Menikmati muhibah damai Laksamana Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menikmati muhibah damai Laksamana Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong
Selain menjadi tujuan wisata, kelenteng ini berfungsi sebagai tempat ibadah bagi warga Kong Hu Cu.

SEMARANG, Indonesia – Jika kita berjalan menuju ke halaman Kelenteng Sam Poo Kong, berdiri megah sebuah patung. Di kaki patung, terdapat tulisan yang dipahat di batu granit. 

Di sana tertulis: Autobiografi Laksamana Agung Zheng He, 1371 – 1435, Sang Duta Perdamaian. Laksamana Zheng He lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok, pada tahun 1371. Di masa kekaisaran Yong Le, dinasti Ming, Laksamana yang kita kenal dengan sebutan Laksamana Cheng Ho ini memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara di seberang lautan sebagai Duta Perdamaian.

Pada tahun 1405, pelayaran muhibah pertama, Laksamana memimpin 62 kapal megah berangkat dari Shuzou, Pelabuhan Liujiagang, mengunjungi Champa, Sumatera, Jawa, Srilanka dan Kalikut (India Barat). Menurut Galvin Menzies sejarahwan Inggris, sejumlah kapal dari armada Laksamana Cheng Ho berhasil mencapai Benua Amerika pada tahun 1421.

Laksamana Cheng Ho wafat pada tahun 1435 di tengah perjalanan pulang dari Kalikut. Jenazahnya diperkirakan dihanyutkan di tengah laut. Tapi, ada yang meyakini Laksamana beragama Islam ini dimakamkan di Semarang.

Percaya atau tidak? Faktanya bahwa Kelenteng Sam Poo Kong berdiri megah, dengan dominasi nuansa merah dan menjadi bangunan paling menarik kota Semarang. Di musim liburan, ribuan pengunjung mendatangi bangunan ini, untuk beribadah, atau sekedar menikmati dan berfoto.

Kalau saja anak buah Laksamana Cheng Ho tidak sakit, mungkin cikal-bakal bangunan ini tidak akan ada. Kelenteng Sam Po Kong merupakan bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Cheng Ho. Tempat ini biasa disebut Gedung Batu, karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu. Terletak di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang.

Hampir di keseluruhan bangunan bernuansa merah khas bangunan Tiongkok. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu diletakkan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien.

SEMBAHYANG. Warga setempat terlihat tengah menyalakan hio (dupa) untuk sembahyang di Kelenteng Sam Poo Koo. Kelenteng ini direnovasi oleh Pemprov Jawa Tengah pada tahun 2005 lalu karena terkena banjir & longsor. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, dan bangunan ini awalnya didirikan untuk berdoa, seperti mesjid. Tetapi dalam perjalanan waktu setelah bangunan ini diambil alih oleh warga Tionghoa, Laksamana Cheng Ho dianggap Dewa. Warga Kong Hu Cu datang ke sini untuk berdoa.

Bangunan utama dari kelenteng adalah sebuah Goa Batu yang dipercaya sebagai tempat awal mendarat dan markas Laksamana Cheng Ho beserta anak buahnya ketika mengunjungi Pulau Jawa di tahun 1400-an. Goa aslinya tertutup longsor pada tahun 1700-an, kemudian dibangun kembali oleh penduduk setempat sebagai penghormatan kepada Cheng Ho.

Di dalam goa tersebut terdapat Patung Cheng Ho yang dilapisi emas dan digunakan untuk ruang sembahyang dalam memohon doa restu keselamatan, kesehatan dan rezeki. Selain bangunan inti goa batu tersebut, yang dindingnya dihiasi relief tentang perjalanan Cheng Ho dari daratan Tiongkok sampai ke Pulau Jawa, di area ini juga terdapat satu kelenteng besar dan dua tempat sembahyang yang lebih kecil.

Di dalam Gedong Batu juga ada sumur yang dipercayai tak pernah kering selama ratusan tahun. Warga yang berdoa boleh masuk ke ruangan di bawah gedung. Kini disediakan pula semacam tong untuk menaruh air dari sumur, agar tidak semua orang masuk ke goa. Banyak yang percaya air itu suci dan dapat menyembuhkan penyakit.

Di samping bangunan utama ada tempat-tempat sembahyang lain, yaitu kelenteng Thao Tee Kong yang merupakan tempat pemujaan Dewa Bumi untuk memohon berkah dan keselamatan hidup. Sedangkan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi berupa makam juru mudi kapal yang ditumpangi Laksamana Cheng Ho. Gara-gara mencari pengobatan untuk juru mudi ini Laksamana Cheng Ho mampir di Semarang.

Tempat pemujaan lainnya dinamai Kyai Jangkar, karena di sini tersimpan jangkar asli kapal Cheng Ho yang dihias dengan kain warna merah pula. Di sini digunakan untuk sembahyang arwah Ho Ping, yaitu mendoakan arwah yang tidak bersanak keluarga yang mungkin belum mendapat tempat di alam baka.

Ada tempat pemujaan Kyai Cundrik Bumi, dulunya adalah tempat penyimpanan segala jenis persenjataan yang digunakan awak kapal Cheng Ho, serta Kyai dan Nyai Tumpeng yang mewakili tempat penyimpanan bahan makanan pada zaman Cheng Ho.
Selain musim liburan, tempat ini paling banyak dikunjungi saat Hari Raya Imlek, atau Tahun Baru Tionghoa. Beragam acara juga digelar di halaman tengah kelenteng setiap bulan Agustus. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!