Bincang Mantan: Kenapa harus menghabiskan uang untuk barang bermerek?

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Kenapa harus menghabiskan uang untuk barang bermerek?
Jangan sampai bonus tahunanmu habis untuk membeli tas Hermes atau jangan sampai cicilan Louis Vuitton menghabiskan setengah gaji bulananmu

JAKARTA, Indonesia —Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma : Tahu diri saja, segala sesuatu yang dipaksakan biasanya tidak baik

Saya hidup di lingkungan yang cukup “jahat” jika sudah menyangkut barang branded. Dari zaman kuliah sudah ada sahabat saya yang pake tas LV (Louis Vuitton) untuk kuliah disaat saya cuma pakai tas Converse. Sahabat yang lain ada juga yang pake jam tangan TAG Heuer bahkan Panerai untuk ke kampus waktu saya baru bisa beli G-Shock dari nyisihin uang jajan.

Jadi saya sudah sama sekali tidak norak sama yang namanya barang bermerek. Toh kadang catatan yang yang saya bawa pakai tas Converse tuh yang dipakai untuk belajar bareng mereka. Terus jam G-Shock saya juga yang berhasil menunjukkan waktu ke pemiliknya biar enggak terlambat ngampus.  

Jadi saya sampai sekarang berpikirnya kalau belum sanggup ya enggak perlu ngoyo toh barang yang lebih murah bisa fungsional juga.  

Sayangnya tidak semua orang berpikiran sama kayak saya. Banyak banget orang yang saya kenal, yang waktu kuliah hidup prihatin (ya namanya juga mahasiswa), yang ternyata diam-diam memendam hasrat teramat kuat untuk punya barang branded. Nah begitu udah punya penghasilan sendiri, jadi deh mereka jadi semacam kesetanan.

Masa iya ada teman yang rela sebagian besar gajinya dipakai buat beli barang-barang branded, dan demi itu dia rela untuk tetap ngekos dan nebeng teman ke mana-mana. Ya itu pilihan hidup sih, prioritas dia memang begitu dan tidak ada yang salah dari itu. Tapi menurut saya kalau aja uang pemenuhan nafsu tersiernya dialihkan dengan lebih bijak mungkin dia sudah mencicil apartemen dan kendaraan sendiri, yang sekali lagi menurut saya (mungkin kamu juga setuju), lebih penting dari sekedar baju, sepatu, kaus kaki, dan lainnya yang dibubuhi suatu logo fancy di permukaannya.

Pernyataan saya bukan berarti saya tidak suka barang berkualitas, ya (biasanya brand itu adalah jaminan kualitas). Saya suka kok, tapi saya tahu diri. Kalau sanggupnya beli Uniqlo ya enggak usah maksain beli Zara. Kalau bisanya beli Zara, ya enggak usah maksain beli Massimo Dutti. Begitu seterusnya.

Kan kita semua waktu SD udah diajarin soal kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Memang sih baju itu termasuk di kebutuhan primer. Tapi kalau kamu beli baju bukan untuk sekedar menutupi tubuh melainkan untuk logo kecil yang buat baju itu harganya berlipat-lipat, tentu itu sudah masuk ke kebutuhan tersier dan seharusnya kebutuhan jenis ini tidak membuat kita keteteran dalam memenuhi klasifikasi kebutuhan yang lebih penting, terutama kebutuhan primer.

Oh, iya ada yang  lebih parah!! Demi tidak terganggunya kebutuhan primer, ada oknum yang memilih untuk hutang untuk beli barang-barang itu lewat kartu kredit. Memang sih fasilitas itu ada untuk dimanfaatin, tapi masa iya demi sepatu yang masa pakainya satu tahun kamu rela nyicil 24 bulan sih? Enggak malu kelilit utang terus padahal barangnya mungkin udah buluk?

Pesan saya sih intinya, jangan memaksakan diri. Iya betul memang barang branded itu bukan dilihat dari fungsi dan kualitasnya aja karena kadang bisa menaikkan gengsi seseorang, dan siapa yang tidak suka dipandang tinggi. Tapi percayalah:

1. Orang yang memandang kamu tinggi karena barang yang menempel di badan kamu tidak layak dijadikan teman.

2. Kalau orang tahu kamu pakai barang branded tapi kehidupan dasar kamu malah luntang-lantung, kamu malah akan dicap sebagai orang norak dan bodoh.

Tahu diri aja, segala sesuatu yang dipaksakan biasanya tidak baik.

Lagipula kalo ketemu calon mertua, mereka lebih senang kamu berpenampilan sederhana tapi punya apartemen meski subsidi pemerintah dan mobil sederhana tuh dibanding penampilan fancy tapi masih ngekos dan masih suka nebeng. Just sayin’.

Adelia: Kalau bisa, kenapa tidak?

