Ketika ‘Frozen’ seharusnya jadi cerita klasik antara baik dan jahat

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika ‘Frozen’ seharusnya jadi cerita klasik antara baik dan jahat
Kata sang produser, Peter del Vecho, Elsa seharusnya menjadi tokoh jahat

JAKARTA, Indonesia – Sudah empat tahun semenjak film animasi Disney, Frozen dirilis ke layar lebar, dan hingga kini anak-anak masih sering menyanyikan lagu dari Elsa, Let It Go, dan juga berpura-pura menjelma menjadi diri Sang Ratu, lengkap dengan gaunnya.

Akan tetapi, dalam wawancara bersama Entertainment Weekly, produser Peter Del Vecho, Elsa seharusnya bukanlah sosok yang dicintai anak-anak. Dia bukan ratu, bahkan juga tidak memiliki hubungan darah dengan Anna.

Kepada Entertainment Weekly, Peter mengaku Frozen awalnya ingin lebih menyerupai materi adaptasi mereka, The Snow Queen, karangan Hans Christian Andersen. Dalam buku cerita itu, Anna dan Elsa bukanlah saudara. Elsa bahkan digambarkan sebagai sosok antagonis yang mengklaim dirinya sebagai Ratu Salju.

Namun, berkat ide dari sutradara, Chris Buck, dan Jennifer Lee, kisah tersebut diubah menjadi seperti yang kita kenal sekarang.

“Masalahnya kami merasa hal itu (versi buku) sudah pernah dilihat sebelumnya. Kami tidak puas dengan hal itu, tidak ada sebuah koneksi yang diberikan oleh Elsa. Kami tidak peduli kepadanya karena sepanjang film Ia hanya akan menjadi sosok yang jahat. Karakter tersebut tidak memiliki sesuatu yang terkoneksi dengan kami, dan tidak menarik,” kata Peter.

Oleh karenanya, Chris dan Jennifer melakukan sebuah pertemuan khusus di Disney bersama para pekerja film Frozen lainnya. Chris dan Jennifer menanyakan tentang pengalaman orang-orang di balik layar dengan keluarga mereka sebelum menggarap ide cinta melawan ketakutan, seperti yang tergambar di layar.

“Sekarang kita memiliki Anna yang penuh dengan cinta, dan Elsa dengan rasa ketakutannya. Ini membuat Elsa lebih berwarna, menjadi karakter yang bisa menarik simpati orang-orang, dibanding rencana awal. Kami akhirnya memilih tema yang lebih dekat, cinta melawan ketakutan, daripada premis klasik yang menggambarkan baik dan jahat. Pada akhirnya cinta lebih kuat dibandingkan rasa takut itu,” jelas Peter.

Frozen seharusnya dibuka dengan sebuah ramalan yang berbunyi, “Seorang penguasa dengan hati beku akan menghancurkan Kerjaan Arendelle.”

Elsa yang berdiri di altar pernikahannya membekukan hati, berasumsi bahwa ramalan itu untuk dirinya. Namun saat Anna dan Kristof berperang melawan pasukan monster salju milik Elsa di akhir film, Pangeran Hans menciptakan longsor tanah untuk membuat Arendelle berakhir.

Namun, Elsa menggunakan kekuatannya untuk menyelamatkan daerah kerajaan tersebut, dan sadar bahwa Hans-lah yang memiliki hati beku. Setelah itu, barulah hati Elsa mencair, dan Ia kembali dapat mencintai lagi.

Untungnya, kisah itu diubah oleh tim produksi, dan kini Frozen menjadi film animasi tersukses di box office dunia mengalahkan Minions, Toy Story 3, dan Zootopia.

Frozen juga bukanlah karya pertama Hans Christian Andersen yang diubah oleh Disney, sebelumnya mereka mengadaptasi buku Little Mermaid pada 1989, dan dalam versi buku, Ariel seharusnya meninggal dan bersatu dengan lautan. Tapi dalam animasi Disney, Little Mermaid mendapatkan sebuah sekuel. Hal serupa juga akan diterima oleh Frozen dengan film kedua dijadwalkan untuk rilis setidaknya pada 2019. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!