Lestarinya kios kaset, piringan hitam dan CD musik di bawah tanah

Davin Rusady

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lestarinya kios kaset, piringan hitam dan CD musik di bawah tanah
Kios-kios kaset, piringan hitam dan CD musik di lantai basement Blok M Square menjadi bukti bahwa kaset dan CD fisik masih banyak diminati.

JAKARTA, Indonesia — Toko CD di mal yang bangkrut sudah tak terhitung jumlahnya. Sebagian besar konsumen sudah mulai beralih ke musik digital. 

Namun, Agus dan Arman yang membuka kios kaset, piringan hitam serta CD musik di lantai basement Blok M Square justru sanggup menuai untung hingga puluhan juta rupiah.

Agus Susanto (33 tahun) adalah pemilik kios Warung Musik di Blok M Square. Alasannya membuka kios tersebut sederhana, ia hanya menyukai musik dan hobi mengumpulkan kaset, piringan hitam serta CD musisi-musisi favoritnya. 

Semakin lama, koleksinya semakin banyak. Akhirnya, Agus memutuskan membuka sekaligus mengelola sendiri kios Warung Musik pada tahun 2010. Pembeli di kios Agus mulai dari anak muda hingga orang tua yang hobi mendengarkan musik. 

“Anak muda ada yang beli kaset pita dan piringan hitam,” kata Agus yang ditemui Rappler pada Selasa, 7 Maret sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Dalam menjalankan usahanya, Agus tidak hanya mengandalkan kios fisik saja. Melihat perkembangan media sosial yang masif, Agus ikut membuka toko online di Facebook dan Instagram. Lewat media sosial tersebut, Agus selalu memberikan informasi tentang potongan harga juga kaset, piringan hitam dan CD yang ia jual. 

Agus mengakui, ia bisa memperoleh sekitar Rp 20 juta per bulan dengan membuka kiosnya secara online. Lebih besar beberapa kali lipat dibanding pendapatan di kios fisiknya.

Era memang selalu berganti. Mulanya, kaset hadir sebagai pengganti piringan hitam. Pilihan tersebut cukup masuk akal mengingat biaya produksi satu kaset lebih murah dibandingkan piringan hitam. 

Eksistensi kaset mendapat ancaman sekitar tahun 2000-an. Compact Disk atau CD sebagai produk dari revolusi digital mengambil alih pemasaran kaset pita karena para pihak label beranggapan kaset pita tidak akan bertahan lama pada kondisi udara yang lembap seperti di Indonesia. Selain itu, biaya produksi CD yang lebih murah dari kaset tentu juga menjadi alasan.

Saat ini, jarang musisi atau label rekaman yang mau merilis CD ke pasaran dalam jumlah besar. Kebanyakan pelaku industri musik kini mengandalkan rilisan digital yang dapat dengan mudah dinikmati melalui gawai atau perangkat komputer.

Agus pun mengamini hal tersebut. “Animo produksi kaset maupun CD di pasaran semakin turun. Kebanyakan barang di (toko) sini didapat dari tempat jual barang bekas di lapak-lapak atau orang lain langsung jual ke sini,” tuturnya.

“Tapi sampai sekarang masih ada beberapa musisi indie yang memproduksi kaset, misalnya Stars and Rabbit dan Silampukau,” kata Agus. (BACA: ’15 musisi indie Indonesia yang berprestasi’

Sama seperti Agus, Arman Wahyudi (45 tahun), pemilik kios Musik Kolektor yang berjarak satu blok dari kios Agus, juga mengumpulkan kaset pita sejak SMP. Kebiasaan tersebut didasari oleh kecintaannya terhadap musik. Meski kini Arman menjual koleksi-koleksinya, ia memiliki cadangan koleksi tersebut di rumah.

“Kalau suka musiknya, kadang-kadang kita pisahin mana (koleksi) yang buat di rumah, mana (koleksi) yang buat dijual. Misalnya dapet kaset satu dus, disortir dulu mana yang mau dijual dan disimpan di rumah,” kata Arman sambil menggenggam ponsel pintarnya.

Kios milik Arman di kawasan Blok M Square tersebut berdiri sejak tahun 2012. Sebelumnya, ia memang berjualan kaset dan CD di Jatinegara pada tahun 1995. Setelah memutuskan bekerja kantoran pada tahun tersebut, ia kembali berdagang pada tahun 1998. Kemudian, Arman membuat kios online menggunakan Facebook pada tahun 2011 hingga pindah berdagang ke Blok M Square.

“Pas datang ke pentas Terminal Musik Selatan di Blok M Square, saya melihat penjualan kaset dan CD masih bagus. Akhirnya saya kembali jualan lagi,” kata Arman.

Arman pun cukup sering diundang ke festival-festival musik untuk berjualan. Dengan tetap mengandalkan kios online di Facebook, Instagram serta kios fisik, Arman mengungkapkan ia bisa mendapatkan lebih dari 20 juta per bulan. (BACA: ‘Playlist lagu Indonesia untuk Hari Musik Nasional dari Rappler’

Selain menjual kaset pita dan CD, Arman turut menjual kaos band metal dan piringan hitam. Arman menjelaskan, piringan hitam memang kembali diminati oleh kalangan tertentu akhir-akhir ini. Sejumlah musisi bahkan merilis album baru mereka dalam format piringan hitam, misalnya Mocca, Seringai dan The Upstairs. 

Menurut Arman, kualitas musik dalam format piringan hitam jauh lebih baik dibanding musik digital apabila piringan tersebut dirawat dengan baik—ditaruh dalam posisi vertikal. Oleh karena itu, Arman mengaku ia tak gentar dengan peredaran musik digital karena kualitasnya buruk.

Kekuatan nostalgia

KOLEKSI CD. Sebagian koleksi CD yang terpajang di kios musik milik Agus di bawah tanah Blok M Square. Foto oleh Davin Rusady/Rappler

Agus dan Arman adalah contoh pemilik usaha kios kaset, piringan hitam dan CD yang masih bertahan di tengah maraknya produk musik digital. Barang-barang yang mereka jual cenderung diminati oleh para kolektor (niche market). Kolektor-kolektor tersebut sampai rela mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk sebuah kaset, piringan hitam atau CD apabila mereka senang dengan musisi serta karyanya.

Di samping itu, beberapa figur publik yang hobi musik juga pernah datang ke kios Arman. “Yang pernah ke sini ada Ahmad Dhani, Vincent yang temennya Desta itu, Rian D’Masiv juga pernah ke sini,” ujar Arman.

Beberapa karya musisi dalam negeri tempo dulu memang dilepas dengan harga yang mahal. Arman memberikan contoh, piringan hitam Dara Puspita edisi pertama pernah dihargai sebesar Rp 20 juta. Ada pula piringan hitam “Amburadul” karya grup Amburadul, grup musik pertama Iwan Fals sebelum bersolo karier, dihargai sebesar Rp 3,5 juta. 

Selain di kawasan Blok M Square, kios-kios kaset, piringan hitam dan CD juga masih terdapat di beberapa kawasan Jakarta, antara lain Pasar Santa, Glodok, Jalan Kembang Sempatu dan Jalan Surabaya. 

Nilai historis yang tak bisa diulang dan kelangkaan menjadi alasan para kolektor yang berburu kaset, piringan hitam serta CD di kios Agus ataupun Arman. Selama minat mengulik sejarah musik dari dalam maupun luar negeri tetap tumbuh, keberadaan kios-kios musik jadul seperti milik Agus dan Arman tampaknya akan tetap terjaga dan lestari.—Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!