SAKSIKAN: Tatkala ondel-ondel ‘meneror’ ibu kota

Christian Simbolon

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

SAKSIKAN: Tatkala ondel-ondel ‘meneror’ ibu kota
Ondel-ondel sudah turun kelas menjadi sekadar alat mengamen dan mengemis

JAKARTA, Indonesia—Tri Lestari, 29, berdiri dari kursi dan baru saja hendak melangkah keluar dari restoran padang favoritnya di kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Jumat malam itu. Namun, baru beberapa langkah, Tri berhenti. Di depan pintu, sesosok bayangan hitam berkepala besar mengadangnya.  

Melihat sosok itu, Tri membalikkan muka. Suara teriakan terdengar. Ivan, sang suami, yang saat itu tengah berada di depan kasir, melongokkan kepala ke luar. Ia pun langsung mengerti kenapa Tri histeris. Di depan pintu restoran, sesosok ondel-ondel tengah menjulurkan baskom meminta receh. 

Ivan langsung melangkah keluar dan mencoba menghalaunya. “Maaf, enggak ada receh. Enggak ada receh. Awas-awas, mau keluar,” cetusnya.

Namun, ondel-ondel itu bergeming. “Enggak kok Om. Mau minta yang lain yang di dalem,” ujar suara di balik baju ondel-ondel berwarna merah itu.  

Ivan melirik ke dalam restoran. Selain ia dan istrinya, hanya satu dua pengunjung yang ada di dalam restoran. Mereka terlihat tak peduli dan buang muka. Sementara Ivan sedang berusaha mengusir ondel-ondel itu, Tri terus histeris. “Udah kasih aja. Biar pergi,” kata Tri. 

MENGAMEN. Ondel-ondel mengamen di kawasan mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Melihat tidak ada gelagat ondel-ondel itu bakal menyingkir, Ivan pun akhirnya menyerah. Ia merogoh sakunya. Duit sepuluh ribu melayang. Barulah ondel-ondel itu hengkang. 

“Ya, gitu. Dari dulu (Tri) emang parno (paranoid) kalau lihat ondel-ondel. Ngeri aja gitu. Kayak terteror gitu. Mungkin trauma masa kecil,” kata Ivan saat berbincang dengan Rappler di depan restoran. 

Menurut Ivan, ini kali kedua dalam sepekan Tri histeris diadang ondel-ondel. Beberapa hari lalu, saat tengah menunggu lampu merah di kawasan Jakarta Pusat, rombongan ondel-ondel sempat menghampiri sepeda motor yang mereka kendarai dan tak mau pergi sebelum diberi receh. 

“Istri teriak-teriak juga, mereka cuek aja gitu. Sampe dikasih duit baru pergi. Sekarang mah sering banget kayak gitu. Di mana-mana di Jakarta kayaknya ada ondel-ondel,” ujar pria yang tinggal di kawasan Rawasari itu. 

‘Teror’ dalam bentuk yang berbeda juga diakui oleh Rismawati. Pegawai sebuah bank swasta di kawasan Cikini itu mengaku berulangkali harus berhadapan dengan ondel-ondel ‘rese’. Sepulang kerja, Risma menuturkan, ia dan rekan-rekannya kerap diserbu kawanan ondel-ondel saat makan malam di dekat kantornya. 

“Kalau makan di pinggir jalan, sore sampe malem itu pasti ada aja ondel-ondel yang ngamen (atau) ngemis gitu. Kadang-kadang serombongan, kadang-kadang sendirian. Ganggu aja sih. Sekali makan bisa berkali-kali masuk (ke dalam tempat makan) tuh. Berisik benget lagi,” ujar dia. 

Turun kelas 

Menurut budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, saat ini ondel-ondel memang sudah turun kelas menjadi sekadar alat mengamen dan mengemis. Padahal, ondel-ondel merupakan ikon Jakarta dan memiliki nilai budaya yang tinggi. “Enggak bisa sembarangan dimaenin. Itu ondel-ondel yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk nyari fulus alias duit. Kan memang ondel-ondel punya peluang besar untuk dijadiin media cari duit,” ujar dia saat dihubungi Rappler, beberapa waktu lalu. 

