5 hal tentang Dream Theater

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 hal tentang Dream Theater
Dream Theater adalah sedikit dari band yang anggotanya adalah musisi-musisi dengan skill bermusik jauh di atas rata-rata

YOGYAKARTA, Indonesia – Band metal progresif paling berpengaruh di dunia, Dream Theater, akan kembali datang ke Indonesia untuk kali ketiga setelah konsernya di Jakarta pada 2012 dan 2014. Band asal Boston, Amerika Serikat, itu akan menggelar konser di Stadion Kridosono, selama 2 malam, 29 dan 30 September.

(BACA JUGA: Tiket laku keras, Dream Theater akan pentas 2 hari di ‘JogjaROCKarta’)

Konser bertajuk Images, Words & Beyond dalam event JogjaROCKarta yang dipromotori Rajawali Indonesia ini merupakan rangkaian tur Dream Theater ke Asia dan Australia yang menandai 25 tahun tur album kedua mereka, Images and Words (1992).

(BACA JUGA: Konser ‘JogjaROCKarta’ pindah venue lagi)

Sebelum menyaksikan konsernya, simak dulu 5 hal yang perlu kamu tahu tentang band yang awalnya dibentuk di Berklee College of Music dengan nama Majesty ini.

Musisi dengan skill akrobatik

Dream Theater adalah sedikit dari band yang anggotanya adalah musisi-musisi dengan skill bermusik jauh di atas rata-rata. Aksi live Dream Theater selalu memukau, yang menyajikan orkestra cepat dengan teknik instrumen akrobatik.

John Petrucci –setengah nyawa dari Dream Theater– adalah salah satu dewa gitar yang masuk dalam Guitar World’s 100 Greatest Heavy Metal Guitarist of All Time. Ia dikenal sangat bagus dengan teknik picking yang super cepat namun sangat rapi dan menghasilkan suara yang jernih.

Tak hanya soal teknik, gitaris yang gemar menggunakan gitar 7 string ini juga jenius memberi sentuhan emosi pada setiap melodinya yang panjang. Coba simak ‘tangisan’ gitar Petrucci yang menyentuh perasaan di lagu The Spirit Carries On dari album Metropolis Part 2: Scenes from a Memory.

Di panggung belakang, Mike Mangini yang masuk daftar satu dari lima World’s Fastest Drummer selalu menunjukkan kelasnya dengan gebukan yang cepat dan rapat serta permainan pedal ganda yang apik, seperti saat memainkan lagu Lost Not Forgotten di album debutnya bersama Dream Theater, A Dramatic Turn of  Events (2011).

Susunan drumset Mangini sangat rumit ditambah deretan tom-tom yang digantung di atas. Di panggung, profesor perkusi di Berklee College of Music ini seolah sedang memberikan kuliah kepada penonton cara bermain drum yang benar.

Di bagian keybord, nama Jordan Rudess adalah jaminan. Musisi berjenggot Merlin yang dijuluki ‘Si Penyihir’ ini dikenal sangat kreatif menciptakan bunyi-bunyi ajaib dalam setiap komposisi, termasuk melibatkan penggunaan teknologi digital di panggung melalui iPad-nya.

John Myung, yang ikut membentuk Dream Theater bersama Petrucci, adalah satu-satunya personel yang selalu tampil tenang dan jarang menunjukkan ekspresi. Namun, musisi berdarah Korea ini punya permainan bass bersenar 6 yang cukup gahar di atas panggung.

Kolaborasi keempat musisi itu semakin komplit dengan dukungan vokal James LaBrie yang punya jangkauan vokal yang lebar, meski dalam beberapa lagu lebih dominan suara melengking setipe vokalis Iron Maiden, Bruce Dickinson.

Komposisi musik yang rumit

Jika mencari band metal yang punya kualitas live sama dengan rekaman studionya, Dream Theater adalah salah satunya. Malahan, tak jarang di atas panggung, para personel memberi kejutan lewat improvisasi yang tak pernah ada dalam album.

Dream Theater gemar menggabungkan berbagai genre seperti jazz, blues, rock, dan metal ke dalam aransemen musik yang sangat rapat dan rapi. Simak saja Breaking All Illusions yang dibuka dengan intro permaian gitar heavy metal, kemudian permainan keybord jazz di pertengahan lagu, disusul gitar bernuansa rock-ballad, dan berlanjut ke melodi blues yang menyayat.

Dream Theater dikenal dengan komposisi musiknya yang rumit dan dimainkan dengan teknik sulit, nada-nada miring, tempo yang berubah-ubah dan menggantung.  Justru inilah yang membuat Dream Theater cukup berpengaruh, terutama bagi anak band yang selalu penasaran mengulik teknik bermusik mereka.