Bukannya sombong atau sok kaya, tapi buat saya – dan banyak orang di sekitar saya  — barang bermerek (mahal) sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Iya, menggelontorkan uang jutaan rupiah untuk sebuah tas, memang terdengar absurd buat beberapa orang, apalagi financial planner. Kenapa enggak ditabung saja? Kenapa enggak buat nyicil rumah? Kenapa enggak buat investasi?

Well, kebutuhan orang kan berbeda-beda. And if it makes you happy, why not?

Tidak semua orang menganggap cicilan rumah itu penting. Bahkan, saya pernah baca katanya generasi millenial di Inggris (dan mungkin beberapa negara lain) adalah generasi “renter” alias penyewa. Alasannya, bukan hanya karena harga properti yang makin mahal, tapi juga ketidakinginan untuk terikat di suatu tempat. Kalau bisa menyewa rumah di Bali selama dua tahun, lalu pindah ke Istanbul tahun depannya, kenapa tidak?

Oke, kembali ke topik awal: membeli barang bermerek. Saya termasuk orang yang termakan bualan kalau barang bermerek adalah investasi. Tidak ada salahnya toh, menyicil tas seharga puluhan juta selama dua tahun, kalau di tahun ketiga kita sudah bosan dengan tas tersebut, kita masih bisa menjualnya dengan harga di atas 50% harga beli? Apalagi kalau kita bicara jam tangan. Bisa-bisa harganya tetap stabil dengan alasan barang tersebut vintage. Kita beruntung hidup di era dimana circular economy dan secondhand market sudah menjadi sesuatu yang diterima umum.

Investasi kedua menurut saya adalah kepada badan kita sendiri. Sering kali barang dengan merek terkenal dan harga mahal punya kualitas yang lebih baik, termasuk dalam pengaruhnya ke badan pemakai. Misalnya saja sepatu hak tinggi, merek terkenal biasanya punya bagian riset yang memastikan sepatu tersebut bisa menopang berat badang di titik yang sesuai sehingga tidak mengganggu tulang belakang atau punya bantalan khusus di bagian dalam sehingga lebih nyaman. Buat saya sih, lebih baik membayar lebih daripada tersiksa seharian.

Belum lagi masalah keawetan. Pertama, dari bahan yang lebih berkualitas. Kedua, dari after sales yang ditawarkan. Coach, misalnya, menawarkan layanan pembersihan kulit tas gratis seumur hidup. Jadi, sebenarnya kalau dihitung jangka panjang, ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan membeli tas dengan harga yang jauh lebih murah. Mama saya masih punya tas yang ia beli saat saya masih TK dan masih mengkilap hingga kini. Kalau melihat keawetannya, Mama saya tidak menyesal menghabiskan sebagian tabungannya dulu untuk membeli tas tersebut – plus, saya bisa pakai sekarang!

Masalah harga memang relatif. Intinya saya hanya ingin bilang, ada harga, ada kualitas. Tapi kembali lagi ke pintar-pintarnya kamu memilih merek dan memilih tempat berbelanja. Makanya, sering-sering melihat review barang sebelum membeli, dan yang terpenting, jangan terpaku dengan konter di mal, karena harga barang mereka jauh lebih mahal dibandingkan jika kamu membeli via jastip atau di online shop Instagram (tapi pastikan dulu kredibilitas mereka, ya!).

Beli barang bekas pun tak apa asal kondisinya masih bagus dan keasliannya terjamin. Banyak lho sosialita yang hobi membeli tas super mahal keluaran terbaru, lalu belum setahun sudah bosan. Nah, tinggal kamu cari tahu saja di mana mereka berada.

Nah, kalau ada yang suka komentar dengan pengeluaran “berlebih” untuk membeli barang mahal, ya sudahlah, cuekin saja. Toh bukan mereka yang membayari. Toh mungkin mereka tidak tahu bahwa — sebodoh apapun ini terdengar — masyarakat kita masih banyak yang menilai orang berdasarkan materi, dan terkadang yang bisa kita lakukan adalah dengan “pamer” agar dianggap serius (sekali lagi, itulah pentingnya untuk tahu tempat dan waktu yang tepat untuk membeli barang bermerek).

Toh mereka juga tidak akan peduli kalau mungkin barang-barang lucu yang sayangnya mahal ini bisa membuatmu senang – kalau fashion adalah passion-mu.

Yang penting, jangan sampai barang-barang tersebut mengganggu hidupmu saja. Jangan sampai bonus tahunanmu habis untuk membeli tas Hermes atau jangan sampai cicilan Louis Vuitton menghabiskan setengah gaji bulananmu. Kan sedih juga kalau tas mahal tapi cuma bisa makan mi instan setiap hari? Masa mau jual tas mu lagi untuk biaya rumah sakit? —Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!