Ondel-ondel merupakan boneka berkepala besar yang dibentuk dari rangka bambu setinggi 2-2,5 meter. Biasanya, ondel-ondel dibuat berpasangan, yakni suami dan istri. Dulu, pertunjukkan ondel-ondel ditampilkan bersama dengan musik tanjidor dan gambang kromong untuk menolak bala. Itu pun hanya ditampilkan pada acara-acara khusus semisal, acara pernikahan, sunatan atau pesta rakyat. 

Sesekali, lanjut Yahya, ondel-ondel memang kerap diperbolehkan ngamen. Tapi, harus ada pakem yang ditaati. “Malah sejak zaman penjajahan Belanda. Itu adalah salah satu cara senin tradisi menjaga himmah (semangat) dan jati dirinya. Tapi ada aturannya, harus sepasang, pake baju seragam, menghormati waktu, tertib, menjaga sopan santun dan keselamatan,” tuturnya. 

ONDEL-ONDEL. Miniatur ondel-ondel yang dipajang di area Gang Anggrek, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Tak seperti sekarang yang memiliki wajah mulus dan bergincu untuk perempuan, ondel-ondel zaman dulu diciptakan dengan muka sangar dan mengerikan. Menurut catatan sejarah, ondel-ondel direpresentasikan sebagai sosok nenek moyang yang betugas menjaga warga kampung dan keturunan mereka. Ondel-ondel bahkan telah ada sebelum perkampungan Betawi pertama dibentuk di Batavia pada 1923. 

Meskipun sosoknya terus berubah seiring pergantian zaman, menurut Yahya, energi dan identitas ondel-ondel tak berubah. Hanya saja, melihat kondisi sekarang, Yahya prihatin, produk budaya tersebut turun kelas dan hanya jadi komoditas ekonomi. “Diturunin oleh oknum yang nyari untung. Makanya perlu ada jalan keluarnya yang tidak kalah-menang. Udah ada perda ketertiban, itu digunakan secara konsisten, beres keadaan,” ujar dia. 

Tak punya pilihan 

Dijumpai di kediamannya di Gang Anggrek, kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis lalu, 24 Mei 2018, pengelola Sanggar Mamit Cs, Taufik Hidayat menuturkan, ondel-ondel mulai ramai turun ke jalan sejak awal 2010. Menurut dia, sanggar-sanggar di kawasan Kemayoran yang pertama kali menggunakan ondel-ondel untuk mengamen. “Yang lain ikutan, termasuk yang di sini (Gang Anggrek),” ujarnya. 

Sanggar Mamit cs merupakan sanggar tertua di Gang Anggrek. Sanggar itu didirikan oleh almarhum Abdul Hamid pada 1984. Taufik ialah keponakan Abdul dan sejak kecil telah ikut bersama almarhum pamannya untuk mementaskan ondel-ondel, palang pintu dan kesenian Betawi lainnya. Selain mentas, Sanggar Mamit yang kini dipimpin Hanafi, anak Abdul, juga kerap menerima pesanan pembuatan ondel-ondel. 

SANGGAR. Taufik Hidayat, pengelola Sanggar Mamit Cs di Jalan Anggrek, Senen, Jakarta Pusat. Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Namun demikian, diakui Taufik, baik pesanan pembuatan ondel-ondel maupun undangan untuk mentas terus berkurang seiring waktu. Kini, dalam sebulan ia dan anggotanya hanya sekali atau dua kali mentas di acara kawinan atau sunatan. Kondisi itu memaksanya mengerahkan ‘pasukan’ turun ke jalan untuk mengamen. “Kalau enggak, ya nganggur aja. Enggak ada pemasukan,” ujarnya. 

Mamit Cs memiliki dua rombongan seniman ondel-ondel yang setiap hari mengamen di berbagai pelosok ibu kota .Namun demikian, Taufik menegaskan, rombongan ondel-ondel yang ia pimpin masih taat pakem. Satu rombongan terdiri dari 1 unit ondel-ondel dan 13 orang ‘pengawal’, lengkap dengan seragam, dan perkusi. “Enggak pake musik dari USB (universal serial bus). Kalau sekarang kan banyaknya pake musik yang disetel,” jelas dia. 

