Bincang Mantan: Semakin tua, lingkar pertemanan semakin kecil?

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Semakin tua, lingkar pertemanan semakin kecil?

JAKARTA, Indonesia —Kedua penulis kolom Bincang Mantan adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma : Banyak teman banyak rezeki

Semakin tua waktu kita memang semakin terbatas. Idealnya dari jatah 24 jam, 6 jam udah fix untuk tidur, 8 jam kerja, 4 jam waktu di jalan. Sisa tinggal 6 jam sehari waktu yang bisa kita bagi untuk hal lain-lain termasuk buat hobi, keluarga, sampe beres-beres rumah. Dengan terbatasnya waktu, wajar saja kalau akhirnya teman bukan lagi jadi prioritas.

Penurunan prioritas pertemanan biasanya bukan cuma bisa dilihat dari menyempitnya circle permainan dan berkurangnya intensitas nongkrong-nongkrong, tapi juga mulainya kita pilih-pilih teman.

Melihat tren kayak gini, saya cuma kepikiran satu hal. Mereka pasti enggak lulus PPKn waktu SD. Kata Bu Guru kan kita enggak boleh pilih-pilih teman!! Lagipula kan ada ungkapan “Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”. Kurang jelas apa coba?

Penganut aliran pilih-pilih teman biasanya bersembunyi di balik semboyan “quality over quantity”. Mending sedikit teman tapi berkualitas. Saya sih kurang setuju ya, karena menurut saya punya banyak teman itu banyak banget manfaatnya, kenapa harus dibatasi.

“Banyak teman banyak rezeki” is the new “Banyak anak banyak rezeki”. Zaman dulu waktu orang masih berkebun dan berburu untuk hidup, oke lah banyak anak memang berarti banyak manpower. Berarti keluarga itu dipastikan akan hidup makmur. Tapi zaman sekarang ketika ungkapan itu sudah irrelevant, posisi anak digantikan oleh teman karena banyak teman berarti banyak koneksi dan kita hidup di era di mana koneksi adalah segala-galanya.

Contoh. Kalau sakit, saya punya banyak teman dokter yang siap membantu. Ada masalah hukum? Saya punya banyak teman pengacara dan notaris. Punya keluhan pelayanan ojek online, saya punya teman yang kerja di sana. Mau cari uang pun saya punya banyak teman yang bisa diajak bisnis.

Bahkan orang sekitar saya pun ketularan dapet rezeki lho. Sudah sering banget saya pertemukan teman-teman saya yang sebelumnya tidak saling kenal untuk kerja bareng. Semua dimulai dari banyak teman. Betul kan ungkapan “Banyak teman banyak rezeki”?

Terlepas dari “rezeki” yang bersifat materiel, saya pun di usia sibuk ini banyak dapat teman baru yang pertemanannya terlalu tulus untuk tidak dianggap rezeki.

Contohnya, saya kenal Widya, salah satu teman terbaik dan paling thoughtful yang saya punya, belum lama ini setelah dikenalin oleh teman saya yang lain. Sejak kenal dia, saya jadi percaya bahwa orang baik itu bukan  sekedar mitos. Bayangin aja, waktu saya sakit tiba-tiba ada kiriman makanan ke kantor. Setiap saya ada masalah pun dia selalu siap untuk membantu. And she expects nothing in return. Pure pertemanan tulus saja.

Widya bukan satu-satunya “teman ketemu tua” yang berhasil mengubah hidup saya lho. Terlalu banyak kalau diceritain satu-satu. Tapi intinya kalo saya batasi diri pilih-pilih teman, mungkin saya enggak akan berteman dengan orang-orang luar biasa itu. Rugi banget.

Jadi, sekarang sudah setuju kan kalau banyak teman itu banyak juga manfaatnya?

Now the big question is, dengan waktu 6 jam sehari yang harus dibagi sama banyak hal yang jelas lebih penting, gimana sih caranya maintain pertemanan dengan banyak teman?

Untuk menjawab, yuk kita pinjam semboyan si geng gagal lulus PPKn.

Kita harus ingat “quality over quantity”. Bukan kualitas dan kuantitas temannya, melainkan kualitas dan kuantitas pertemuan dan pertemanannya.

Saya sering kok ketemu teman untuk cuma lunch 2 jam tapi sangat berkualitas. Enggak ada yang pegang hp, enggak banyak foto-foto, cuma ngobrol aja, bonding. Kalau setiap weekend kita ketemu dengan satu circle, sebulan udah dapet quality time sama 4 circle. Cukup kan? Untuk berteman dengan seseorang kita enggak perlu setiap hari ketemu juga. Dua bulan sekali ketemu asal berkualitas juga sudah cukup. Yang penting kita siap kapan pun untuk saling bantu jika diperlukan. Itu yang namanya teman.

Seiring berjalannya waktu, teman-teman yang tadinya cuma jatuh ke kategori quantity pun bisa masuk ke quality juga. Pada akhirnya kamu bisa punya banyak pertemanan berkualitas. Butuh waktu, tapi bisa. Jadi kenapa enggak?