Karena bukan jenis musik populer, hampir tak mungkin menyukai Dream Theater hanya dengan sekali dengar. Musik metal progresif sering membuat kening berkerut bagi orang awam, atau malah mungkin terdengar kedombrangan.

Butuh waktu bagi telinga untuk menjadi terbiasa mengurai kerumitan musik Dream Theater. Kebanyakan fans berat mereka baru mengagumi keindahanan orkestra cepat Petrucci dan kawan-kawan setelah berulang kali menyimak lagunya.

Lagu-lagu panjang

Dalam menulis lagu, Dream Theater seperti sedang bercerita dalam lirik yang panjang. Para personelnya, terutama Petrucci yang paling sering menulis, mendapatkan inspirasi dari peristiwa sehari-hari, dari persoalan cinta segitiga, krisis moneter, pergolakan politik, perang, hingga masalah gangguan mental.

Mereka biasa membuat lagu dengan berdurasi belasan menit, seperti Learning to Live, Home, dan Endless Sacrifice. Bahkan ada beberapa lagu yang lebih panjang lagi, yakni Illumination Theory berdurasi 22 menit, Octavarium 24 menit, dan Six Degrees of Inner Turbulence 42 menit yang terdiri dari 8 bagian.

Selain lirik, lagu-lagu Dream Theater juga punya porsi instrumen yang panjang yang memungkinkan setiap musisi punya bagiannya masing-masing untuk unjuk kebolehan tanpa harus berebut. Bahkan, ada lagu yang hanya menyajikan instrumen tanpa vokal sama sekali seperti Stream of Consciousness yang berdurasi 12 menit.

Album sepanjang masa Images and Words

Dream Theater merupakan salah satu band metal yang masih produktif meski industri musik dunia saat ini tidak berpihak pada genre yang pernah berjaya dekade 1970-1990 itu. Mereka sudah menghasilkan 13 album studio dengan rata-rata produksi dua tahun sekali.

Album kedua Images and Words (1992) menjadi yang paling monumental. Tidak hanya karena  melambungkan nama Dream Theater di jagad metal progresif, album ini juga menandai tur pertama band itu dalam karir musiknya. Di album pertama, When Dream and Day Unite (1989), Dream Theater tidak pernah menggelar tur promo.

Images and Words memuncaki daftar album metal terbaik versi Prog Report dan juga Loudwire. Pada 2017, Majalah Rolling Stone memasukannya dalam 100 Greatest Metal Albums of All Time.

Di album ini terdapat lagu Pull Me Under dan Take the Time  yang memberi rasa progresif yang kental, selain Another Day yang berkarakter new age. Namun yang paling menyita perhatian penggemar adalah Metropolis Part 1: The Miracle and The Sleeper, yang diakui sebagai lagu terbaik Dream Theater sepanjang masa. 

Dua drummer kelas dunia

Sebuah perdebatan yang tak pernah usai di kalangan para penggemar di belahan dunia hingga sekarang adalah tentang siapa yang layak menjadi penabuh drum Dream Theater di antara dua drummer kelas dunia, Mike Portnoy atau Mike Mangini.

Para pecinta mati Portnoy gagal move on dan masih berharap kembalinya drummer yang hengkang pada 2010 –dan memilih bermain untuk Avenged Sevenfold. Menurut mereka, musik Dream Theater sekarang kurang ‘nendang’ tanpa Portnoy.

Tak bisa dipungkiri bahwa Portnoy dan Dream Theater sulit dipisahkan. Bukan hanya karena Portnoy ikut membidani Dream Theater pada 1985, tetapi juga karena ia menjadi ‘metronom’ bagi band itu. Lebih jauh, Portnoy ikut menentukan warna musik band.

Masuknya Mangini yang lebih kalem mereka anggap belum bisa menggantikan Portnoy yang selalu atraktif dan ‘gila’ ketika tampil live. Mereka mengakui Mangini unggul secara skill dan teknik, namun soal bermain di panggung, Portnoy tak ada tandingannya.

Sebaliknya, bagi fans lainnya yang tak ingin Dream Theater bubar justru menganggap keluarnya Portnoy adalah angin segar bagi band. LaBrie kini bisa menyanyi tanpa terusik perseteruannya dengan Portnoy dan Myung mulai bersemangat menulis lagu kembali tanpa khawatir di-veto Portnoy –yang semakin mendominasi band sejak ia menjadi produser.

Sementara, kehadiran Mangini dianggap memberi kontribusi penting. Gaya bermain drumnya telah mengembalikan karakter progresif Dream Theater yang sempat hilang tergerus pengaruh Portnoy yang lebih condong ke heavy metal, terutama sejak album Train of Thought (2003) yang sangat cadas. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!