Melongok embrio kerajaan Islam Nusantara di Demak

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Melongok embrio kerajaan Islam Nusantara di Demak
Beragam tradisi masih dipertahankan di masjid yang konon pernah menjadi 'kantor' pusat pemerintahan Raja Demak pertama itu

Demak, Indonesia—Lantunan ayat-ayat suci Al Quran menggema di seantero ruangan Masjid Agung Demak, kawasan Kauman, Demak, Jawa Tengah, Sabtu sore, 9 Juni 2018. Diterangi temaram matahari senja, suasana masjid tampak begitu syahdu.

Bersama puluhan jemaah lainnya, Isnaeni, 53 tahun, khusyuk mengikuti semaan (tradisi membaca dan mendengarkan pembacaan) Alquran yang dipandu seorang kyai sepuh di pelataran masjid peninggalan Raden Patah itu. Tepat 10 menit menjelang kumandang azan Maghrib, semaan di Masjid Agung Demak itu berakhir. 

“Sudah puluhan kali saya ikut semaan di sini. Nuansanya terasa berbeda ketika Ramadan. Kita bisa bersama-sama merasakan kehangatan dan menjalin persaudaraan sembari khataman Quran,” ujarnya saat berbincang dengan Rappler usai mengaji.

Isnaeni sudah puluhan tahun rutin menghadiri semaan di Masjid Agung Demak. Khusus untuk semaan kali itu, ia mengajak kedua anak dan istrinya. Ia berniat menularkan arti ketekunan dan ketakwaan dengan mengajak mereka ikut semaan dan berkunjung ke salah satu masjid tertua di Nusantara itu. 

“Ini tadi sempat lihat-lihat kompleks pekuburan para wali yang ada di samping masjid. Banyak nilai-nilai sejarah yang harus dipelajari oleh anak muda zaman sekarang. Perjuangan para wali dalam mensyiarkan Islam tidak boleh dilupakan begitu saja,” imbuh Rini, istri Isnaeni.

DISKUSI. Ruangan utama Masjid Agung Demak yang konon dipakai untuk berdiskusi Walisongo dengan Raden Patah. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Dibangun oleh Walisongo

Masjid Agung Demak dibangun oleh sembilan wali atau yang masyhur disebut Walisongo pada abad ke-14. Para wali konon membangun masjid ini hanya dalam semalam. Marbot Masjid Agung Demak, Ahmad Qoif, mengungkapkan, semaan Quran merupakan satu dari sekian banyak tradisi era Walisongo yang masih lestari hingga kini. 

Selain tradisi, Ahmad menuturkan, bentuk bangunan masjid juga terus dirawat, termasuk empat pilar kokoh yang menopang atap bangunan. “Para wali menyebutnya pilar soko tatal, tingginya 17 meter yang mengandung artian 17 rakaat. Soko tatal itu dulunya digotong langsung oleh empat anggota Walisongo yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati serta Sunan Bonang,” ujar Ahmad sambil membawa Rappler berkeliling. 

Soko tatal, kata Ahmad, juga relatif masih utuh. Hanya saja, sebuah pilar kayu milik Sunan Kalijaga harus dipotong sedikit lantaran beberapa tahun lalu sempat keropos. Ketika itu, pihak masjid harus pontang-panting mencari jenis kayu yang hampir mirip untuk dipasang pada pilar Sunan Kalijaga.

“Akhirnya dapat diganti kayu berusia satu abad pada 1985 silam. Termasuk penggantian sirapnya yang berjumlah 70 ribu biji juga diganti dari bahan baru yang dananya didapat dari bantuan Organisasi Konferensi Islam (OKI),” cetus pria yang sudah 24 tahun menjadi marbot itu.

Ahmad menuturkan, bangunan Masjid Agung Demak kaya akan simbol. Atap bertingkat tiga misalnya, merupakan simbol ajaran Islam yang berarti iman, Islam, dan ihsan (kesempurnaan). 

“Keaslian bangunan kholwat untuk tempat i’tikaf dan salat tahajud pun masih terjaga. Kayu-kayunya masih terawat dengan baik,” ujarnya. 

Salah satu simbol yang paling menarik dari Masjid Agung Demak ialah lambang petir berkepala naga yang berada di pintu depan masjid. Menurut Kepala Museum Masjid Demak Iswayudin, petir berkepala naga itu konon merupakan sosok makhluk gaib yang dijumpai Sunan Bonang ketika bertamu ke masjid. 

Sunan Bonang sempat memasukan makhluk gaib itu dalam botol. Syahdan, ia menuangkan perwujudan petir itu pada sebuah lukisan. “Tetapi karena kasihan lihat petir yang meronta-ronta maka dilepaskan oleh Sunan Bonang. Hasil lukisannya berupa kepala naga. Masyarakat muslim lokal melihatnya sebagai bentuk pengingat orang yang masuk masjid untuk tidak bicara keras-keras,” tuturnya.

