Archipelago Festival: Panggung bagi musisi lokal baru unjuk kebolehan
DISKUSI. Guruh Soekarno Putra, Ade Paloh, Yockie Suryo Prayogo, dan Mondo Gascaro dalam panel diskusi bertajuk 'Pop Indonesia' di Archipelago Festival yang bertempat di Soehanna Hall, Energy Building SCBD pada Sabtu, 14 Oktober. Foto oleh Valerie Dante/Rappler
JAKARTA, Indonesia – Studiorama dan Sounds from The Corner (SFTC) pada Sabtu, 14 Oktober menggelar acara bertajuk "Archipelago Festival". Acara ini merupakan konferensi dan festival musik Indonesia yang bertujuan untuk memberi panggung pada musisi-musisi lokal baru agar dikenal masyarakat.
Ada beragam kegiatan selama dua hari festival digelar, mulai dari panel diskusi dengan beragam tema dan penampilan musik di malam harinya.
Di hari pertama, acara dimulai dari pukul 13.00 WIB dengan panel diskusi yang terbagi menjadi dua tempat. Di Jasmine Hall, berlangsung diskusi mengenai Music Archiving: The Past, Present, and the Future yang berbicara mengenai pentingnya mendokumentasikan penampilan musik dalam era digital.
Sedangkan di Hall utama membahas soal Music Venues: More than just hosting a gig. Panel yang menghadirkan Syafwin Bajumi dari Rossi Musik, Abie Borneo dari Borneo Beerhouse, dan Prajna Moerdaya dari JIExpo & Shoemaker Studios ini membicarakan pentingnya venue bermusik bagi perkembangan skena musik independen di tanah air.
“Venue itu menjadi tempat bagi band-band untuk berkembang,” ujar Abie.
Selain itu, ketiga pemilik venue ini sependapat kurasi musisi adalah hal yang penting sebelum mereka memutuskan band-band baru atau lama dapat bermain di tempat yang mereka sediakan.
Kemudian panel selanjutnya yang bertajuk Record Label: The Modern Tastemakers menghadirkan Daffa Andika dari Kolibri Rekords, Kimo Rizky dari Double Deer Records, dan Widi Puradiredja dari Organic Records untuk berbagi pengalaman mereka dalam mengelola label rekaman yang berdiri sendiri dan memiliki selera musik yang berbeda dari umumnya.
Menurut Widi, sebelum musisi memutuskan untuk menjalin kontrak dengan label tertentu, perlu diketahui kebutuhan dari musisi tersebut dan disesuaikan dengan apa yang dapat diberi oleh label.
“Harus make sure artis itu menguntungkan secara bisnis, tidak hanya secara eksistensi. Harus dipikirkan matang apa yang artis itu punya dan belum punya baru bisa terjawab kebutuhan mereka,” kata dia.
Meski tak dipungkiri era digital telah mempermuda segalanya, termasuk memproduksi musik sendiri, Daffa berpendapat ada hal-hal yang tidak bisa digapai sendiri dan membutuhkan dukungan dari label rekaman.
“Peran label itu menjadi supporting system musisi. Harus tahu apa yang perlu diperbaiki, diganti, dan didukung,” ujar Kimo.
Selain itu ada panel diskusi Beyond Jakarta: Indonesia’s Real Treasures yang mengundang narasumber berupa orang-orang opinion leader dari lingkungan musik lokal di luar Jakarta. Ketiga narasumber yang hadir mewakili Makassar, Palembang, serta Yogyakarta menjelaskan perkembangan musik lokal di daerah masing-masing dan kesulitan menggapai audiens hingga pulau Jawa.
Eskistensi pop Indonesia
Panel spesial pada hari pertama Archipelago Festival bertajuk Pop Indonesia dan menghadirkan legenda musik dalam negeri seperti Guruh Soekarno Putra dan Yockie Surya Prayogo. Selain itu, game changer pop masa kini seperti Ade Paloh dan Mondo Gascaro turut menjadi narasumber dalam sesi diskusi yang ditunggu-tunggu tersebut.
