SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
YOGYAKARTA, Indonesia — Usianya 9 tahun ketika bapaknya tak pulang. Bahkan kini, 20 tahun kemudian, lelaki yang dinanti itu tak jua kembali. Fitri Nganthi Wani berdiri di antara imajinasi dan realitas.
Apakah bapak benar-benar hilang
Atau sengaja sembunyi?
(Dari puisi Bercakap pada Hati tentang Misteri Pergimu)
Rasa kehilangan meninggalkan jejak trauma mendalam. Kerinduan bercampur kemarahan. “Saya telah menemukan satu masa di mana marah itu percuma, menangis itu percuma,” kata Wani (kini 29 tahun) di sela peluncuran kumpulan puisi Kau Berhasil Jadi Peluru di Yogyakarta, Jumat 8 Juni 2018.
Ini buku puisinya yang kedua. Kumpulan puisinya yang pertama, berjudul Selepas Bapakku Hilang, diluncurkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 2009. Kau Berhasil Jadi Peluru, segera mengingatkan pada judul kumpulan puisi bapaknya, Aku Ingin Jadi Peluru, yang diterbitkan Indonesia Tera pada 2000.
(BACA JUGA: 5 puisi Wiji Thukul yang masih relevan hingga sekarang)
Wiji Thukul, bapaknya, adalah sastrawan dan tokoh perlawanan pada diktator Orde Baru. Tak jelas kapan dan di mana penyair cadel yang populer dengan sajaknya Hanya ada satu kata, lawan! itu menghilang. Konon, ia hilang paska kerusuhan 27 Juli 1996 di Kantor Pusat Partai Demokrasi Indonesia Jakarta, meski sejumlah kawan mengaku masih melihatnya pada April 1998. “Dia telah berhasil jadi peluru,” kata Wani.
Kau berhasil jadi peluru
Melesat pesat ke arah yang kau mau
Menembak telak di tiap sasaranmu
Namun ada yang tak kau tahu
Satu dari pelurumu itu
Telah mengoyak isi jiwaku
(Dari puisi Kau Berhasil Jadi Peluru)
Thukul meninggalkan seorang istri, Siti Dyah Sujirah atau biasa disapa Mbak Pon, dan dua orang anak: Wani dan adiknya, Fajar Merah. Sementara Fajar tak merekam kenangan tentang sosok bapak, karena masih orok ketika ditinggalkan, Wani dan ibunya menyimpan memori yang dalam. Dan, ketika Wiji Thukul tak jelas keberadaannya, memori itu menjelma jadi bayangan menakutkan.
Wani mengatakan kehilangan bapak adalah faktor utama traumanya. Ditambah kondisi sehari-hari yang membuat putus asa, membuat keluarganya kian berat menjalani hidup. Bahkan, ia melanjutkan, pernah jatuh ke titik terendah. Kondisi psikologisnya terguncang hebat dan harus mendatangi psikiater untuk memulihkan kondisi kejiwaannnya. “Ada banyak sekali hal yang tak bisa diceritakan bahkan pada teman terdekat sekalipun,” katanya.
Fitri pernah iri pada Fajar sekaligus merasa lebih beruntung.
Kadang aku iri padamu, Dik
Kau bisa begitu tenang
Terlihat lebih pandai menikmati hidup
Kau juga boleh iri
Ketika waktu bapak buatku
Pernah lebih banyak
(Dari puisi Bersama Kita Menghasut Waktu)
Tapi, bagi dia, mengutuk nasib juga iri pada orang lain bukanlah solusi. Cinta pada kehidupan harus dilatih, berulang-ulang seperti makan dan minum. “Kebahagian harus datang dari sendiri, selama belum ikhlas kesakitan akan terus berulang,” katanya.
Terapi
Paska terbitnya kumpulan puisi yang pertama, Wani banyak memiliki kesempatan bertemu banyak orang. Dari sana muncul kesadaran ternyata banyak orang senasib dengannya. Atau mungkin lebih buruk dibanding dirinya. “Ternyata saya juga menjadi inspirasi bagi orang lain,” katanya.
Kepercayaan dirinya muncul. Semangat untuk melanjutkan hidup tumbuh. Ketika pengalaman traumatiknya menyergap, ia buru-buru mengalihkan pikirannya dengan menulis puisi. Di atas selembar kertas atau di smartphone, sesegera mungkin tanpa menunda. “Saya alihkan energi dengan menulis,” katanya.
Pelampiasan itu sekaligus menjadikannya sebagai penulis produktif. Setidaknya ada 270 puisi yang ia tulis selama sewindu terakhir.
Tiga tahun lalu, Wani menjadi narasumber untuk film Istirahatlah Kata-kata garapan sutradara Yosep Anggi Noen. Film yang dibintangi Gunawan Maryanto dan Marissa Anita itu berkisah tentang perjuangan Wiji Thukul menumbangkan rezim Orde Baru. Proses penggarapan film itu sekaligus jadi kesempatan untuk menerbitkan puisinya menjadi buku.
(BACA JUGA: Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, istri Wiji Thukul menagih janji Jokowi)
“Buku ini sebagai kelanjutan dari kolaborasi artistik yang ia dan kawan-kawan rintis pada 2015 melalui produksi film Istirahatlah Kata-kata,” kata Direktur Partisipasi Indonesia sekaligus produser film Istirahatlah Kata-kata Yulia Evina Bhara.
Kau Berhasil Jadi Peluru memuat 50 puisi Wani. Gunawan Maryanto bertugas mengurasi puisi mana yang akan dimasukkan dalam buku itu. “Jadi masih ada dua ratus puisi yang belum masuk sehingga ini akan jadi kolaborasi yang panjang,” kata Yulia.
Gunawan, dalam kata pengantarnya untuk buku ini, menulis ia harus berhati-hati memilih dan memilah puisi Wani. Hubungan puisi dan penulisnya tak bisa dijelaskan dengan hubungan sebab-akibat yang sederhana. Sementara dalam puisi Wani, kesedihan dan kemarahan, juga perasaan dan pikiran lain muncul dengan cara yang berbeda.
Para penyair, ia melanjutkan, kadang membocorkan kisah hidupnya lewat puisi. Bisa jadi, puisi itu menjadi semacam serpihan pengakuan. Tapi sebagai karya sastra, puisi tetap berdiri sendiri dan bisa jadi topeng bagi penulisnya. “Karenanyalah saya harus berhati-hati,” tulisnya.
Toh, yang jelas . Dengan puisi, ia lebih mengenali dirinya dan berani melawan ketakutan. Bukankah Wiji Thukul pernah berujar, “Jika kau menghamba pada ketakutan, kita akan memperpanjang barisan perbudakan”.
—Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.