Menyusuri jejak Majapahit di Lereng Lawu

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menyusuri jejak Majapahit di Lereng Lawu
Ada tiga candi unik nan eksotis yang bisa dikunjungi yaitu Sukuh, Cetho, dan Kethek

SOLO, Indonesia —Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan salah satu favorit destinasi pendakian di Indonesia. Menjelang pergantian tahun, Lawu selalu dipenuhi pendaki yang ingin berburu golden sunrise pertama di awal tahun dari atas awan pada ketinggian 3.265 mdpl.

Gunung yang punya tiga puncak berselimut kabut dan dikenal dengan aura mistisnya ini konon punya daya tarik yang sulit dijelaskan. Mereka yang pernah naik ke Lawu akan dihinggapi kerinduan untuk kembali ke gunung yang dipercaya sebagai tempat bertapa dan moksa Prabu Brawijaya V menjelang keruntuhan Majapahit ini.

Jika kamu berencana mendaki Lawu di akhir tahun ini, sebaiknya sempatkan juga untuk berwisata melihat jejak peradaban Majapahit yang masih tersisa, seperti candi-candi eksotis di lereng barat. Ada tiga candi unik yang bisa dikunjungi yaitu Sukuh, Cetho, dan Kethek.

Candi Sukuh berada di luar jalur pendakian, sehingga mesti dikunjungi secara terpisah. Sedangkan Candi Cetho dan Kethek berada tepat di dekat basecamp pendakian via Cetho.

Kamu bisa mendaki Lawu dari jalur Cemoro Kandang maupun Cemoro Sewu dan turun lewat jalur Cetho atau bisa juga sebaliknya. Namun sebagai catatan, jalur Cetho dikenal sebagai jalur alternatif yang  lebih menantang dibanding dua jalur lainnya, karena punya rute lebih panjang dan menanjak.

Candi Cetho

Candi ini berlokasi di Desa Gumeng, Jenawi, Karanganyar, tak jauh dari perkebunan teh Kemuning. Akses menuju candi ini adalah jalan aspal tak rata dengan tanjakan sangat ekstrem.

Candi Cetho berada di ketinggian 1.496 mdpl dan selalu diselimuti kabut saat pagi dan sore hari. Candi yang dibangun pada 1475–dan pernah mengalami pemugaran dua kali–ini terdiri dari 13 teras berundak dengan latar belakang puncak Lawu.

Teras bagian atasnya menyerupai bangunan pura dengan mandala yang biasa dipakai untuk sembahyang. Sampai sekarang Candi Cetho masih digunakan untuk peribadatan, terutama saat hari-hari besar umat Hindu.

Pengunjung wajib menjaga perilaku dan perkataan selama berada di lokasi candi seperti tulisan yang tertera pada papan. Baru-baru ini juga diberlakukan aturan bagi pengunjung untuk memakai kain poleng hitam-putih ketika masuk ke area candi sebagai bentuk penghormatan.

Pada puncak candi, terdapat bangunan berbentuk piramida terpenggal. Bangunan ini menggambarkan Gunung Mandara yang dipotong bagian puncaknya oleh para dewa dan digunakan mengaduk lautan Ksira untuk mencari tirta amerta–air keabadian–seperti yang disebutkan dalam Adiparwa, buku pertama dalam Kitab Mahabarata.

Candi ini memiliki relief surya Majapahit yang merupakan simbol kerajaan. Selain itu terdapat pula arca Brawijaya V serta penasehatnya Sabdopalon dan Nayagenggong–dua tokoh yang keberadaannya masih kabur dalam catatan sejarah Majapahit, antara ada dan tiada.

CANDI SETHO. Relief tanah di Candi Setho. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Pada teras bagian dasarnya terdapat relief lingga-yoni raksasa. Susunan batu yang tertanam di atas tanah itu menggambarkan pertemuan alat kelamin laki-laki dan perempuan yang merupakan bagian dari proses awal penciptaan manusia.

