‘Silence’: Menghadapi keheningan Tuhan

Karina Maharani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Silence’: Menghadapi keheningan Tuhan
Mana yang lebih mulia: memegang teguh kepada iman apapun harganya atau mengingkarinya demi menyelamatkan orang lain?

JAKARTA, Indonesia — Silence adalah sebuah film yang meresahkan. Film karya sutradara kawakan Martin Scorsese ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang seringkali kita hindari dan memaparkan kekurangan-kekurangan kita dengan gamblang. Apa itu iman? Apa artinya menjadi martir? Layakkah kita mendapatkan pengampunan?

“Beritakanlah Injil kepada segala makhluk”

Silence menceritakan kisah dua misionaris Katolik asal Portugal yang pergi mengabarkan Injil ke Jepang pada abad ke-17, Sebastiao Rodrigues dan Francisco Garupe.

Karakter utama Sebastiao Rodrigues, yang diperankan oleh Andrew Garfield, adalah seorang pendeta muda dari ordo Yesuit. Pada awalnya ia sangat berapi-api ingin amanat agung Kristus: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” Tapi tak lama setelah ia sampai di Jepang, Rodrigues dihadapi kenyataan yang jauh lebih kelam dari yang dibayangkannya.

Kirishitan

Orang-orang Kirishitan (Kristen tersembunyi) di pedesaan Jepang yang ia temui hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, tinggal dalam gubuk-gubuk reot dan selalu di ambang kelaparan. Mereka diliputi ketakutan — pada waktu itu, agama Kristen dilarang di Jepang dan penganutnya dipersekusi.

Rodrigues merasakan sulitnya mengorbankan diri untuk orang-orang seperti ini. Tapi sebagai pendeta, ia mencoba untuk mengikuti teladan Yesus. “Kristus tidak mati untuk yang baik dan indah,” renungnya. “Itu adalah hal yang mudah. Yang sulit adalah mati untuk yang hina dan rusak.” 

Meski hidup mereka begitu sulit, para Kirishitan tetap mencoba beribadah sebaik mungkin. Mereka awalnya menyambut gembira kedatangan Rodrigues dan Garupe datang karena mereka sudah lama menantikan pendeta yang bisa memimpin mereka dalam misa dan sakramen lain.

Menginjak atau tidak menginjak?

Tapi tibanya Gubernur Inoue, seorang pejabat pemerintahan yang ditugaskan untuk memberantas agama Kristen, mengubah kegembiraan itu menjadi ketakutan. Inoue meminta para Kirishitan untuk melakukan hal yang tampaknya mudah; menginjak fumie, sebuah papan batu di mana terpampang ukiran Yesus. Mereka yang menginjak dibebaskan, yang tidak menginjak disiksa hingga mati.

Seorang warga desa yang bernama Mokichi bertanya kepada para pendeta, “Kalau mereka menyuruh kami menginjak Tuhan, apa yang harus kami lakukan? Kalau kami tidak menginjak, mereka akan menyakiti seluruh desa.”

 

Rodrigues menjawab: “Injaklah! Tidak apa-apa! Injaklah!” Garupe tercengang, “Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?” Rodrigues terlihat meragukan jawabannnya sendiri. Tapi ia terus bergumul dengan pertanyaan itu sepanjang film.

Sampai akhir film, saya masih tidak yakin jawaban apa yang benar.

Dosa dan pengampunan

Seorang karakter lain yang sangat menarik dalam film ini adalah sosok Kichijiro, seorang Kirishitan yang mengakui kalau dirinya lemah. Sebelum Rodrigues dan Garupe tiba di Jepang, Kichijiro sudah pernah menginjak fumie untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Anggota keluarganya yang lain tidak mau menginjak dan dibakar hidup-hidup.

Rodrigues pada awalnya jijik terhadap Kichijiro yang pemabuk dan pengecut. Tapi lama-kelamaan ia merasa iba. Jika ia hidup pada masa yang lain, masa yang lebih damai, Kichijiro bisa saja jadi seorang Kristen yang baik dan taat. Tapi dibawah tekanan, kelemahannya membuat Kichijiro jadi sosok yang menyedihkan.

Kichijiro menyadari kekurangannya itu dan menginginkan pengampunan. “Padre,” katanya kepada Rodrigues, “Maukah kau mendengarkan pengakuanku?”

Rodrigues mendengarkan dan memberikan pengampunan yang diinginkan. Tapi Kichijiro tidak hanya sekali meminta pengampunan. Ia tidak bisa berhenti mengingkari imannya.

 

Ketika warga desa yang lain tidak mau menginjak fumie, Kichijiro kembali menginjaknya untuk menghindari siksaan. Ketika diminta untuk meludahi salib dengan ukiran Yesus, Kichijiro meludah. Ketika Rodrigues diburu oleh Inoue dan anak buahnya, Kichijiro menyerahkannya.

Tapi, setiap kali Kichijiro berbuat “dosa”, ia selalu kembali ke Rodrigues untuk meminta pengampunan. Dan setiap kali, meski terkadang dengan frustasi, Rodrigues pun mengampuninya.

Dalam sosok Kichijiro yang hina ini, kita bisa melihat diri kita sendiri, yang seringkali tidak bisa berhenti mengulangi kesalahan yang sama. Dalam situasi yang sama, apakah kita bisa dengan yakin berkata kita tidak akan berlaku seperti Kichijiro?

 

Keheningan Tuhan

 

Mendekati akhir film, Rodrigues mempertanyakan keheningan Tuhan. Kenapa Tuhan membiarkan para Kirishitan terus menderita? Kenapa Tuhan tidak menjawab doanya? Kenapa Tuhan diam saja?

Pada klimaks film, Rodrigues menghadapi pilihan: menginjak fumie dan membebaskan lima Kirishitan dari siksaan yang sangat menyakitkan atau tidak menginjak dan membiarkan mereka mati dengan pelan.

Meski Rodrigues sudah mulai meragukan Tuhan, tetap sulit baginya untuk menginjak. Sampai akhirnya ia mendengar suara Yesus yang ia tunggu-tunggu. “Ayo. Tidak apa-apa. Injaklah Aku. Aku lahir ke dalam dunia untuk diinjak.”

 

Dan Rodrigues pun menginjak.

 

Ketika ia pertama datang ke Jepang, Rodrigues membayangkan bahwa ia bisa menjadi seorang martir yang mulia. Tapi mana yang lebih mulia: memegang teguh kepada iman apapun harganya atau mengingkarinya demi menyelamatkan orang lain?

 

Silence hanya menjawab dengan keheningan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!