US basketball

Kisah Mbah Ponco Sutiyem: Mendadak populer berkat film ‘Ziarah’

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah Mbah Ponco Sutiyem: Mendadak populer berkat film ‘Ziarah’
Berkat aktingnya di film 'Ziarah', kini Mbah Ponco mendadak tenar. Namun cucunya justru mengkhawatirkan kesehatan neneknya

GUNUNG KIDUL, Indonesia – Film Ziarah menyabet dua penghargaan di ASEAN International Film Festival and Awards 2017. Salah satu kunci suksesnya adalah akting pemeran utamanya, Mbah Sutiyem, asal Pedukuhan Batusari, Desa Kampung, Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(BACA JUGA: ‘Ziarah’ raih dua penghargaan di ‘AIFFA 2017’)

Nenek dari 27 cucu itu juga dikenal dengan nama Ponco Sutiyem, merujuk nama suaminya, Mbah Ponco Sentono yang kini berusia 102 tahun. Tahun 2015, ketika film dibuat, cucu Mbah Sutiyem, Risdiyanto, tak menduga film itu akan sepopuler sekarang dan masuk ke jaringan bioskop komersial. Kini sang cucu mulai khawatir kesehatan fisik dan mental neneknya terganggu akibat popularitas yang mendadak datang.

Kamis, 11 Mei siang, Mbah Sutiyem baru saja mandi dan mencuci baju di kamar mandi bagian belakang rumahnya. Seperti lumrahnya warga Gunung Kidul, Mbah Sutiyem juga masih memasak, mencuci baju, dan merawat tanaman di ladangnya di usia senja. Mbah Sutiyem tinggal berdua dengan Kakek Ponco. Tepat di samping kediamannya terdapat rumah salah satu dari tujuh anaknya.

Siang itu, sambil berjalan membungkuk, Mbah Sutiyem mengambil kerudung dan mengenakannya sebelum menemui sejumlah tamu dan awak media. Rumahnya sederhana, khas warga Gunung Kidul, bergaya limas dengan meja dari kayu dan anyaman rotan.

Sejumlah petugas kepolisian dari Polsek Ngawen kemudian meminta berfoto bersama Kakek Ponco dan Mbah Sutiyem. Sebuah poster besar film Ziarah juga ikut masuk dalam bingkai foto yang dibidik menggunakan telepon pintar itu. Mereka adalah rekan Risdiyanto, yang ingin berfoto bersama Mbah Sutiyem.

Sejak berakting di 'Ziarah', banyak tamu yang mendatangi kediaman Mbah Sutiyem di Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler.

“Sudah ada sekitar tiga puluhan orang yang datang kemari,” kata Mbah Sutiyem dalam bahasa Jawa. Ibu dari 7 anak, 27 cucu dan 40 cicit dan 4 piut itu berkata dengan pengucapan yang jelas di usia yang hampir seabad. Tanpa diminta, Mbah Sutiyem segera menuturkan pengalaman dirinya bermain film. Didampingi Kakek Ponco dan Risdiyanto, perempuan yang menikah di usia 16 tahun itu sadar dirinya sedang memerankan karakter lain bernama Sri ketika pembuatan film berlangsung dua tahun lalu.

Meskipun di kediamannya tak ada televisi dan dia tak bisa baca dan tulis, namun dia tak keberatan ketika cucunya, Risdiyanto mempertemukan Mbah Sutiyem dengan sutradara Ziarah dan mulai menjalani sejumlah adegan film.

“Mereka bilang nama saya Sri, ini ceritanya sedang mencari makam suaminya, namanya Pak Pawiro yang meninggal ketika perang melawan Belanda,” kata Mbah Sutiyem menjelaskan lakon yang dibawakan dalam film berdurasi sekitar 90 menit itu.

Kala itu, Mbah Sutiyem mau menerima permintaan kru film karena ingin menolong mereka yang sedang kesulitan mencari pemeran Mbah Sri. “Saya mau (berakting dalam film), karena dimintai tolong tentang sejarah penjajahan Jepang dulu. Waktu Jepang ke sini itu saya umur 16 tahun, waktu serangan Belanda itu rumah saya berlubang karena ditembak Belanda. Saya bersembunyi di juglangan (lubang galian untuk tempat sampah), anak saya masih berusia satu bulan,” tuturnya.

Selama 12 hari, Mbah Sutiyem mengingat, dirinya dilatih untuk memerankan berbagai adegan, seperti memancing, makan, tidur dan sebagainya. “Alhamduliah, setiap diajari kok saya bisa, diminta (adegan) apapun saya juga bisa,” sebut nenek yang gemar mengunyah sirih itu.  

Setelah film tuntas dibuat, Mbah Sutiyem berkesempatan melihatnya pada sebuah acara pemutaran film terbatas di Yogyakarta beberapa saat lalu. Mbah Sutiyem gembira, melihat filmnya selesai dikerjakan. “Saya senang, karena tujuannya (filmnya) sudah terlaksana,” tuturnya.

Meskipun senang, ia kini tak bersedia bila diajak berakting di depan kamera. Dia juga mengaku takut setelah banyak orang asing yang datang ke kediamannya seminggu terakhir. Prasangka dan gunjingan tetangga tentang banyaknya harta miliknya setelah menjadi artis membuat simbah khawatir. “Takut saya. Saya tidak mau lagi (bermain film), kondisi fisik saya sekarang sudah berbeda dengan dahulu,” katanya.