Di bagian atas, candi ini juga memiliki arca phallus (penis) yang merupakan simbol kesuburan. Karena relief dan arca yang secara gamblang–cetho dalam bahasa Jawa artinya jelas–mengekspos organ reproduksi manusia, Cetho dikenal sebagai candi erotis selain Sukuh.  

RELIEF. Ini adalah relief berbentuk organ genital laki-laki dan perempuan di Candi Cetho. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Menurut para arkeolog, Candi Cetho juga merupakan tempat untuk meruwat atau menyucikan diri berdasarkan pada temuan relief kisah Sudamala yang terdapat pada candi, selain juga sebagai tempat pemujaan.

Sementara, keberadaan arca yang mirip sosok bangsa Sumeria–manusia berewok yang memakai gelang mirip arloji dan anting–di depan gapura gerbang candi sering dikaitkan dengan keberadaan bangsa asing di Jawa.

Yang paling menarik dari Candi Cetho adalah suasananya menjelang senja. Saat suasana cerah, kamu bisa menyaksikan matahari surut di ufuk barat dengan panorama Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan.

Para pemburu senja juga menyukai suasana saat kabut dingin mulai turun menyelimuti bebatuan candi dan perlahan menyembunyikannya dari pandangan mata. Terkadang aroma dupa yang menyeruak semakin menambah suasana magis.

Candi Kethek

Candi ini persis berada di jalur yang biasa dilewati pendaki dari arah basecamp. Dari Candi Cetho, kamu hanya butuh berjalan kaki kurang dari satu kilometer dengan menyusuri jalur setapak yang agak menantang. Selain jalan tanah yang licin saat basah, di sebelah kiri adalah jurang yang cukup dalam.

Setelah menuruni jalan setapak, kamu akan mendapati sungai kecil–lebih mirip aliran air di pegunungan–di dasar jurang yang bisa diseberangi. Untuk mencapai candi, kamu mesti mendaki ke atas bukit menerobos pepohonan pinus.

CANDI KETHEK. Candi ini diberi nama Kethek yang dalam bahasa Jawa artinya monyet karena berlokasi di tengah hutan dan dikelilingi pepohonan pinus yang rindang serta dihuni kawanan kera ekor panjang. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Akses yang sulit ini membuat candi ini lebih sunyi dibanding Candi Cetho karena pengunjung malas untuk berjalan kaki menembus hutan. Apalagi, kabut tebal sering turun tiba-tiba menutupi pandangan, tak terkecuali di siang hari.

Candi ini diberi nama kethek–dalam bahasa Jawa berarti kera atau monyet–karena dahulu candi yang berlokasi di tengah hutan dan dikelilingi pepohonan pinus yang rindang ini dihuni kawanan kera ekor panjang yang membuat penduduk setempat tak berani mendekat atau melewati kawasan ini.

Candi Kethek sebenarnya lebih menyerupai bangunan megalitikum ketimbang candi abad XV. Strukturnya mirip punden berundak berbentuk piramida dengan tangga di bagian tengahnya. Bangunan candi tersusun atas tumpukan batu-batu kali tanpa perekat, tanpa pahatan relief dan arca.

Bagian puncaknya berupa teras dengan sebuah tempat pemujaan dan sesaji. Meski minim informasi, para arkeolog menyimpulkan candi ini satu zaman dengan Candi Cetho dan Sukuh, dan dibangun untuk tujuan ruwatan atau penyucian.

Candi Sukuh

Candi ini berlokasi di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, sekitar setengah jam dari Candi Cetho. Untuk menuju candi ini, kamu akan melewati hamparan kebun teh yang hijau, rumah teh Ndoro Dongker, pura, beberapa air terjun, dan kebun-kebun sayur di sepanjang jalan.

Candi Sukuh terkenal dengan arsitektur bangunannya yang khas yaitu piramida trapesium–rata pada bagian puncaknya–mirip piramida suku Maya, Inca, dan Aztec di Amerika Tengah. Piramida ini tersusun atas tumpukan batu-batu kali tanpa perekat.

