Dari kanvas berbicara sampai aplikasi chatting, festival arsip tampilkan karya seniman

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dari kanvas berbicara sampai aplikasi chatting, festival arsip tampilkan karya seniman
Pameran dibagi dalam tiga tema – estetika dan retorika, kekerabatan dan pasar, dan seni di antara negara dan masyarakat

 

YOGYAKARTA, Indonesia – Belasan seniman berpartisipasi dalam Festival Arsip Indonesia Visual Art Archive (IVAA) 2017 yang sedang berlangsung di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Festival bertajuk Kuasa Ingatan itu dibuka pada 19 September dan akan ditutup pada 1 Oktober 2017.

Ada banyak lapak yang bercerita tentang sejarah seni rupa di Indonesia, politik yang melibatkan negara, seniman dan pasar, hingga tentang obrolan atau chatting di media sosial dalam bingkai arsip.

Pameran itu mengajak pengunjung untuk mulai tertarik dengan arsip yang disajikan dalam bentuk interaktif, seperti kanvas dan kelng cat lukis menggunakan sensor gerak, film analog, melukis, hingga mendesain kamar menggunakan berbagai hiasan yang telah disediakan.

“Pameran ini yang pertama kali, tujuannya menampilkan arsip dalam bentuk yang mudah dikonsumsi publik,” kata Arga Aditya, Asisten Direktur Artistik Pameran Arsip pada Sabtu, 23 September 2017.

Pameran tersebut dibagi dalam tiga tema, yaitu estetika dan retorika, kekerabatan dan pasar, dan seni di antara negara dan masyarakat.

Tema estetika dan retorika menampilkan banyak wacana dan retorika masa lalu yang dianggap membentuk dan mempengaruhi wacana kesenian masa kini. Karya milik Uma Guma tentang kanvas, kaleng cat, dan pembungkus, misalnya, menggunakan sensor bergerak. Ada sekitar 20 kaleng cat warna yang mengeluarkan rekaman pidato seniman atau kritikus seni Indonesia masa lalu jika dimasuki kuas. Hal yang sama terjadi jika kanvas mulai dicoreti oleh kuas.

Sedangkan lapak milik Yusuf Ismail dengan bentuk kursi dan meja kosong serta proyektor yang kemudian menyorotkan gambar Yusuf sedang chat seharian menggunakan aneka aplikasi chat di media sosial.

Karya lain milik Hafiz Rancajale berupa enam layar televisi yang menampilkan grafis rekaman suara para tokoh seperti D.A.Peransi, Toeti Herati, Oesman Efendi, Jim Supangkat, Sudjojono, dan Sanento Yuliman.

“Yusuf Ismail tampaknya sedang mendorong pertanyaan ada di mana letak obrolan seorang seniman dalam proses membangun estetika dalam karirnya. Sedangkan Rancajale sedang mengatakan perdebatan kesenian pada masa lalu dampaknya masih terasa di masa kini, meskipun pidato mereka tidak didengarkan oleh orang saat ini tetapi retorika itu tidak tuntas diperdebatkan sampai saat ini,” lanjut Arga Aditya.

Pada tema kekerabatan dan pasar, sejumlah seniman berbincang tentang hak milik yang menjadi perdebatan di antara seniman dan artisan. Ada banyak artisan yang menghasilkan karya lukis kemudian secara sadar diklaim milik seniman lain yang telah punya pasar atau pemilik proyek.

Melalui lapak kolaborasi Bambang “Toko” Witjaksono dan Uji Handoko, pengunjung diajak terlibat membuat sketsa atau melukis sebagai tanggapan atas karya milik Bambang dan Handoko di lapak tersebut. Seluruh lukisan akan dilelang pada 30 September usai diskusi publik tentang kontroversi hak milik dalam lukisan karya pengunjung yang telah ditanda-tangani oleh Bambang dan muridnya, Handoko.

