Indonesia siap tingkatkan konversi sawit ke biofuel

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indonesia siap tingkatkan konversi sawit ke biofuel
Mentan Amran: Tahun 2017 Indonesia penuhi 20 persen biofuel dalam BBM, dan dilanjutkan 30 persen tahun berikutnya.

 

JAKARTA, Indonesia –  Ancaman resolusi sawit yang diterbitkan Uni Eropa tidak membuat Indonesia gentar.  Dalam resolusi yang diluncurkan pada tanggal 7 April 2017, Uni Eropa menjadikan deforestasi hutan di Indonesia sebagai alasan melancarkan kampanye negatif terhadap produk andalan ekspor Indonesia itu.  Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, resolusi UE semata didasari masalah bisnis dengan menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai alasan.  

“Perancis paling ribut terkait masalah sawit. Padahal mereka hanya mengimpor 20 ribu ton,” kata Amran disela-sela kunjungannya ke pabrik sawit PTPN XIV di Luwu Timur, Rabu 26 April 2017.  Total impor kebutuhan minyak sawit negara UE adalah 3,2 juta ton. “Justru kitalah yang peduli dengan lingkungan karena penanaman sawit dilakukan di atas lahan kering. Ini membantu penyerapan air dan membuat lingkungan menjadi hijau, “ kata Amran.

BACA:  Indonesia Protes Perancis soal Pajak Impor Minyak Sawit

Amran mengatakan minyak sawit Indonesia memiliki pasar potensial lain di India, Tiongkok, Turki dan Pakistan. Di dalam negeri, konversi minyak sawit ke bahan bakar terbarukan, biofuel, sudah mencapai 3 juta ton. “Tahun 2017, kami akan meningkatkan B.20, atau campuran 20 persen minyak sawit dalam bahan bakar minyak, sebesar 7 juta ton. Jika kami tingkatkan ke B.30 pada tahun berikutnya, dengan target pemanfaatan 13 juta ton minyak sawit, saya kira ada negara yang tidak akan kebagian.  Jadi, kita tidak perlu takut dengan black campaign sawit oleh Uni Eropa,” ujar Amran.

Indonesia dan Malaysia adalah produsen utama minyak sawit yang menguasai 80 persen pasar dunia. Pemerintah Indonesia menganggap resolusi minyak sawit oleh UE bertujuan melindungi produk UE, yaitu minyak dari rapeseed, minyak bunga matahari dan minyak kedelai yang kalah bersaing jika dibandingkan dengan minyak sawit. Dari sisi produksi, sawit paling produktif dalam hal penggunaan lahan dan hasil yaitu 4,27 ton / ha / tahun, sedangkan rapeseed hanya menghasilkan 0,60 ton / ha / tahun, bunga matahari  0,52 ton / ha / tahun, dan tanaman kedelai  0,45 / ton / ha / tahun.

Menurut Amran, resolusi minyak sawit oleh UE sebagai sebuah kebijakan perlu ditinjau kembali, karena akan berdampak kepada perusakan hutan secara tidak terkendali. Akan menimbulkan efek domino, mulai dari harga sawit yang turun akan berdampak langsung pada nasib pekerja. Jika ini terjadi para pekerja sawit yang selama ini hidup dari sawit akan kembali masuk hutan untuk mencari penghasilan baru dengan membuka lahan baru yang artinya hutan akan kembali di tebang. “Jika ini terjadi maka secara tidak langsung UE justru yang paling bertanggung jawab terjadinya deforestasi,” kata Amran.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengecam resolusi sawit ini pada hari ketika resolusi diluncurkan, pada tanggal 7 April 2017. Saat itu  Siti Nurbaya tengah berada di Finlandia. Dia geram mengetahui laporan resolusi sawit itu muncul lantaran Indonesia dianggap membiarkan praktik-praktik negatif demi keberlangsungan industri sawit.

Praktik yang ditulis dalam studi Komisi Uni Eropa yakni pekerja anak, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penghilangan hak masyarakat adat dan korupsi. Siti mengatakan catatan negatif yang disampaikan dalam mosi Parlemen Eropa terhadap Indonesia tidak dapat diterima dan merupakan bentuk penghinaan.

“Tuduhan bahwa sawit adalah korupsi, industri sawit mengeksploitasi pekerja anak, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan menghilangkan hak masyarakat adat adalah tuduhan keji dan sudah tidak lagi relevan,” ujar Menteri Siti dalam keterangan tertulis pada Jumat, 7 April.

BACA :  Indonesia Tolak Isi Resolusi Sawit Parlemen Eropa 

Siti menjelaskan di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo praktik-praktik semacam itu justru mulai dikurangi. Kini yang diutamakan adalah praktik sustainable management dalam pengelolaan sawit.

Dalam laporan itu, Parlemen Eropa sepakat untuk mulai mengurangi penggunaan zat metil ester di dalam biofuels pada tahun 2020 mendatang.

Resolusi juga menyepakati adanya kriteria minimum bagi semua produk yang terbuat dari kelapa sawit, antara lain harus bersifat berkelanjutan dan tidak dihasilkan dari aktivitas penggundulan hutan. Bahkan, resolusi itu ke depannya juga akan menghapus ide sertifikasi bagi produk sawit Indonesia.

Sebanyak 640 anggota parlemen Eropa menyatakan setuju terhadap resolusi tersebut. Hanya 18 anggota parlemen saja yang menolak. –Rappler.com 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!