Kekhawatiran sang cucu 

Siang itu, setidaknya Mbah Sutiyem telah menemui sekitar 10 orang asing. Mereka adalah jurnalis, polisi dan sejumlah penghobi film. Risidiyanto mengatakan, kondisi serupa terjadi selama sepekan terakhir. Tamunya tak hanya berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi juga berasal dari luar Jawa Tengah seperti Surabaya.

Mereka rela menempuh jarak sekitar dua jam dari Yogyakarta untuk bertemu sosok penduduk pedukuhan sederhana yang menjelma menjadi artis dengan meraih penghargaan di luar negeri. Sejumlah tawaran siaran langsung atau acara talkshow televisi di Jakarta untuk Mbah Sutiyem pun mengalir deras.

Mereka berdatangan mengikuti popularitas Mbah Sutiyem yang menanjak di berbagai media sosial dan media massa. Ketenaran Mbah Sutiyem sudah terasa bahkan di ruang publik sekitar Ngawen. Sejumlah pedagang di Pasar Ngawen mengaku tahu tentang Mbah Sutiyem dari media sosial, meskipun tidak mengetahui letak pasti rumahnya dan belum pernah bertamu. Namun mereka tahu bila Mbah Sutiyem tinggal tak jauh dari pasar Ngawen.

Penghargaan internasional yang disematkan atas film Ziarah dari ajang Salamindanaw Film Festival 2016 di Filipina dan ASEAN International Film Festival and Awards 2017 juga turut mengorbitkan nama pemeran utamanya. Semakin banyaknya perhatian dan riuhnya tamu menarik perhatian tetangga dan mengganggu keseharian Mbah Sutiyem

“Nenek saya takut, karena khawatir disangka banyak uang. Setiap tamu yang datang kemari dikira membawa uang, karena tetangga melihat beberapa tamu memberi uang kepada Nenek. Nenek juga disangka dibayar mahal karena bermain film. Ketakutan Nenek sering disampaikan setelah tamunya pulang,” kata Risdiyanto. Neneknya takut, akan muncul orang jahat yang ingin merampok. Sementara sehari-hari neneknya hanya tinggal berdua dengan suaminya.

Risdiyanto, Kakek Ponco dan Mbah Sutiyem. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler.

Ketakutan itu juga membuat Kakek Ponco sering marah jika ada banyak tamu di kediamannya. Kakek Ponco tidak mengizinkan istrinya keluar rumah untuk kepentingan film tersebut. “Waktu acara pemutaran film Ziarah di Yogyakarta itu, Nenek saya ajak diam-diam, karena Kakek marah. Kalau Nenek pada dasarnya sangat senang bermain film. Dia selalu bersemangat. Tapi itu sebelum sepekan terakhir,” katanya.

Risdiyanto mengaku tak menduga film yang dibuat dua tahun lalu akan menjadi film besar, mendapat penghargaan dan masuk jaringan bioskop komersial seperti sekarang. Kala itu, proyek film bertujuan untuk meningkatkan Pedukuhan Pager Jurang di sebelah Pedukuhan Batusari, mampu menjadi desa wisata. Konsepnya, film akan berkeliling di sejumlah tempat di dukuh Pager Jurang dengan naskah yang sudah ada.

“Film itu disyuting menggunakan kamera ala kadarnya, handycam, kamera DSLR atau kamera handphone. Saat itu kami tak menduga film ini akan menjadi populer seperti sekarang. Saya juga tak menduga Nenek akan terkenal,” ujar pria yang kerap disapa Aris itu.

Mbah Sutiyem bermain di film besutan BW Purba Negara karena dikenalkan oleh Risdiyanto. “Tidak ada audisi, tetapi kru film mencari pemain lokal. Untuk peran Sri ini baru cocok ketika bertemu dengan Nenek saya. Tujuan film bukan untuk komersial, walaupun Nenek mendapat honor yang kemudian digunakan untuk kebutuhan makanan sehari-hari,” tuturnya.

Popularitas tak selalu berbuah manis

Kini Aris mulai khawatir dengan banyaknya tamu yang mendadak muncul di kediaman neneknya. Sementara Aris tinggal sekitar 3 kilometer dari kediaman neneknya. Dia mulai membatasi kunjungan tamu, menemani nenek dan memastikan kondisi sang nenek sedang tidak capek ketika menemui tamu. Aris juga mengajak serta setidaknya salah satu anak nenek untuk menemui tamu agar menghindari berita yang simpang siur. Aris juga memastikan berbagai pemberian tamu langsung diterima nenek dan kakenyanya untuk menghindari kecurigaan dari kerabat.

Seluruh hal tersebut muncul setelah neneknya menjadi populer. Tak semua prosesnya bisa berjalan mulus. Adu mulut dan cekcok kecil terdengar ketika Aris sedang menjelaskan hal tersebut pada kerabatnya. Popularitas dirasakan tak selalu manis bagi artis dan keluarganya. 

“Saya merasa bertanggungjawab karena dahulu saya yang mengajak Nenek main film. Sementara Nenek dan kami tak boleh menolak tamu. Nenek tenang kalau ada saya di sampingnya, Kakek juga bisa menahan emosinya kalau sedang ingin marah. Jadi, mohon maaf tadi lama menunggu untuk bertemu Nenek, karena beliau menunggu saya tiba di sini,” ungkapnya. -Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!