Diskusi dalam panel ini berangkat dari pendapat yang mengatakan bahwa musik pop Indonesia itu sejatinya tidak murni dan mendapatkan pengaruh dari budaya Barat.
Yockie berpendapat musik pop nyatanya merupakan musik yang diapresiasi oleh mayoritas masyarakat dan lahir ketika ada perubahan dari masyarakat tradisi menjadi masyarakat modern.
“Musik pop kebanyakan mewakilkan perasaan anak muda pada saat itu dengan kebebasan berekspresi,” kata dia.
Menurutnya, musik pop Indonesia seharusnya cukup otentik untuk mewakili perasaan masyarakatnya dan memiliki rasa Indonesia yang mendeskripsikan rasa sebagai warga lokal.
Sependapat dengan Yockie, Guruh mengatakan bahwa lagu pop harus menjadi representasi bangsa dan terasa kekhasan Indonesia. Ciri khas bangsa tersebut dapat ditonjolkan dengan cara menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana representasi budaya,
Maka bagi musisi Mondo Gascaro, agar musik yang dihasilkan otentik, seorang musisi harus mengerti betul dengan sejarah musik dan budaya bangsa.
Setelah diskusi panel selesai, hari pertama Archipelago Festival ditutup oleh penampilan musik dari band-band lokal seperti Feast, Anomalyst, hingga musisi internasional seperti duo Campfire dan Afrikan Boy yang berasal dari London, Inggris.
Wanita dan bahaya yang masih nyata
Denny Ramadhani (Slank), Dochi Sadega (Pee Wee Gaskins), dan Felix Dass (moderator) dalam diskusi bertajuk 'Fans: Love Them, Hate Them, Monetize Them?' di acara Archipelago Festival yang bertempat di Jasmine Hall, Energy Building SCBD, Jakarta Selatan, pada Minggu, 15 Oktober 2017. Foto oleh Valerie Dante/Rappler
Sedangkan di hari kedua berlangsungnya Archipelago Festival, salah satu panel menarik bertajuk Women: Gender Equality Within the Local Scene dan dihadiri oleh Kartika Jahja sebagai penyanyi dan aktivis wanita, Yacko sebagai rapper wanita, dan Hera Mary yang merupakan sutradara dari dokumenter Ini Scene Kami Juga.
Selama kurang lebih satu jam panel ini membahas seksisme yang masih ada dan sikap yang cenderung memandang rendah musisi wanita. “Perempuan itu digambarkan sebagai objek, jadi kayak properti umum, penonton merasa sah-sah saja mau ngapa-ngapain kita,” kata Tika setelah menceritakan pengalaman pelecehan seksual yang kerap ia hadapi di dunia musik.
Saat ditanya mengenai optimisme akan adanya perubahan, Yacko menjawab bahwa harus terus optimis. Proses yang berjalan pelan dan tidak langsung terlihat hasilnya bagi Yacko, terjadi karena para musisi feminis sedang berusaha mematahkan budaya yang telah tertanam di masyakarat.
Selain itu, panel Fans: Hate Them, Love Them, Monetize Them? mendiskusikan mengenai arti fans bagi musisi dan bagaimana memanfaatkan penggemar menjadi sumber pendapatan atau revenue stream bagi para musisi.
Panel diskusi terakhir pada terakhir mengundang Monita Moerdani, Head of Brand Tokopedia dan Mo Morris, Managing Director dari VICE Indonesia. Panel tersebut membahas mengenai bagaimana sebuah band melakukan branding kepada target pendengarnya dan cara pandang brand yang ingin memperdagangkan sebuah band.
“There has to be business otherwise there will be no music,” jelas Mo Morris.
Penampilan dari beberapa musisi seperti Ramayan, Gaung, Medium Rare, Onar, dan Chole Martini menutup rangkaian acara yang telah berlangsung sejak tanggal 14 Oktober kemarin.
- Rappler.com
Ayo langganan Indonesia wRap