Mengapa warga Bhutan mengaku paling bahagia?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa warga Bhutan mengaku paling bahagia?
Laporan perjalanan ke kerajaan bahagia di tengah pegunungan Himalaya

JAKARTA, Indonesia –  “I believe compassion to be of the few things we can practice that will bring immediate and longterm happiness to our  lives”. 

Kata-kata Dalai Lama ini mengingatkan saya kepada Miri Punsum, tiga gunung yang dianggap sakral oleh warga di Lembah Ha, di Bhutan. Tiga gunung berjajar melambangkan compassion (welas asih alias belas kasih), wisdom (kebijaksanaan) dan wheather (cuaca, dianggap juga sebagai alam). Saking sakralnya, tak ada warga yang berani menebang satu pohon pun yang tumbuh di ketiga gunung itu. Bisa kualat. Jatuh sakit. Hidupnya susah. Jauh dari bahagia.

Bagaimana, sih, definisi bahagia?

Setelah melewatkan waktu seminggu di Bhutan, negeri yang menyebut dirinya sebagai “happiest kingdom”, saya belajar bahwa perasaan bahagia itu tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kehidupan, budaya dan lingkungan di mana kita berada. 

Warga Bhutan misalnya, merasa bahagia menyesap teh atau kopi yang dituangi susu, ditemani sejumlah biskuit “gabin”. Masih ingatkah dengan biskuit ini? Saat masih kecil saya sering makan biskuit “gabin” yang bentuknya persegi empat, kira-kira terbuat dari tepung, mentega, gula dan susu. Biskuit standar. 

Di Bhutan, kita disuguhi biskuit “gabin” ini di kafe, restoran besar maupun hotel resor berbintang lima. Kalau cukup menikmati biskuit “gabin” mengapa perlu makan biskuit beragam citarasa yang lebih mahal? Sampai di dalam perut rasanya sama saja, kan.  “Bukan berarti tidak ada biskuit lain, meskipun jenisnya terbatas. Ini bagian dari tradisi yang bertahan sampai kini,” kata Pe Dorji, pemandu wisata kami.

Di Bhutan pula, saya melihat bahwa perasaan bahagia muncul dari tubuh yang sehat.  Negeri yang dikepung pegunungan Himalaya itu memiliki topografi bukit dan gunung.  Jalanan naik-turun, meliuk-liuk bagaikan belitan ular. 

Rumah dan bangunan lain selalu memiliki tangga. Kuil-kuil tempat berdoa bagi warga Bhutan yang hampir semuanya beragama Budha itu dibangun di puncak-puncak bukit dan gunung. “Bhu” artinya high atau tinggi, “Tan” artinya tanah. Bhutan artinya tahan yang tinggi. Jadi, olah tubuh menjadi bagian kehidupan keseharian penduduk.  Naik-turun tangga, naik turun bukit. 

(BACA JUGA : Mendaki Tiger’s Nest, Berkunjung Ke Kuil Guru Rinpoche).

Warga Bhutan juga memilih konsumsi beras merah untuk makanan utama sehari-hari. Lebih sehat. Beras merah bahkan dijadikan cinderamata khas lokal, dikemas menarik. Mereka banyak makan sayuran yang diproduksi secara organik dengan pupuk alami. 

Sebagai bagian dari filosofi Gross National Happiness (GNH) yang menjadi panduan membangun di negeri kerajaan itu, pemerintah menargetkan akan menjadi negeri pertama di dunia yang produksi pertaniannya 100 persen organik. Bagi negeri dengan penduduk hanya 700 ribu, besar kemungkinan niat ini tercapai.

Pasar tradisional di Punakha, Bhutan. Menuju negeri dengan produk 100 persen organik. Foto oleh Uni Lubis/Rappler.

Dalam menu makanan harian, selalu ada sambal keju atau “ema datshi”. Ini makanan nasional Bhutan. Sambal yang pedas ini bahan baku utamanya adalah cabai (capsicum annum) dan keju tanpa lemak yang dibuat dari susu Yak, sapi lokal. 

