Filipino bands

‘Ahu Parmalim’: Film dokumenter yang menyoroti keragaman penghayat kepercayaan di Indonesia

Elma Adisya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Ahu Parmalim’: Film dokumenter yang menyoroti keragaman penghayat kepercayaan di Indonesia
Sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi ditetapkan, anak-anak penghayat kepercayaan di berbagai daerah di Indonesia banyak yang menjadi ‘bunglon’

JAKARTA, Indonesia —Para penonton tertawa ketika Carles Butar Butar, 17, tokoh utama di film dokumenter Ahu Parmalim, tersenyum kikuk saat ibunya menggodanya soal pacar dan teman perempuan.

“Banyak yang telepon dia, tapi karena dia enggak punya pulsa, ya tidak bisa telepon balik,” ujar ibu Carles dalam film tersebut.

Wajar bila siswa SMA seusia Carles sudah berpacaran atau menaksir teman sekolah. Tapi sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam kepercayaan Ugamo Malim atau Parmalim, Carles sangat patuh terhadap orang tua dan fokus pada pendidikannya.

Bekerja keras adalah salah satu dari 20 patik atau kewajiban para penganut Parmalim, salah satu kepercayaan di Sumatera Utara, dan Carles dengan sungguh-sungguh menjalankannya agar cita-citanya menjadi polisi tercapai.

“Itu yang mau kita sampaikan ke remaja, (bahwa) kamu punya banyak ajaran di agamamu,  paling tidak satu saja yang kamu kerjakan dengan baik dan benar,” ujar Dian Herdiany, salah satu pendiri Yayasan Kampung Halaman dalam diskusi publik tentang penghayat kepercayaan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) minggu lalu.

Yayasan Kampung Halaman, yang fokus pada pemberdayaan remaja dan anak muda di komunitasnya, adalah produsen Ahu Parmalim bersama Yayasan Tifa. Film tersebut memperlihatkan bagaimana kepercayaan Parmalim dapat masuk dan terintegrasi dengan kurikulum pendidikan di daerah Toba Samosir. Para anak-anak Parmalim di daerah tersebut dapat mempelajari kepercayaannya di sekolah tanpa perlu berganti agama untuk mengisi nilai agama mereka di rapor.

Dian mengatakan, kelompok Parmalim sangat mementingkan pendidikan. Sejak 1936, mereka sudah membentuk Bapar, sebuah badan yang menggodok kurikulum pendidikan agama anak-anak Parmalim yang kemudian diintegrasikan pada kurikulum sekolah umum.

“Mereka ini salah satu yang progresif ya. Jadi tidak heran jika mereka dapat melakukan persuasi terhadap pemerintah daerah kabupaten mereka. Tetapi ini pun juga bukan hanya dari satu pihak saja, pemerintah daerah pun juga harus aktif merangkul, contohnya dinas pendidikan daerah Toba Samosir,” ujar Dian.

Namun sayangnya, tidak semua penghayat kepercayaan memiliki kesempatan yang sama seperti penghayat Parmalim. Di banyak daerah, para penghayat kepercayaan hidup dalam diskriminasi.

Mina Susana Setra, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, memaparkan beberapa diskriminasi yang dialami oleh para penghayat kepercayaan, salah satunya bagaimana sulitnya remaja Kaharingan mendapatkan akses pendidikan.

“Anak-anak muda di Kaharingan mau sekolah saja sulit, ditanya akta lahirnya mana. Bagaimana  mau punya akta lahir, KTP saja enggak punya. Masyarakat agama leluhur  itu jangankan masalah agama di KTP, KTP saja susah untuk didapat,” ujar Mina, yang menjadi salah satu pembicara juga dalam diskusi tersebut.

Diskriminasi terhadap para penghayat kepercayaan selama ini membuat mereka tidak mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia secara penuh, termasuk hak-hak dasar seperti identitas kependudukan, yaitu akta kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK). Akibatnya, sulit bagi mereka mengakses banyak hal seperti akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Hal ini yang menjadi salah satu alasan Yayasan Kampung Halaman membuat film dokumenter yang berfokus pada remaja penghayat kepercayaan.

“Remaja Indonesia itu secara angka, 87% itu tinggalnya di kota kecil dan daerah terpencil. Yang kota besar itu hanya 13%, sisanya tinggalnya di daerah yang aksesnya terbatas. Secara administrasi kependudukan mereka tidak memiliki hak yang sama dengan yang lain. Ini kan hak dasar untuk menuju keadilan sosial, karena kalau hal ini tidak diselesaikan ya mereka tidak bisa mengakses pendidikan secara penuh,” ujar Dian.

Angin segar bertiup saat Mahkamah Konstitusi awal November lalu mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP. MK memutuskan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama pada KK dan KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.

Ini tentunya menjadi babak baru bagi para penghayat kepercayaan, karena dengan keputusan ini mereka akan mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai  warga Negara Indonesia, salah satunya adalah hak untuk mendapat pendidikan yang sama tanpa melihat agama dan kepercayaan yang mereka anut.

Sebelum keputusan MK ini ditetapkan, anak-anak penghayat kepercayaan di berbagai daerah di Indonesia banyak yang menjadi ‘bunglon’ yang harus berkamuflase dan memilih satu di antara enam agama yang diakui oleh negara, agar nilai agama mereka tidak kosong.

“Di banyak tempat, mereka (penghayat kepercayaan) tidak diakui. Mereka harus pura-pura beragama yang enam itu atau ya mengalami diskriminasi, karena agama itu kalau di sekolah baik negeri maupun swasta itu wajib,  jadi kalau tidak ikut satu agama yang ada ya nilai agamanya nol,” ujar Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dan dosen di STHI Jentera, dalam diskusi yang sama.

Bivitri mengatakan keputusan MK ini harus dikawal bersama-sama agar dalam praktiknya tidak ada diskriminasi pada tingkat daerah. Ada dua ranah yang harus ditindaklanjuti, yakni kesadaran masyarakat mengenai isu keberagaman penghayat kepercayaan di Indonesia dan ranah hukum dan kebijakannya, ujar Bivitri.

“Ranah pertama dilakukan dengan memantik diskusi-diskusi mengenai penghayat kepercayaan di Indonesia, di komunitas-komunitas lain. Ranah kedua dapat dilakukan dengan advokasi kebijakannya pusat maupun daerah karena daerah banyak mengeluarkan peraturan daerah (perda). Level kedua saya menyarankan bahwa perlu juga ada bagian khusus yang menerima pengaduan-pengaduan jika terjadi diskriminasi,” tambahnya.

Dian berharap Ahu Parmalim dapat menjadi salah satu pemantik diskusi di berbagai tempat di Indonesia. Hingga saat ini permintaan pemutaran film tersebut sudah datang dari 70 daerah di Indonesia dan beberapa  permintaan berasal dari institusi pendidikan.

“Kami berharap film ini menjadi pintu pertama bagi remaja untuk membicarakan keberagaman, agar mereka mengenal betapa banyak dan beragamnya penghayat kepercayaan di Indonesia. Selain itu kami juga ingin membantu remaja-remaja ini untuk mendapatkan hak mereka, dan meneruskan pengetahuan lokal di daerah,” ujarnya. —Rappler.com

 

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di magdalene.co

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!