Dari zaman Julius Caesar masih ABG sampai sekarang Justin Bieber beranjak dewasa, satu hari sudah 24 jam. Enggak pernah berubah, dan dengan waktu segitu, yang satu berhasil jadi Kaisar Romawi dan yang satunya lagi berhasil jadi idola remaja di seluruh dunia. Masa kamu dengan jumlah waktu yang sama, punya banyak teman aja enggak bisa?

Adelia: Kualitas di atas kuantitas

Semakin tua, semakin sedikit teman yang kita punya. Iya enggak, sih? Dulu, paling tidak punya teman satu kelas yang bisa diajak ke mana-mana, punya geng SD, SMP, SMA, hingga kuliah. Tidak ada hari yang terasa kesepian. Kalau bulan puasa, kalender untuk reuni dan buka bersama sudah penuh bahkan sebelum Kementerian Agama menentukan kapan bulan Ramadan dimulai.

Lalu kita mulai masuk dunia kerja, tiba-tiba semua orang makin sibuk. Tadinya bertemu setiap hari, jadi sebulan sekali, lalu jadi tiga bulan sekali, atau malah hanya setahun sekali (iya, pas bulan puasa). Belum lagi kalau ada yang sudah menikah, kemungkinan besar kalian jadi makin menjauh.

Ya, tapi, bagaimana lagi. Life happens. Prioritas berubah, kamu berubah, semua berubah. Tadinya kamu punya waktu setiap akhir pekan untuk senang-senang, sekarang Sabtu-mu untuk pulang ke keluarga, dan Minggu-mu untuk keluarga pasanganmu. Tadinya kamu bisa meluangkan waktu di Rabu malam untuk makan diskonan saat Ladies Night, sekarang badanmu mulai terasa jompo dan kamu memilih untuk panggil tukang urut saja ke rumah.

Life happens and it requires prioritizing stuff, dan itu mengapa akhirnya di umur pertengahan dua puluhan, saya memilih untuk mengutamakan kualitas di atas kuantitas — dalam urusan membeli tas, make up, dan tentunya pertemanan.

Semakin tua, kita semakin tahu siapa yang benar-benar teman dan mana yang sekadar “kenalan” — tapi ini kembali lagi ke pengertian kamu pada kata tersebut. Kamu bisa memisahkan mana yang “teman” dan mana yang “kenalan” atau mana yang “sahabat”, mana yang “teman”. Intinya, menurut saya ada dua tingkatan: yang spesial (yang kamu betul-betul tahu kabarnya) dan yang hanya sekedar tahu (yang kabarnya hanya kamu dapat dari Instagram Stories).

Buat saya, menjaga hubungan itu butuh usaha, dan kalau usaha hanya sepihak kan tidak enak juga. Akhirnya, hubungan yang betul-betul terjaga hanyalah hubungan yang saling menguntungkan dan mau saling mengusahakan. Bukannya saya egois, tapi, ibarat cinta, cinta sebelah tangan kan tidak ada untungnya. Iya kan?

Kalau sebuah lingkar pertemanan (alias geng) kamu cuma bisa ketemu untuk hura-hura tapi ketika kamu kesulitan hanya bilang “Sabar ya”, mungkin sudah saatnya kamu memikirkan seberapa besar usaha yang mau kamu berikan untuk merawat hubungan itu.

Kalau kamu terus-terusan mengajak bertemu dan mau meluangkan jadwalmu yang padat, tapi temanmu sepertinya tidak pernah punya waktu untuk sekadar minum kopi bersama, tidak ada yang akan menyalahkanmu kalau kamu jadi berpikir kalau kamu tidak pernah diprioritaskan.

Mau pakai alasan sibuk? Saya sih percaya, kalau betul-betul penting selalu ada waktu dan usaha lebih yang bisa diberikan, kok. It’s not about having time, it’s about making time. Dan kalau kalian mau ngomel karena yang saya bila terdengar jahat, well, kalau pacarmu yang begitu, kamu marah tidak? If you can expect extra care from your boy/girlfriend, than you can expect that from your “best friends” as well.

Sekali lagi, quantity over quality. Seperti halnya LDR, pertemanan yang baik tidak perlu bertemu setiap saat. Saya dan sahabat saya selama lima tahun selalu terpisah negara dan hanya bisa bertemu setahun sekali, sekarang pun hanya bertemu sebulan atau dua bulan sekali. Tapi kami selalu ada kalau dibutuhkan dan yang terpenting, mau mengusahakan untuk ada bagi satu sama lain. It’s the thought that counts the most.

Di sini saya bukannya melarang kamu punya banyak teman. Friends are useful and resourceful, dan kamu enggak akan tahu kapan mereka bisa membantu kalian. I’m just suggesting that you should not take the extra effort to please each one of them. Coba mulai klasifikasikan orang-orang di sekitar kamu, mana yang betul-betul spesial, mana yang hanya seadanya, dan lain-lain. Kenapa? Supaya kamu ngga gampang baper kalau kamu tidak diprioritaskan atau kalau hubungannya hanya berjalan sepihak. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!