Cabai kita tahu mengandung vitamin C yang bermanfaat untuk daya tahan tubuh, serta unsur karoten yang bisa mencegah penyumbatan darah, penyakit jantung dan kanker, dan banyak lagi. Silakan manfaatkan mesin pencari internet untuk melihat manfaatnya.

(BACA JUGA : “Hot Stone Bath”, Mandi Batu Bakar Ala Bhutan)

Contoh lain? Kerajaan mengatur agar semua bangunan, baik milik pribadi maupun kantor pemerintahan atau swasta, memiliki pola arsitektur yang sama. Detil-detil jendela, atap, pintu dan lukisan di luar dinding mirip-mirip. 

Di kota, tinggi bangunan dibatasi maksimal lima lantai. Di desa dibatasi dua lantai.  Jadi, nampak ada harmoni. Tak nampak kompetisi beragam bentuk bangunan sebagaimana di tempat lain. Ini juga bagian menjaga tradisi budaya. Termasuk tradisi menghiasi rumah dan bangunan dengan lukisan “phallus” atau penis.

(BACA JUGA : Penis-penis Penolak Bala di Negeri Bahagia)

Soal pakaian. Warga Bhutan mengenakan pakaian tradisionalnya dalam kegiatan sehari-hari. Untuk perempuan menggunakan “Kira” atau kain dan kebaya. Untuk laki-laki menggunakan “Gho” semacam kimono, sepanjang lutut. Para lelaki melengkapi dengan sepatu dan kaus kaki hitam sampai ke lutut. Kostum tradisional ini wajib digunakan dalam kegiatan publik dan di bangunan publik. Artinya di semua kantor dan sekolah juga. 

“Sejak usia lima tahun saya wajib menggunakan Gho. Ini bagian dari kebijakan raja untuk merawat  budaya,” tutur Kinzhang Lhendup, asisten profesor di Royal Bhutan University, kepada peserta program Type-A-Retreat yang saya ikuti saat ke Bhutan (22-28 Februari 2017). 

Di kerajaan “Druk”, atau Naga itu, kehidupan spiritual dan ajaran agama Budha tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan Sang Pencipta selaras pentingnya dengan hubungan antara sesama. Mungkin karena warganya sedikit, di Bhutan orang saling kenal. Tak ada pengemis atau gelandangan, karena kalau ada warga yang susah akan diurusi oleh komunitas terkecil di sana.

Druk Wangyal Chortens. 108 kuil di Dochula Pass, titik tertinggi antara kota Thimphu dan Punakha. Foto oleh Uni Lubis/Rappler.

Apa dan bagaimana Gross National Happiness yang dijalankan di Bhutan, bisa dibaca di sini. Setelah membaca beberapa referensi, melihat langsung ke Bhutan, saya melihat bahwa warga Bhutan bisa menyebut dirinya warga bahagia karena menerapkan apa yang kita sebut dengan filosofi “enough is enough”

Hidup cukup, tidak rakus. Membangun negeri dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang memperhatikan perlindungan lingkungan hidup dan memelihara budaya asli.

(BACA JUGA : Belajar mencintai sungai dari warga paling bahagia)            

Warga Bhutan merasa bahagia, tak lepas dari kepemimpinan sang Raja, Druk Gyalpo Jigme Khesar Namgyel Wangchuck. Raja ke-5 dinasti Wangchuk ini disebut juga The People’s King. Rajanya Rakyat. 

Dia meneruskan tahta yang diwarisi sang ayah Druk Gyal Zhipa Jigme Singye Wangchuck. Raja ke-4 tahun lalu merayakan ulang tahun ke-60. Masih muda sudah lengser, karena sudah memerintah sejak usia 17 tahun.

