US basketball

Menemukan kembali seni surat-menyurat dalam ‘Women of Letters’

Valerie Dante

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menemukan kembali seni surat-menyurat dalam ‘Women of Letters’
'Women of Letters' adalah salah satu rangkaian acara dari 'Ubud Writers and Readers Festival' yang berlangsung di Ubud, Bali

UBUD, Indonesia —Di era serba digital, di mana segala sesuatunya sudah mudah didapatkan dan diberi kembali, kebiasan menulis surat ataupun surat-menyurat sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat modern.

Women of Letters yang merupakan salah satu acara dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, mencoba menghidupkan kembali romantisme surat-menyurat di zaman modern.

Emilie Zoey Baker, pemandu acara yang merupakan penulis puisi dan penggerak komunitas spoken poetry di Australia menganggap bahwa seni menulis surat harus dihidupkan kembali karena memiliki banyak kelebihan.

“Di dunia modern semuanya serba instan, tidak ada lagi keinginan menunggu akan sesuatu. Sedangkan dengan berkorespondensi, kita belajar seni menunggu dan kerinduan akan menerima balasan,” jelas seusai acara Women of Letters yang digelar di Indus, Ubud, Bali, pada Jumat, 27 Oktober 2017.

Bagi Emilie, surat-menyurat sangat berbeda dengan surat elektronik atau e-mail karena sifatnya yang personal dan berharga. Terutama surat yang ditulis tangan, Emilie mengatakan surat sejenis itu memiliki aura kepribadian yang luar biasa.

“The person’s essence is on the page. To open the envelope, to see what kind of pen they used, or to perhaps get a whiff of their scent on the paper. That’s just exquisite,” kata dia.

MEMBACA SURAT. Lijia Zhang, Kate Holden, Kate Cole-Adams, Emilie Zoey Baker, Leanne Ellul, dan Bernice Chauly saat membacakan surat mereka dalam 'Women of Letters'. Foto oleh Valerie Dante/Rappler

Women of Letters kali ini menghadirkan perempuan-perempuan penulis buku dan penulis puisi dari berbagai belahan dunia seperti Lijia Zhang, Kate Holden, Kate Cole-Adams, Leanne Ellul, dan Bernice Chauly. Mereka diminta untuk menulis surat yang bertema Never Again. Para penulis ini kemudian satu persatu membacakan surat yang mereka tulis sendiri dengan tema yang sama, namun objek yang berbeda.

Bernice misalnya, menulis surat yang dipersembahkan untuk masa menopause-nya. Never Again atau yang “tak akan pernah lagi” baginya adalah badannya yang sudah berubah setelah melewati masa menopause. Dalam suratnya, penulis buku asal Malaysia ini berterima kasih pada perubahan badannya dan berjanji akan lebih mencintai diri sendiri.

Sedangkan Lijia yang berasal dari China mendedikasikan suratnya bagi dirinya yang dahulu tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. “Never again speak horrible English!” tutur Lijia sambil tertawa saat membacakan suratnya.

“Kita ingin bereksperimen dengan subyek baru, menurut saya tema ini sangat menarik karena semua orang pasti memiliki penyesalan yang pasti menarik untuk ditelaah lebih lanjut dan direfleksikan bersama audiens,” jelas Emilie.

Women of Letters sendiri merupakan acara bulanan yang dimulai di Melbourne sejak 2010. Acara amal ini kerap mengundang musisi, comedian, dan penulis asal Australia untuk sama-sama merayakan seni menulis dan surat-menyurat yang kian pudar di masyarakat. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!