Ika Natassa menulis demi ketenangan pikiran

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ika Natassa menulis demi ketenangan pikiran
Bagi Ika Natassa, menulis adalah hobi yang ia butuhkan untuk mencerna kehidupan sehari-hari sekaligus cara untuk menuangkan pandangannya

JAKARTA, Indonesia — Nama Ika Natassa tentu tidak asing bagi para penggemar novel pop Indonesia.

Sepertinya sejak novel A Very Yuppy Wedding yang rilis pada 2007 lalu, rak best-seller tidak pernah kehilangan sosoknya, mulai dari Divortiare, Underground, Antologi Rasa, Twivortiare, Critical Eleven, hingga The Architecture of Love. Dan puncaknya, pada 10 Mei lalu, film adaptasi dari novel Critical Eleven resmi dirilis di bioskop-bioskop seluruh Indonesia dan mendapatkan respon positif dari banyak pihak.

(BACA JUGA: Berlinang air mata bersama ‘Critical Eleven’)

Ika mulai tertarik pada dunia menulis berkat hobi membaca sejak kecil. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Ika sering terhanyut dalam cerita dalam komik petualanganTintin yang dibacanya. “Misalnya Tintin lagi ke Arab, aku ikutan ke Arab. Tintin lagi Meksiko, aku ikutan ke Meksiko. Hanya dengan membaca,” tutur Ika Natassa kepada Rappler, Selasa, 16 Mei.

Tulisan memiliki kekuatan yang besar sehingga bisa membuat seseorang pergi dan berpetualang tanpa harus meninggalkan kursi. “Aku pengin juga begitu,” katanya. 

Ika kecil pun mulai sering menulis cerita pendek tetapi hanya untuk dibaca sendiri. Begitu pula novel yang ia tulis semasa SMA. Baru ketika dewasa dan telah berprofesi sebagai bankir, pada tahun 2006 akhirnya penerbit Gramedia merilis novel debut Ika Natassa yang berjudul A Very Yuppy Wedding.

BEST-SELLER. Buku-buku karya Ika Natassa dijejerkan dalam rak di sebuah toko buku. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler

Berangkat dari kehidupan sehari-hari

Menulis adalah bagian penting dalam hidup seorang Ika Natassa. Setelah lima hari dalam sepekan ia habiskan bekerja sebagai Project Leader di salah satu bank milik negara, Sabtu dan Minggu ia habiskan dengan menulis.

Bagi Ika menulis adalah hobi yang dibutuhkan untuk mencerna kehidupan sehari-harinya. Setelah bertemu orang-orang yang berbeda, banyak membaca, dan mendengar cerita, menulis adalah cara Ika untuk menuangkan pandangannya. “Aku merasa menulis itu menenangkan pikiran.”

Kejadian sehari-hari menjadi inspirasi terbesar Ika dalam setiap novel yang pernah ditulisnya, baik dari pengalaman pribadi, pengalaman teman, dari buku-buku yang dibacanya, maupun dari lagu-lagu yang didengar.

Basically, semua interaksi yang aku lakukan ke dunia ini dalam berbagai aspek sehari-hari.”

Sebagai penulis novel, Ika sangat mengagumi Dewi “Dee” Lestari. Ia mengaku jatuh cinta pada cara Dee bercerita bahkan sejak seri Supernova pertama. “Dia menggabungkan fakta dengan fiksi dengan sangat halus dan dengan sangat menyatu, dari karyanya yang pertama selalu begitu,” ujar Top 10 Finalist Fun Fearless Female Majalah Cosmopolitan tahun 2004 ini.

Selain itu, Ika juga menuturkan bahwa ia kagum pada dedikasi yang diberikan Dee untuk riset sebelum menulis bahkan saat namanya sudah melambung seperti sekarang.

“Walaupun sebenarnya nama dia udah gede banget, dia masih punya dedikasi terhadap dirinya untuk terus belajar,” katanya.

Selalu ingin berkembang

Menulis hanya dilakukan Ika saat akhir pekan, ketika ia tidak bekerja. Namun bukan itu yang membuat dirinya terkesan kurang produktif jika dibandingkan dengan beberapa novelis lainnya.

