Latin America

Haruskah bidang pekerjaan sesuai dengan gelar pendidikan?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Haruskah bidang pekerjaan sesuai dengan gelar pendidikan?
Dilema adalah ketika apa yang telah kita pelajari bertahun-tahun ternyata bukan apa yang sesungguhnya kita ingini

JAKARTA, Indonesia – Mungkin kalian mempunyai gelar sarjana akuntansi tetapi dunia fashion atau mode lebih membuat kalian bersemangat.

Atau gelar sarjana filsafat sudah dalam genggaman tetapi menjadi versi lain dari Mark Zuckerberg adalah hal yang sebenarnya ingin kamu capai.

Orang tua mendorong kalian untuk mempelajari kedokteran. Namun hati kalian menolaknya.

Kabar baiknya adalah kalian tidak sendirian. Jutaan orang merasakan hal yang sama. Mereka sadar bahwa apa yang mereka pelajari di dunia perkuliahan bukan passion/hasrat mereka. 

Jonathan Yabut, seorang pria asal Filipina adalah salah satunya.

Ia medapatkan gelar sarjana ekonomi (Bachelor of Science). Gelar itu membuat ia mempelajari matematika secara mendalam untuk diaplikasikan di bidang pemerintahan, khususnya di pengambilan kebijakan.

Ia menganggap gelar sarjana ekonomi merupakan satu langkah dekat ke karier di bidang hukum.

Namun apa yang terjadi? Ia kini mempunyai karier cemerlang di bidang pemasaran, meninggalkan cita-citanya berkarir di bidang hukum. Sekarang, ia menjadi direktur pemasaran di salah satu perusahaan di Malaysia.

Pria yang juga mendirikan firma konsultasi pemasarannya sendiri itu menjadi contoh nyata. Contoh nyata bahwa gelar pendidikan kita tidak harus mendikte/sesuai (dengan) jenjang karier kita.

Apalagi dengan dunia internet yang semakin berkembang. Kita dapat mempelajari apapun yang kita mau.

Kita hanya butuh keberanian dan usaha untuk menggapai karier yang diinginkan.

Berdasarkan pengalamannya, Jonathan berbagi pemikiran terkait mengejar jenjang karir yang tidak sesuai dengan gelar pendidikan :

Yakinkan diri bahwa mengubah “haluan” adalah hal yang mungkin

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Jonathan tidak mempunyai pendidikan formal di bidang pemasaran.

Awalnya ia menjadi management trainee di Globe Telecom. Suatu hari ia diberi kesempatan bekerja di bidang pemasaran. Merasa tertantang, ia mencobanya.

Semakin berjalannya waktu, ia sadar bahwa bidang pemasaran lebih dari apa yang ia pikirkan sebelumnya.

Pemasaran membutuhkan kemampuan untuk “memprediksi”. Hal yang dipelajari Jonathan saat mengambil gelar sarjana ekonomi (Bachelor of Science). Pemasaran mencakup prediksi persediaan dan penjualan.

Jonathan kemudian menceritakan sejumlah pengalaman teman-temannya.

Beberapa temannya mempunyai gelar di bidang teknik. Namun kini menjadi sales executives untuk Apple, Samsung, dan HTC. Mereka tidak menutup diri pada bidang teknik atau sains.

Begitu pula dengan pengusaha sukses di Silicon Valley, Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka bukan lulusan bisnis tetapi lulusan Teknologi Informatika atau Teknik. Mereka berani mengambil langkah untuk mengembangkan diri.

Belajar dari pengalaman

Kita belajar banyak dari praktek. Lebih banyak daripada sekedar mempelajari teori. “Learning by doing” adalah ungkapan yang harus selalu kita ingat.

Sebuah riset dari Morgan McCall menghasilkan kesimpulan. Salah satunya adalah Model Pembelajaran dan Pengembangan 70-20-10.

McCall mennyimpulkan manajer yang sukses terbentuk dari 70 persen melakukan pekerjaannya. Setelah praktek, mereka melakukan evaluasi dan koreksi diri sehingga tidak lagi mengulang kesalahan sebelumnya. Sebanyak 20 persen dari orang sekitar, misalnya mendapatkan kritik dan saran dari mentor atau teman kerja. Sisanya, 10 persen dari membaca buku teks atau teori.

Artinya, bukan masalah bila kalian tidak mendapatkan pendidikan formal terkait bidang yang kalian ingini.

Belajarlah dari pengalaman. Kesalahan-kesalahan yang kita buat sebenarnya adalah anak tangga untuk menjadi lebih baik lagi.

Kritik dan saran dari orang lain juga bisa menjadi pertimbangan. Bangunlah diri dari kritik dan saran itu.

Soft skills tidak bisa dipelajari di dalam ruang kelas

Di dunia kerja, kita akan menghadapi beragam orang. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda. Contohnya adalah bagimana kita bisa bekerja sama dengan orang yang jauh lebih tua atau jauh lebih muda dari kita.

Sikap, kepribadian, motivasi, dan EQ adalah hal-hal yang membangun soft skills.

Pengetahuan kita terhadap suatu bidang (hard skills) juga penting. Namun menyeimbangkan kedua hal tersebut adalah sebuah keharusan.

Soft skills terbentuk sejak dini. Bagaimana keluarga dan lingkungan memengaruhi diri kita.

Namun kita bisa mengembangkannya. Bukalah diri pada pengalaman. Coba berlatih berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang dari kita.

Ketiga hal di atas adalah apa yang mendorong Jonathan untuk mengubah “haluan” nya.

Kita bisa ikut terdorong dari pemikiran-pemikiran Jonathan. Namun ingat, kita semua punya keunikan masing-masing. Oleh karena itu kembangkan ketiga pikiran di atas. Sesuaikan dengan apa yang kalian alami.

Berpikirlah secara kreatif dan terus kritis dalam menghadapi situasi! -Rappler.com

Jonathan Yabut adalah pemenang reality show The Apprentice Asia. Sekarang bekerja menjadi direktur pemasaran untuk Tune Group Companies. Ia juga telah mendirikan firma konsultasi pemasaran yaitu The JY Ventures Consultancy Group. Ia kerap diundang menjadi pembicara terkait kepemimpinan, Gen Y, dan manajemen karier oleh perusahaan-perusahaan yang termasuk Fortune 500.

Buku yang ia tulis, From Grit to Great, menjadi salah satu buku motivasi terlaris di Asia Tenggara tahun 2015. Kunjungi situs resminya di jonathanyabut.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!