Raja Zhipa Jigme Singye kini menikmati hidup dengan banyak meditasi dan olahraga, mulai dari naik gunung sampai ski. Happy-happy. Padahal dia bisa memerintah sampai tua, seperti Ratu Elizabeth II yang kini menjadi penguasa monarki paling lama di dunia. Kasihan Pangeran Mahkota Charles. Sudah punya dua cucu belum berkuasa juga.

Raja Khesar menerima tongkat kepemimpinan monarki saat usianya relatif muda juga, 16 tahun. Tanggal kelahirannya, 21 Februari, diperingati dengan setiap warga menanam satu pohon. Tahun ini dia genap berusia 37 tahun. 

Menanam pohon menjadi tradisi warga Bhutan merayakan sesuatu hal yang istimewa. Menurut hukum di sana, 60 persen wilayah kerajaan yang cuma sekitar 40 ribu meter persegi itu harus dalam bentuk hutan. Sekarang pososinya 70-an persen. Melihat bukit hijau, bikin bahagia.

Meski memerintah saat usia muda, Raja Khesar memulai tradisi demokrasi di Bhutan.  Setelah melakukan perjalanan ke seluruh negeri, menghadiri banyak diskusi dan seminar serta berbicara dengan pakar sampai warga biasa, pada tahun 2008, Raja Khesar mengesahkan konstitusi Bhutan yang membuka jalan dilaksanakannya pemilihan umum yang pertama untuk memilih Perdana Menteri dan wakil rakyat.

“Mengantarkan kerajaan ke era demokrasi adalah bagian dari menjalankan pilar keempat dari GNH, yaitu good governance, tata kelola yang baik,” kata Kizhang Lhendup.

Tiga pilar yang pertama adalah: memelihara kelestarian lingkungan, mempromosikan dan melestarikan budaya, dan pembangunan sosial ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Filosofi tidak kemaruk alias “enough is enough” itu ujungnya adalah menyiapkan jalan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik bagi generasi masa depan di Bhutan.

Raja pula yang memutuskan bahwa sektor pariwisata Bhutan dikelola ketat dan selektif. Jumlah wisatawan dibatasi. Kualitas lebih penting dari kuantitas. Tujuannya menjaga kelestarian lokasi wisata, yang notabene bersentuhan dengan alam.  Pengunjung membayar visa wisata senilai USD 250 per hari. Mahal. Tidak ada pelancong gaya murah-meriah. Semua harus bergabung dengan program wisata yang dikelola pengelola tur yang mendapat lisensi untuk mengurus visa. Tempat wisata bersih dari sampah.

“A good king can take you to the top of the mountain, but a bad one will push you over the edge”.  Kata-kata bijak warga Bhutan ini menyiratkan peran penting pemimpin, raja mereka, menentukan arah pengelolaan negara.  Filosofi GNH muncul dari visi Raja ke-4, sejak tahun 1970-an.

Dalam bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa, tiga cara untuk bahagia menurut tujuan global pembangunan berkelanjutan (SDGs) adalah: harmoni antara manusia dengan manusia lainnya, harmoni antara manusia dengan alam, dan harmoni dengan kehidupan spiritual dan proses penciptaan. Menurut saya ini  sejalan dengan apa yang dijalankan warga di Bhutan dengan konsep GNH-nya. 

Saya berpikir, kalau di Indonesia kehidupan warga Bhutan mirip dengan upaya masyarakat adat menjaga tradisinya. Misalnya warga suku Baduy. Hidup cukup, tidak ngoyo, berpedoman kepada kearifan lokal.  Lebih banyak memberi ketimbang meminta. Termasuk dari alam.  

(BACA JUGA: Menikmati keindahan warisan leluhur suku Baduy saat akhir pekan)

Bahagia adalah ketika kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk berdamai dengan godaan ragam hasrat dan keinginan. Ini berlaku untuk tataran pribadi, maupun bernegara.  Karena #bahagiaitutidaksederhana.  Perlu usaha. Setuju?

Selamat Hari Bahagia Sedunia! –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!