Bincang Mantan: Obsesi terhadap keadaan orang lain

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Obsesi terhadap keadaan orang lain
Apa sebenarnya yang harus dilakukan kalau kamu dihadapkan dengan pertanyaan orang yang kepo? Atau, jangan-jangan malah kamu yang hobi bertanya seperti itu?

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom Bincang Mantan adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius

Kamu mungkin familiar dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi nyelekit seperti “kok gendutan?” Kalau iya, pasti kamu sering bertanya-tanya “kenapa sih pengin tahu banget?” dan “harus jawab apa ya?” tapi akhirnya hanya bisa tersenyum simpul dan bilang “iya nih” dengan pasrah. Jadi, apa sebenarnya yang harus dilakukan kalau kamu dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu? Atau, jangan-jangan malah kamu yang hobi bertanya seperti itu?

Adelia: Please, tahu batasan, dong.

Fear of missing out (FOMO) is a real thing, apalagi di zaman di mana media sosial begitu penting: Instastory bertebaran dengan update per jam dari teman-teman, Facebook post dipenuhi pengumuman-pengumuman bahagia, dan lain-lain. Kamu pun jadi penasaran dengan perkembangan terbaru mereka sehingga, layaknya jurnalis, kamu ingin melontarkan berbagai macam pertanyaan ketika bertemu langsung.

Tapi penasaran harus punya batasan.

Penasaran boleh, tapi jangan nyakitin hati orang lain — dan kalian enggak akan pernah tahu apa saja yang bisa nyakitin hati orang lain. People’s sensitive spots are in weird places, man. And people do hold grudges over little things.

Beberapa bulan yang lalu, saya dikenalkan oleh suami saya pada temannya. Kenal saja baru saat itu, dan dia pun cuma pernah lihat saya dari media sosial, tapi tahu apa yang pertama kali dia lontarkan ke saya? “Kok gendutan?” LAH. Ngana siapa?

“Kok gendutan?” yang mungkin biasa saja buat sebagian orang, adalah hal sensitif buat orang yang pernah ada di lingkungan yang begitu mementingkan fisik dan memang punya metabolisme yang super lambat plus sedang melakukan pengobatan yang punya efek samping kenaikan berat badan drastis. Tapi apa si penanya peduli? 

“Kapan hamil?” juga menurut saya salah satu pertanyaan yang paling tidak etis karena apapun jawabannya pasti salah. Kalau bilang “belum” pasti dijawab “jangan nunda-nunda, anak itu rejeki Tuhan” tanpa peduli kalau yang ditanya mungkin punya masalah kesehatan atau ya memang belum dikasih saja sama Tuhan. Kalau bilang “sudah” nanti dijawab “wah cepet ya” sambil menghitung mundur dalam batin sudah berapa bulan yang ditanya menikah.

Lagipula, kenapa sih harus tahu masalah reproduksi orang lain? Apalagi kalau bukan kerabat dekat. Punya anak kan urusannya bukan cuma komitmen, cukup modal, atau restu orang tua. Ada faktor ‘sudah dikasih atau belum’ dari Tuhan yang berperan penting. Mau ditanya seribu kali pun, mau dinasehati seperti apa pun ya tidak ada gunanya.

Jadi harus berbuat apa kalau kamu bertemu orang-orang yang kebelet ingin tahu masalah pribadi kamu? Well, karena ini bukan buku PPKN, saya punya beberapa saran. Pertama, kamu bisa tinggalkan saja. Buat apa buang-buang waktu dan tenaga. Kedua, kalau kata teman saya Vetta, “bikin saja mereka depresi ringan” dengan membalas kenyinyiran dengan kenyinyiran. Ditanya kenapa gendut? Tanya balik saja kenapa dia masih belum lulus juga. Ditanya kapan kawin? Balas saja dengan pamer pencapaian kariermu.

Atau saran ketiga, kalau kamu sudah benar-benar muak, putuskan saja hubungan dengan mereka — seperti saya yang memutuskan untuk tidak akan pernah suka pada si penanya “kok gendutan?” tadi hanya dari semenit percakapan dengannya. Trust me, you don’t need that kind of negativity in your life.

Michelle Obama mungkin pernah bilang, “when they go low, we go high”, tapi kadang-kadang memberi pelajaran itu penting lho.

