa mencatatkan pernikahannya karena tidak memiliki akses dan juga modal, pasangan pernikahan yang menikah dalam hukum adat, atau istri dari praktek poligami.

Jika gugatan itu diterima, banyak remaja yang akan dipidana karena perbuatan seksual mereka. Sementara menurutnya, dalam relasi hak pendidikan dan informasi pada anak-anak, remaja tersebut adalah korban karena sistem pendidikan yang salah. Sehingga aktivitas seksual yang dilakukan secara tersembunyi adalah bagian dari kesulitan mereka dalam mendapatkan pendidikan tentang repoduksi ataupun seksualitas.

“Tidak ada pendidikan tentang reproduksi dan seksualitas, berdialog dengan pendidik seolah tabu dan tak leluasa karena sistem pendidikan yang berjarak antara pengajar dan peserta didik. Sementara orang tua terkadang melihat pendidikan adalah tugas sekolah. Mereka kemudian melengkapi anak dengan berbagai gawai canggih. Remaja yang terpapar aktivitas seksual dan menjadi korban kelemahan sistem pendidikan kita, akan dikriminalkan,” lanjutnya.

 

Pasal 292 KUHP tidak melegalkan Homoseksual

Selain pasal 284 KUHP, penggugat juga ingin mengubah pasal 292 KUHP yang sering disebut dengan pasal LGBT.

Azriana mengatakan pasal tersebut sebenarnya bukan mengatur tentang orientasi seksual LGBT, tetapi tentang tindakan pencabulan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak sesama jenis.

“Jadi bukan orientasi seksualnya yang diatur, tetapi tindakan pencabulannya itu,” katanya.

Menurut Sekretaris Jenderal Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan periode 2010-2014 itu, pemohon meminta pasal ini diubah, sehingga bukan hanya pencabulan orang dewasa terhadap anak-anak, tetapi juga pencabulan sesama jenis antara dewasa dan antara anak-anak.

Gugatan tesebut diajukan karena pemohon melihat terjadi kekosongan hukum yang tidak mengatur tentang praktek homoseksual itu.

Sementara Komnas Perempuan melihat kekosongan hukum tidak terjadi. Pencabulan antara anak-anak itu sudah diatur dalam uu perlindungan anak, pencabulan antara dewasa baik sesama jenis ataupun berbeda jenis sudah diatur dalam pasal 289 KUHP.  

“Jadi ini ada kesan dipolitisir, seakan-akan melegalkan homoseksual,” lanjutnya. Sehingga pasal tersebut juga sudah mengatur tentang perkosaan terhadap laki-laki, dan gugatan pemohon terkait pasal 285 KUHP juga ditolak oleh MK.  Pasal tersebut dianggap justru melindungi perempuan korban perkosaan.

 

Jangan paksakan norma agama kedalam hukum

Azriana menuturkan, sebagai pihak terkait dalam sidang tersebut, Komnas Perempuan juga ikut mendatangkan sejumlah saksi ahli serta menyampaikan pandangan hukum mereka. Komnas Perempuan dipandang memilikilegal standing untuk mejadi pihak terkait lantaran fungsinya sebagai mekanisme nasional Hak Asasi Manusia untuk penghapusan kekerasan pada perempuan.

Selama mengikuti sidang, Arziana mengatakan terdapat upaya untuk melibatkan agama di dalam hukum. Konsep zina yang diajukan pemohon menurutnya adalah konsep zina dalam agama. Sedangkan ada banyak agama di Indonesia termasuk agama leluhur yang memiliki ritual dan konsep berbeda. “ Konsep zina dalam agama kaitannya dengan dosa, dosa adalah antara manusia dan Tuhan. Akan kesulitan dalam mengukur dosa. Agama juga tidak hanya satu di Indonesia. Misalkan ada 6 agama bersepakat tentang konsep zina, bagaimana dengan agama leluhur, yang mungkin tidak ada rumah ibadah dan pemuka agama untuk mengikatkan diri dalam perkawinan. Jadi tidak bisa semudah itu memasukkan konsep agama dalam norma hukum,” katanya.

Selain norma agama, hukum juga tidak bisa menyelesaikan masalah moral. Pada remaja yang terpapar aktivitas seksual, pendekatan hukum yang hitam putih hanya akan mengkriminalkan remaja yang bisa jadi adalah korban dalam sistem pendidikan dan informasi.

“Hukum itu hitam putih, tak bisa digunakan menyelesaikan masalah yang abu-abu. Kaca mata moral tidak bisa menyelesaikan masalah pada remaja yang terpapar aktivitas seksual. Tidak bisa kemudian mengatakan mereka tak bermoral atau moralnya rusak. Kita punya persoalan misalnya dalam sistem pendidikan reporoduksi dan seksualitas,” terangnya.

Namun menurutnya putusan MK dalam menolak gugatan pemohon bukan berarti menyelesaikan masalah. Menurutnya saat ini pasal yang sama juga sedang dalam proses revisi di DPR RI. Meskipun disisi lain, putusan dari MK bisa digunakan sebagai bekal dalam proses penyusunan revisi tersebut.

“Draft yang sama juga sudah lama diajukan ke DPR, dan sampai sekarang belum dibahas. MK telah bekerja sesuai fungsinya menjaga konstitusi. Putusan ini bisa menjadi masukan untuk menyusun revisi tersebut,” katanya.

Menurutnya, MK menolak gugatan karena dianggap tidak berwenang dalam mengubah isi KUHP. Jika yang diinginkan pemohon adalah mengubah materi dalam KUHP maka seharusnya permohonan tersebut diajukan ke DPR RI. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!