Di Gang Anggrek, menurut Taufik, ada sekitar 10 sanggar. Namun, hanya Mamit Cs yang terdaftar sebagai lembaga kebudayaan Betawi di Pemprov DKI. Lainnya tidak memiliki izin beroperasi. “Emang dapet izinnya juga susah sih. Enggak gampang. Minimal harus ada kenalan di LKB pusat atau Pemprov DKI. Kalau kita emang berdiri dari dulu, udah pada kenal,” ujar dia. 

Nurjanah, istri mendiang Abdul Hamid turut berkomentar. Menurut dia, maraknya warga Gang Anggrek yang membuka sanggar dan terjun ke bisnis ondel-ondel membuat persaingan antar seniman ondel-ondel semakin ketat. Kini, para pemain ondel-ondel Mamit Cs bahkan harus diterjunkan ke pinggiran Jakarta agar bisa pulang membawa uang. 

“Kayak sekarang kan sampai Tanggerang, Ciledug, Cipayung. Dulu paling jauhnya sampai Setiabudi. Kalau sekarang kadang-kadang di jalan suka amprokan (berpapasan). Malah kadang-kadang amprokannya sama satu grup orang rumah gitu. Kan kadang kalau sama teman-teman orang lain suka jahil, suka berebutan lokasi gitu ye ama orang luar. Ada juga yang pada ribut,” ujar dia. 

Dari tahun ke tahun, Nurjanah menuturkan, pendapatan Mamit cs pun terus berkurang karena menjamurnya pengamen ondel-ondel. Dulu, di luar setoran, setiap anggota sanggar bisa mengantongi Rp 150 ribu sepulang mengamen. “Kalau sekarang Rp 70 ribu. Kayak orang dagang, makin banyak saingan dagang yang pendapatan ada aja tapi berkurang. Kita juga matok. Setoran ya seadanya,” tutur dia. 

Ditertibkan

Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiarti mengakui banyak oknum yang menggunakan ondel-ondel sebagai alat mengamen dan mengemis serta melanggar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. “Banyak juga pendatang yang tujuannya adalah untuk mencari nafkah di Jakarta. Mereka memang berkedok seolah-olah melestarikan kebudayaan. Kita terus melakukan pemantauan,” ujar dia.  

DIANGKUT. Sebuah bajaj tampak mengangkut ondel-ondel dan pemainnya di Gang Anggrek, Senen, Jakarta Pusat. Foto oleh Christian Simbolon/Rappler

Sesuai aturan, ondel-ondel seharusnya tidak boleh mengamen di jalan-jalan protokol dan hanya boleh beredar di jalan-jalan perkampungan. Namun, saat ini terlihat banyak ondel-ondel yang manggung di jalan-jalan utama ibu kota. “Tapi enggak banyak. Nanti akan kita upayakan untuk ditertibkan. Tapi, memang butuh koordinasi berbagai pihak untuk menertibkannya,” imbuhnya. 

Menurut Tinia, pihakya telah mendata sanggar-sanggar yang ada di ibu kota dan rutin menggelar sosialisasi. Rencananya, Pemprov juga akan memberikan jadwal khusus bagi sanggar-sanggar resmi untuk manggung di ruang-ruang publik. “Sejauh ini partisipasinya positif,” ujarnya tanpa merinci kompromi semacam apa yang disiapkan Pemprov. 

Hal itu diamini Taufik. Menurut dia, beberapa bulan lalu, Pemprov memang sudah mengundang para pemilik sanggar untuk berdialog. Taufik berharap, kebijakan dari Pemprov tidak akan merugikan pemilik sanggar, apalagi yang memiliki izin resmi. “Dengernya sih mau ditempatin di mal-mal atau pusat keramaian buat mentas. Sekali mentas katanya Rp 2 juta. Kalau segitu sih cukup. Enggak perlu ngamen lagi. Ya, biar bagaimanapun ini kan budaya. Harus dilestarikan,” ujar dia. 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!