“Lapak ini bercerita tentang pengaruh kekerabatan, dari guru dan murid, dalam karya seni mereka. Bahwa ada pengaruh di antaranya dalam bentuk mengemas ide dan pola. Kemudian akan mempertanyakan tentang praktek hak milik yang sering dilakukan antara seniman dan artisannya. Diskusi ini akan menyertakan publik karena selama ini diskusi tentang hak milik masih jadi rahasia umum di antara seniman,” paparnya.

Di tema ini ada pula kinship project berupa database seniman di Indonesia seperti karya, pergerakan, dan mitra kolaborasi mereka selama berkarya.

Interaksi pengunjung dengan karya kolaborasi milik Bambang Toko dan Uji Handoko. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler.

Sementara lapak Andri William berupaya mengupas perdagangan lukisan klasik di lapak online, melalui narasi yang dibangun para penjualnya.

“Perdebatan tentang asli tidaknya lukisan tidak pernah tuntas di antara seniman dan karya seni. Andri menyajikan cara pedagang online menjual karya seni yang disebut master. Mereka menjual tidak seperti para seniman dan kritikus, tetapi pakai metode mistis, warisan atau pengalaman pribadi,” kata Arga.  

Tema seni di antara negara dan masyarakat diisi oleh sejumlah lapak menarik. Seperti lapak komunitas Lab Laba-Laba Jakarta yang meneliti Paguyuban Pengusaha Layar Tancap Jabodetabek. Di dalamnya berisi gulungan pita film analog, poster film lama serta proyektor analog. Ada juga artefak tentang sensor pemerintah serta sensor komunitas dilihat dari wilayah pemutaran film.

“Pengusaha juga melakukan sensor mengikuti selera penonton. Misalnya filmnya sama tapi durasinya bisa berbeda. Di Depok, misalnya, lebih banyak adegan lari-lari sementara di Bekasi lebih banyak adegan ciumannya,” paparnya.

Ada pula lapak kolaborasi antara komunitas kajian musik Laras dengan komunitas seni rupa, Club Etsa. Hasilnya ada lapak bilik remaja, berupa miniatur kamar remaja berusia 17 tahun dengan berbagai pernik desain yang berkaitan dengan karya musik sejak tahun 1940 hingga 2016.

Ada poster musisi lawas seperti The Beatles hingga raja dangdut Roma Irama, kaset Chrisye hingga CD milik Payung Teduh, atau alat pemutar lagu seperti turn table hingga ipod dan Mp3 player dan aneka majalah serta kliping tentang musik aneka jaman.

“Di sini pengunjung bisa mendesain sendiri kamar ini, mengandalkan ingatan mereka akan musik ketika berusia 17 tahun. Masing-masing pengunjung bisa mendesain selama 30 menit,” kata Arga.

Ada pula lukisan dari plastik bernama Plastikologi milik Made Bayak dari Bali. Karyanya merekam dampak pariwisata Bali pada timbunan sampah plastik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warganya. Juga instalasi kritik tentang reklamasi teluk benoa. Seniman Lasitha Situmorang menyajikan red districk project tentang kampung sosrowidjayan atau di Jalan Pasar Kembang, memotret dikotomi, antara kampung yang banyak di anggap seluruhnya sebagai kawasan prostitusi, dan upaya mengikis jurang diskriminasi antara pekerja seks dan warga setempat non PS.

“Lasitha berkomunikasi menggunakan media puppet doll dan film. Bahwa tidak semua warga di Sarkem adalah PS dan bahwa antara PS dengan non PS adalah sama, hanya pekerjaan sosial nya yang membuat berbeda,” katanya.    

Untuk mengerti tentang informasi itu, pengunjung akan mendapatkan katalog rangkuman tentang seniman yang terlibat, denah dan agenda selama pameran berlangsung. Pengunjung juga bisa mendapatkan informasi langsung dengan para relawan yang ada di tiap lapak para seniman. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!