CANDI SUKUH. Candi Sukuh paling populer dibanding dua lainnya karena banyak digunakan untuk aktivitas seni. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Arsitektur yang tak lazim sebagaimana candi-candi Hindu pada umumnya inilah yang membuat para penganut pseudo-arkeologi beranggapan Candi Sukuh terkait dengan peradaban asing.

Namun, arkeolog memastikan bahwa candi ini merupakan peninggal Majapahit abad XV, sebagaimana Candi Cetho dan Kethek. Bedanya dengan candi Majapahit di Jawa Timur yang terbuat dari batu merah, candi-candi di lereng Lawu ini menggunakan bahan batu kali seperti halnya Borobudur dan Prambanan yang berusia lebih tua.

Candi Sukuh paling populer dibanding dua lainnya karena banyak digunakan untuk aktivitas seni, seperti pentas pertunjukan Srawung Seni Candi yang digelar setiap tahun. Sutradara Garin Nugroho juga memilihnya sebagai tempat utama syuting film bisu Setan Jawa yang (2016) yang bercerita tentang pencari pesugihan di era kolonial.

“Alasannya candi ini punya sisi mistis dan erotis,” kata Garin saat screening filmnya dengan konsep gamelan live di Solo beberapa waktu lalu.

Candi Sukuh terdiri dari tiga teras. Gapuranya terdapat pahatan relief ‘raksasa menelan manusia’ yang melambangkan tahun pembuatan candi, 1359 Saka atau 1437 Masehi. Di bagian bawah terdapat relief dua jenis alat kelamin yang saling berhadapan. Konon, batu ini zaman dahulu sering digunakan untuk mengetes keperawanan dan keperjakaan seseorang dengan cara melompatinya.

CANDI SUKUH. Candi Sukuh berdiri di ketinggian 1.186 mdpl dan pertama kali ditemukan penduduk setempat pada abad ke XIX. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Candi ini juga memiliki relief dan arca yang menggambarkan ketelanjangan dan organ genital. Yang paling mencolok adalah arca seukuran manusia laki-laki berdiri–bagian kepalanya hilang–sedang menggenggam alat vitalnya.

Gambar phallus, lingga-yoni, rahim, menguatkan argumen arkeolog bahwa candi ini sama seperti Candi Cetho yang dibangun oleh penganut Hindu Tantrayana sebagai tempat pemujaan sekaligus ruwatan.

“Organ genital itu menggambarkan bagian dari siklus hidup manusia, dari sebelum kelahiran hingga setelah kematian,” ujar Pak Narto, pemandu yang juga perawat candi meneruskan keluarganya secara turun-temurun.

Di teras utama, terdapat piramida dan tiga arca kura-kura raksasa seukuran meja, yang dalam tradisi Hindu, merupakan manifestasi Dewa Wisnu. Sementara, piramidanya memiliki sebuah tangga di bagian tengah menuju puncak yang digunakan sebagai tempat untuk menaruh sesaji.

Selain relief dan arca erotis, Candi Sukuh juga memiliki arca Garudeya, makhluk mitologi manusia berkepala burung yang konon menurut cerita Pak Narto mirip dengan figur Garuda lambang negara yang punya simbol angka Hari Kemerdekaan RI pada bulu sayap, leher, dan ekornya.

Arca yang berdiri tegak di atas kura-kura dan gajah itu memiliki jumlah bulu sayap 17 helai, garis pada mahkota dan ekornya 45, namun tidak ada representasi angka 8 kecuali jumlah cakarnya. Entah ini merupakan ramalan atau kebetulan semata.

Candi Sukuh berdiri di ketinggian 1.186 mdpl dan pertama kali ditemukan penduduk setempat pada abad ke XIX. Tahun 2015-2016, candi ini dipugar karena bangunan utama miring akibat pondasinya amblas yang disebabkan banyaknya pengunjung yang naik ke atas piramida.

Karena panorama dari atas cukup indah, terutama saat sore hari, banyak pengunjung yang gemar berlama-lama duduk di atap candi. Namun, setelah pemugaran, pengelola candi membatasi pengunjung yang ingin naik secara bergantian. 

—Rappler.com

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!