Ika mengaku sebagai sosok yang cukup perfeksionis. Oleh karena itu, ia ingin setiap karya yang ia tulis harus lebih baik dari karya sebelumnya, baik dari cara bercerita, topik yang diangkat, maupun cara bernarasi. Untuk berkembang diperlukan waktu yang tidak sebentar, terlebih karena ia harus membagi waktu dengan pekerjaannya sebagai bankir.

Ika merasa para pembaca berhak untuk mendapatkan karya yang berkualitas saat mereka memutuskan untuk ke toko buku, mengambil karya Ika Natassa, dan membawanya ke kasir untuk dibawa pulang dan dilahap hingga usai.

“Menurut aku agak tidak adil dan sangat egois jika aku hanya ingin mengeluarkan karya supaya sering saja. Aku lebih memilih kasih jeda waktu tetapi pas mereka beli, mereka puas.”

Di antara tujuh novelnya yang pernah diterbitkan, Ika merasa memiliki ikatan emosional paling kuat dengan Critical Eleven. Buku yang dirilis pada tahun 2015 ini berkisah tentang sepasang suami istri bernama Ale dan Anya yang menghadapi duka dengan caranya masing-masing. Ika membutuhkan waktu 2,5 tahun untuk menyelesaikan buku ini.

CE11. 'Critical Eleven' menjadi karya yang paling emosional bagi Ika Natassa. Foto dari Instagram/@ikanatassa

Ika merasa sangat emosional saat menulis novel ini karena ia harus menulis dari dua sudut pandang. “Jadi aku merasakan dukanya si suami, dan aku juga merasakan dukanya si istri, in every chapter. And that was emotionally draining,” katanya.

Selain itu, Critical Eleven juga ditulis berdasarkan pengalaman dari beberapa narasumber, yang salah satunya adalah sahabat Ika. Oleh karena itu, Ika mengaku sangat emosional dalam proses penulisan buku yang satu ini.

“Tapi kalau aku sendiri enggak bisa merasakan emosi sedalam itu saat menuliskan kisah mereka, gimana aku bisa berharap para pembaca merasakan hal yang sama, kan?”

Hal ini yang diharapkan dapat tersampaikan dari kisah Critical Eleven, termasuk saat dibawa ke layar lebar.

“Kita tuh di tim ngomongnya begini: ‘Kita melakukan pendekatan yang berbeda kali ini. Kita tidak sedang mengadaptasi cerita dari media tulisan ke visual, tapi kita lagi memindahkan rasa dari tulisan ke visual’. Nah kalau misalnya rasanya sampai ya Alhamdulillah.”

Mencoba menjangkau pembaca millenial

Berdasarkan pengamatan Ika dari interaksinya dengan para pembaca di media sosial, minat baca mereka yang kebanyakan adalah millenial ini masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari masih adanya sekelompok orang yang suka berdiskusi tentang buku, baik yang lokal maupun internasional.

Oleh karena itu, permasalahan yang saat ini harus dipecahkan adalah, bagaimana cara para penulis untuk dapat merangkul para generasi millenial yang menghabiskan waktu dengan menenteng gadget dan bermain di media sosial. 

Hal ini lah yang ingin dicapai oleh Ika saat melakukan proyek Architecture of Love bersama Twitter. Ia mulai menuliskan cerita pendek lewat tweet di akun Twitternya untuk men-engage para pembaca. Dari cerpen itulah kemudian cerita dikembangkan menjadi novel.

“Kalau kita enggak bisa ngasih mereka bacaan lewat buku, kita coba kasih mereka bacaan ya lewat media yang lain yang mereka biasa, which is blog, webpad, atau kayak yang aku lakukan cerita bersambung di Twitter.”

Menurut Ika, millenials memiliki minat baca, namun media yang mereka gunakan memang berbeda dari generasi sebelumnya. Meskipun begitu, ada pula sisi positif yang dimiliki dari mereka, terlebih untuk saling mendorong minat baca teman-teman di sekitarnya.

“Mereka suka pamer. Kalau lagi makan difoto, lagi nongkrong di mana, difoto. Upload di Instagram, Twitter, segala macam. Mereka juga kalau abis baca buku baru, di-share langsung, langsung difoto, it’s good, karena mereka tanpa kita suruh udah nge-share.”

Intinya, untuk terus meningkatkan minat baca perlu ada penyesuaian yang dilakukan para penulis dalam hal engagement dengan pembaca. “It’s not about changing their habit, but the writer’s adjusting to the readers’ habit.”

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!