Dan buat kamu yang masih membaca tulisan ini, kalau kamu masih termasuk golongan orang-orang yang terlalu ingin tahu urusan orang lain, duh, introspeksi deh. Mungkin kamu terlalu banyak follow Lambe Turah, Lambe Nyinyir, Mak Rumpita, dan Mak-Mak lainnya di Instagram. Unfollow dulu deh.

Bisma : Halal haramnya kepo tergantung dari niatnya

Obsesi terhadap keadaan orang lain (selanjutnya disebut “kepo”) udah jadi suatu keniscayaan di era globalisasi ini. Contoh sederhananya, kita yang punya Instagram pasti rajin buka Stories teman-teman untuk sekedar tau mereka lagi apa kan?

Kepo yang begitu sih enggak masalah ya, toh memang seseorang share kegiatannya supaya orang lain liat kan? Nah, tapi dasar namanya manusia memang enggak pernah puas, banyak juga jadinya orang yang pengin tahu hal-hal lain tentang orang lain, selain yang di-post di medsos.

Untuk kepo berlebih macam itu, sepertinya sulit untuk langsung bilang setuju atau enggak, karena menurut saya semua tetap harus dinilai dari nawaitu-nya.

Jujur aja saya sering banget diminta tolong untuk background check seseorang lewat internet maupun instrumen lain (istilah bagus untuk kepo atau stalking).

Contoh, pernah ada orang asing yang flirting ke teman saya. Dari sosmednya sih oke semua dan dari mutual friend-nya keliatanya memang dia orang baik. Eh, tapi begitu saya background check ternyata bisa dibilang dia PK (penjahat kelamin) yang suka main perempuan. Teman saya pun selamat, padahal dia nyaris kepatil.

Kepo jenis ini jelas halal hukumnya. Cukup beralasan dan memang berfaedah. Tapi sayangnya kepo berlebih yang lebih lumrah terjadi tuh bukan yang ini.

Yang biasanya kejadian tuh orang-orang kepo cuma untuk sekedar cari bahan gossip atau bergunjing aja. Seneng aja gitu gali-gali informasi soal orang lain, apalagi aib. Jujur deh, lebih asik cari tau apa prestasi seseorang, atau siapa selingkuhannya?

I know memang cari tahu yang begini-begini tuh seru, enak, dan puas. Ibaratnya makanan tuh kayak makan banyak kulit ayam goreng tepung. Guilty pleasure.

Ada satu hal yang menurut saya jelas bedain konsekuensi gali aib orang sama makan ayam goreng tepung kebanyakan (Sebetulnya banyak sih bedanya, ya yang satu makan kulit ayam crunchy berminyak, yang satu gali aib orang. Jelas beda sih sebetulnya.).

Kalau kita makan kulit ayam itu konsekuensinya kita bisa gemuk dan tidak sehat. Itu aja, jadi dosanya ke diri sendiri. Tapi kalau kita gali aib orang, kemudian aib itu kesebar (pasti kesebar karena udah susah-susah nyari enggak mungkin kita tahan simpan sendiri), kemudian beritanya sampai ke orangnya. Ini sudah melibatkan orang lain. Bisa banget orang itu jadi down, malu, bahkan bisa merusak pertemanan kamu dengan dia.

Seorang teman yang sangat bijak pernah bilang ke saya “perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin di perlakukan”. Itu kuncinya. Coba bayangkan kalian lagi di posisi orang lain yang kalian kepoin. Berbagai rahasia bahkan aib kalian di ungkit-ungkit. Belum pulih sakit karena suatu masalah tapi masalah itu di bahas terus. Gimana rasanya?

Kepo jenis ini jelas haram dan banyak mudaratnya. I am totally against it.

Saya sih percaya alasan kita nonton film adalah karena apa yang ada di TV pasti lebih seru dari hidup kita sendiri. Mustahil untuk nandingin keseruan hidupnya Jon Snow kan? Jadi boleh lah kita ikutin kisah hidup dia untuk jadi hiburan. Tapi itu Jon Snow, nah, kalau teman kamu? Yakin hidup dia lebih seru dari hidup kamu? Daripada sibuk jadi penonton di hidup orang, mending ngapain gitu biar hidup kalian seru juga. Iya kan? Get a life, dude. You may never be the King in the North, but you can definitely be the King of Your Own Life.

—Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini bekerja sebagai editor dan penulis lepas, sementara Bisma adalah praktisi hukum yang bekerja di Jakarta.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!