Menurut Iswayudin, Masjid Demak merupakan satu-satunya jejak peninggalan Raden Patah tatkala memimpin Kerajaan Demak pada abad ke-19. Bahkan, masjid yang dilengkapi beragam benda cagar budaya itu konon dijadikan Raden Patah sebagai ‘kantor’ pusat pemerintahannya. 

“Raden Patah membuktikan ajaran Rasulullah bahwa menjadi raja itu tak butuh keraton. Maka, masjid inilah yang dulu jadi pusat pemerintahannya. Tiap kali ada pertemuan dengan Walisongo, beliau mengadakannya di dalam masjid. Raden Patah kemudian tinggalnya di rumah-rumah penduduk sekitar sampai akhir hayatnya,” ujar dia. 

PELATARAN. Suasana pelataran Masjid Agung Demak usai khataman Quran, Sabtu 9 Juni 2018. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Dibiayai hasil sawah

Ditambahkan Iswayudin, sejak puluhan tahun, masjid itu tidak pernah tersentuh alokasi dana dari pemerintahan. Masjid bisa mandiri berkat penjualan hasil bumi yang diperoleh dari sawah warisan Raden Patah yang saat ini masih terlihat jelas di pinggiran Demak. Luas sawahnya mencapai 500 hektare.

“Hasil pertaniannya dilelang tiap tahun lalu dikelola Badan Ketakmiran Masjid di bawah Kemenag (Kementerian Agama) yang mengacu keputusan Menag tahun 1961. Hasilnya untuk kemaslahatan masjid, termasuk hasil sadaqah warga miskin,” imbuhnya.

Raden Patah mewariskan tahta Kerajaan Demak kepada Raden Pati Unus sebelum diteruskan oleh Raden Trenggono. Namun, Kerajaan Demak harus berakhir ketika Sultan Hadiwijaya alias Raden Mas Karebet atau masyhur dikenal sebagai Joko Tingkir memilih eksodus dan mendirikan Kerajaan Pajang di tenggara Kota Solo.

“Habis itu sudah selesai (silsilahnya). Karena Raden Trenggono pun memiliki anak bernama Ratu Kalinyamat yang memilih tinggal di Jepara. Setelah itu putus, dan yang meneruskan takmir BKM Kemenag,” ujar Ahmad.

Embrio kerajaan Islam 

Sejarawan Masud Thoyib, mengatakan, Demak merupakan embrio dari kerajaan Islam di Nusantara. Sebagai salah satu kawasan yang dilalui jalur sutra dari tanah Arab, Demak memegang peranan penting dalam lahirnya kerajaan-kerajaan Islam. Dari jalur perdagangan itulah, nama-nama para wali yang menyiarkan ajaran Islam ke seluruh Nusantara lahir. 

“Tidak cuma sembilan wali. Tetapi melalui Kerajaan Siak di Aceh, Ternate dan Majapahit ada bukti adanya kuburan seorang wali namanya Syeh Jamadil Kubro di situs Trowulan. Di akhir keruntuhan Majapahit, tumbuhlah kerajaan Islam pertama di Demak Bintoro dengan Raden Patah sebagai sultan pertama atas dukungan Walisongo,” kata Thoyib.

Wilayah kekuasaan Demak ketika itu berkembang mulai dari utara Jawa, Banten, Jayakarta, Cirebon dan bahkan sempat ‘mencakup’ seluruh Pulau Jawa. Jejak Demak sebagai kerajaan Islam kemudian disusul Kesultanan Ternate yang berkembang hingga ke Tidore, Jailolo dan Bacan. 

Pengaruh Islam Kesultanan Ternate kemudian berkembang  berkembang hingga ke daerah Sulawesi Tenggara, Bone dan Sulawesi Barat sebelum akhirnya merambah ke Kaimana Papua Barat. Adapun Kerajaan Demak lenyap tanpa bekas pada era kolonial Belanda. Ketika itu, ‘jabatan’ raja sebagai penguasa pemerintahan hilang dan digantikan seorang bupati yang dipilih oleh Gubernur Belanda. 

Mengingat masih banyaknya ‘vakum’ dalam catatan sejarah mengenai Demak, Thoyib  dan rekan-rekan sejarawan lainnya berniat mencari peninggalan Kerajaan Demak lainnya yang mungkin masih terpendam di sejumlah lokasi. “Seharusnya ada tetenggernya atau situsnya karena kini belum terlacak oleh BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya),” imbuhnya.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!