Philippine basketball

Cara Iko Uwais menciptakan koreografi action di setiap filmnya

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Cara Iko Uwais menciptakan koreografi action di setiap filmnya
Iko kerap mengombinasikan gaya bela diri Betawi, Jawa Tengah, Jawa Timur dan China

JAKARTA, Indonesia -Bangga dan bahagia. Mungkin itulah yang tengah dirasakan seorang Iko Uwais saat bercerita soal fim terbarunya, Headshot, yang siap tayang awal Desember ini.

Headshot adalah film keenam yang dibintangi pria kelahiran 12 Februari 1983 ini. Dan di luar film Star Wars: The Force Awakens, hampir di seluruh film yang dibintanginya, Iko merancang sendiri koreografi gerakan action dan fighting-nya.

“Sebenarnya sih dari film Merantau, The Raid 1, The Raid 2, ini Headshot juga, Alhamdulillah, Uwais Team yang bikin koreografi, tuh, dia-dia juga orangnya. Jadi, saya udah nyaman sama mereka,” kata Iko saat ditemui usai press screening dan press conference film Headshot di XXI Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Desember.

Dari satu film ke film lain, bukannya puas, Iko justru mengaku masih memiliki banyak kekurangan untuk urusan koreografi, terutama soal materi dan perbendaharaan style fighting.

“Kami mau ada kolaborasi unsur art-nya, enggak hanya silat. Di sini ada wushu, boxing dan kung fu,” ujar Iko tentang tim koreografinya yang beranggotakan 13 orang tersebut.

Lantas, bagaimana trik Iko menyusun koreografi untuk setiap film?

“Saya sesuaikan sama kebutuhan scene. Jadi misalkan ada scene di mobil, di Headshot, kami lihat situasi. Situasinya kayak Ismail ini lupa ingatan, enggak mungkin dia, pas hadapin orang, langsung jago. Dan dari segi ceritanya juga enggak cuma tendang, pukul dan bunuh-bunuhan. Saya sesuaikan dengan segi cerita.”

Dengan latar belakang sebagai atlet, Iko mengaku lebih mudah merancang setiap koreografi. Karena itu, ia merasa tidak pernah melebih-lebihkan sebuah adegan action.

“Misalnya, pencak silat yang pakai bola api atau terbang-terbangan dan tenaga dalam itu bukan zamannya lagi. Saya mau dengan pencak silat ini, apa yang saya pelajari di perguruan saya, saya aplikasikan dalam film. Jadilah sebuah koreo.”

“Jadi, misalkan satu lawan satu, lawan dua, lawan lima, itu gerakannya nggak mungkin sama, pasti beda. Jurus-jurus di perguruan memang tidak pure Betawi, jadi memang ada campuran Jawa Timur, Tengah dan China. Saya ingin gerakan disesuaikan dengan masing-masing serangan, tangkisan, pukulannya akan saya bedakan masing-masing koreo di masing-masing fighter. Jadi tidak monoton.”

Entah karena sudah terbiasa atau memang sudah menguasai, Iko pun mengaku tidak butuh waktu lama untuk melakukan persiapan sebelum syuting. Untuk film Headshot ini misalnya, Iko mengaku hanya butuh waktu tiga minggu untuk mempersiapkan diri.

“Bikin proses koreonya secara keseluruhan. Kemudian, kami bikin videografinya itu sebagai salah satu panduan buat syuting nanti. Ketiga, latihan. Untuk menghapal, untuk melatih, untuk reading, baru syuting.”

Tapi meski dengan persiapan sempurna, bukan berarti Iko terlepas dari risiko. Menderita luka atau cedera di lokasi syuting pernah dilaluinya. Termasuk di film Headshot.

“Salah satu adegan saya fighting sama David dan Tejo di atas meja, saya jatuh. Pas jatuh itu, saya lagi pengin menggulingkan David ke atas meja. Pas jatuh, sih, aman. Pas berbalik, kaki David landing ke pipi saya dan ada bekasnya.  Jadi, pas di situ, lumayan. Saya cuma pakai sarang laba-laba yang masih fresh banget. Tapi emang agak nyut-nyutan dan perih. Tapi bakteri itu tidak ada, seminggu itu langsung rapat. Seperti dijahit. Kalau dijahit, pasti mata saya naik.”-Rappler.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!