Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta: Potret kemanusiaan dan harmoni

Dhion Gumilang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta: Potret kemanusiaan dan harmoni
"Kami tidak mengekslusifkan diri"

YOGYAKARTA, Indonesia — Mulai dari aspek biologis, kebangsaan, keagamaan, hingga hal abstrak sekalipun tentang psikologis, manusia diciptakan beragam. Potensi alami ini sudah digariskan dan menjadi karakter manusia sejak lahir.

Potensi alami ini perlu diatur supaya menjadi sumber dan penyebab kemajuan karena akan menjadi kekacauan, keburukan dan malapetaka apabila tidak digunakan dengan semestinya. Salah satu kodrat manusia secara alami lainnya adalah menjadi makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia diharapkan bisa membaur dan hidup berdampingan dengan yang lainnya. 

Dalam keadaan bermasyarakat itu mereka saling memerlukan antara satu dengan yang lain. Kehidupannya bergantung pada sesamanya. 

Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta adalah sebuah gerakan yang menjawab dari respon diakuinya Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan berbadan hukum, bernama Jemaah Ahmadiyah Indonesia pada Maret, 1953 di bawah Pemerintahan Presiden Soekarno.

Layaknya sebuah gerakan, struktur organisasi yang dimiliki Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta juga tidak jauh beda dari yang lain. Perempuan dalam Gerakan Ahmadiyah juga memiliki struktur tersendiri yang disebut dengan Lajnah Imailah. Selain fokus pada kegiatan yang memperkuat posisi wanita, tetapi juga ikut berperan aktif dalam kegiatan sosial seperti memberi edukasi dan dukungan terhadap perempuan untuk mendapatkan keadilan gender, menyantuni anak yatim piatu, dan berbagi dengan warga sekitar melalui takjil buka puasa.

Hidup bermasyarakat

Meski mengalami tindak kekerasan hingga pengusiran dari rumah, jemaah Ahmadiyah di kota lain tidak membalas perbuatan tersebut dengan kekerasan. Malah mereka kerap melakukan kegiatan sosial. Seperti yang dilakukan oleh Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta ketika Gereja St. Maria Assumpta Gamping, Sleman mengadakan sahur bersama, maka ada 7 anggota Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta hadir.

Tidak hanya mematahkan anggapan eksklusifitas kelompok, tetapi juga menunjukkan bahwa Ramadan adalah saat yang tepat untuk mulai membiasakan saling menghormati dan memupuk persatuan. Selain itu, Lajnah Imailah Yogyakarta berkesempatan juga untuk membagikan bingkisan Lebaran kepada warga sekitar Masjid Fadhli Umar yang menjadi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah.

MOMEN PRIBADI. Duduk dalam barisan yang rapi bersama-sama memanjatkan doa dan syukur dalam momen pribadi antara hamba dengan Tuhannya. Foto oleh Dhion Gumilang/Rappler

Tak hanya berhenti pada keikut sertaan anggota secara aktif dalam hidup bermasyarakat, tetapi, ketua Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta, Sarwan Sutomo, juga sering diundang dalam diskusi publik tentang persatuan dan kesatuan NKRI serta diskursus lintas iman.

“Kami tidak mengekslusifkan diri atau mengasingkan masyarakat di luar kelompok kami, tetapi kami membaur dengan semuanya,” tegas Afgor Ali, ketua Seksi Dakwah dari Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta. Sang ketua pun saat ini masih aktif menjadi tenaga pengajar di SMK 1 Sleman. 

Momen kemenangan dan kebersamaan

Seringkali jemaah Ahmadiyah mengalami ketidak pastian dalam merayakan hari kemenangan. Hal ini dikarenakan adanya penyegelan tempat ibadah milik jemaah Ahmadiyah dan juga ancaman persekusi dari warga sekitar. Tetapi, bagi warga Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta yang tahun ini kembali mengikuti instruksi pemerintah untuk merayakan hari raya Idulfitri, bisa berdampingan dan melaksanakan salat Id dengan khusyuk dan tenang di pelataran Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, berbaur dengan warga Muslim lainnya.

SILATURAHMI. Berjabat tangan memperat tali silaturahmi serta mengucap syukur masih diperbolehkan menjalani bulan suci Ramadan tahun ini. Foto oleh Dhion Gumilang/Rappler

Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta yang aktif dalam kegiatan edukasi bersama dengan Yayasan Piri Yogyakarta, setiap tahunnya tergabung dalam struktur kepanitiaan salat Id bersama di Stadion Mandala Krida. “Kami bekerja sama dengan 9 masjid dan 3 musala untuk menyelenggarakan salat Id dalam sebuah Panitia Hari Besar,” menurut penjelasan Afgor.

Sekalipun tindak kekerasan dan persekusi sering dialami oleh jemaah Ahmadiyah Indonesia, tetapi potret Gerakan Ahmadiyah Yogyakarta dan kerjasama dengan saudara seiman lainnya bisa menjadi contoh sebagai suatu kebersamaan dalam perbedaan untuk beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Manusia memang sama di hadapan-Nya dan tidak ada satu pun manusia yang berhak menghakimi manusia lainnya terkait keimanan dan ketakwaannya. Tetapi, yang manusia bisa lakukan adalah bersama-sama hidup dalam harmoni untuk menciptakan kerukunan dan bersama-sama beribadah dengan khusyuk menghargai momen pribadi antara manusia dengan Tuhannya. 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!