RAMADAN YUMMY: Menikmati kelezatan keong khas Banyumas

Irma Mufilikhah

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

RAMADAN YUMMY: Menikmati kelezatan keong khas Banyumas
Butuh waktu hingga 5 jam untuk merebus keong yang akan dijual

BANYUMAS, Indonesia — Aroma rempah-rempah langsung menyeruak ke hidung saat keong masak dihidangkan di lapak pinggir dekat pasar Cikebrok, Purwokerto Timur, Banyumas, Jawa Tengah. 

Sebanyak 30 kilogram keong dipanaskan di dalam wajan jumbo berdiameter sekitar 1 meter di atas kompor. Akibat pemanasan itu, uap makanan terus mengepul hingga aroma bumbu menyebar ke segala penjuru sekitar lapak. 

Ratusan daun serai yang ditata memagari olahan keong bukan hanya mempercantik tampilan makanan, tetapi juga mempertajam aroma masakan hingga tercium wangi. 

Sambal cabai setan yang ditabur ke permukaan masakan membuat tampilan olahan itu bewarna, selain untuk pemedas.

Agung, pemilik warung, warga Kelurahan Kranji Purwokerto Timur, sesekali menyerok olahan keongnya hingga berbunyi akibat cangkang-cangkang keong yang saling bertumbukan. 

Pukul 15:00 WIB, hari mulai beranjak sore, meski terik masih menyengat, namun sejumlah pembeli sudah mengantre di lapak Agung. Hari itu, dagangannya pun laris manis. “Saya sudah dagang keong 10 tahun,” katanya.

Agung bukanlah pemain baru dalam bisnis musiman ini. Ia telah memulai usaha itu sejak 10 tahun silam. Setiap Ramadan hingga Syawal, ia rela meninggalkan profesi hariannya sebagai pedagang Cilok untuk beralih ke usaha tersebut. 

Tentu saja, Agung telah meraup banyak keuntungan dari berbisnis itu. Karena itu, ia bersama pedagang keong lain di Purwokerto tak pernah menyiakan kesempatan bisnis itu saat musim Ramadan tiba.  

Dua jenis keong

Keong Sawah selesai dimasak di dapur rumah Khamlani dan siap disajikan di warung. Foto oleh Irma Muflikah

Agung menjual dua jenis keong di lapaknya, Keong Rawa dan Keong Sawah. Keong Rawa dijualnya dengan harga lebih mahal, Rp 40 ribu perkilogram. Untuk Keong Sawah, ia membanderolnya seharga Rp 35 ribu per kilogram. 

Sekilas tidak ada beda pada dua jenis keong itu. Warna cangkang sama-sama coklat kehitaman. Hanya saja, Keong Rawa punya keunggulan pada dagingnya yang lebih tebal.  

Tetapi soal rasa, menurut Agung, bumbu atau racikan pengolahnya lah yang lebih menentukan. “Tergantung selera sih, mau Keong Rawa atau Sawah, cuma Keong Rawa dagingnya lebih tebal sehingga sedikit lebih mahal,” katanya.

Agung ternyata mendapatkan bahan baku keong bukan dari daerahnya sendiri. Bahan baku Keong Sawah disuplai dari Pemalang Jawa Tengah. Adapun Keong Rawa didapat dari daerah lebih jauh, Demak Jawa Tengah. 

Keterbatasan bahan baku jadi tantangan tersendiri bagi Agung dalam menjalankan bisnisnya ini. Ia bahkan sempat tak mendapatkan suplai Keong Rawa selama tiga hari karena stok bahan baku di pengepul kosong. 

Permintaan olahan keong yang terus meningkat membuat bahan baku itu semakin susah didapat. Maklum, dengan stok yang terbatas, berton-ton keong mentah itu harus dibagi ke sejumlah pedagang olahan keong di Purwokerto. Permintaan keong di Purwokerto saat Ramadan memang tinggi. Dalam sehari, Agung bisa menjual antara 50 kilogram sampai 1 kuintal keong masak ke pembeli. 

Pelanggannya beragam. Sebagian penggemar kuliner itu adalah warga lokal. Tetapi tidak jarang, warga luar kota pun kerap menyempatkan mampir ke lapaknya demi mencicipi kuliner tersebut.  Mereka adalah wisatawan, atau pemudik yang entah kebetulan atau sengaja melintasi wilayah Purwokerto. 

Menurut Agung, permintaan olahan keong mencapai puncaknya setelah Lebaran. Saat itu, banyak pelancong dari luar daerah datang ke Purwokerto untuk meramaikan berbagai objek wisata di Banyumas. 

Selain itu, banyak pemudik yang pulang ke Purwokerto tak menyiakan kesempatan mudiknya untuk mencicipi kuliner khas daerahnya itu. Belum lagi pemudik dari daerah lain yang mampir ke Purwokerto saat melintasi Banyumas dalam perjalanan arus baliknya. “Saya hanya libur dua hari pas hari-H Lebaran. Setelah itu buka lagi karena ramai,” katanya.

Lamanya proses memasak

Kusnani merebus Keong Sawah di wajan jumbo di rumahnya jalan Kauman Lama Purwokerto Timur Banyumas. Proses perebusan memakan waktu 5 jam. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler

Hari masih pagi, waktu buka puasa masih panjang, namun dapur milik Khamlani di rumahnya Jalan Kauman Lama Purwokerto Timur sudah sibuk dengan kegiatan memasak. Aroma keong yang hampir masak semerbak di ruang belakang. 

Tiga perempuan berbagi tugas untuk memasak Keong Sawah di dapur itu hingga siap dihidangkan. Khamlani, satu-satunya pria di dapur itu bertugas melubangi ujung cangkang keong untuk mematikan hewan tersebut sekaligus menghilangkan kotorannya. 

Giliran sang istri, Kusnani menanak keong itu pada wajan berdiameter 1 meter. Wajan jumbo itu mampu menampung 20-an kilogram keong sekali masak.   

Di lapak rumah depan, pelanggan sudah mengantre untuk memesan olahan keong yang disajikan hangat. 

Memasak keong ternyata bukan pekerjaan sederhana. Keong mentah yang baru didapat dari pengepul tidak bisa langsung dimasak. Setelah dilubangi ujung cangkangnya, keong harus direndam dulu semalaman untuk menghilangkan lendir atau racun yang mungkin tersisip di tubuh keong. 

Terlebih habitat keong adalah sawah yang sudah banyak terkontaminasi racun pestisida.  Setelah direndam, keong lalu dicuci bersih sebelum dimasak di atas tungku. Khamlani mengklaim keunggulan olahan keongnya terletak pada bumbunya yang meresap kuat pada daging keong. 

Pantas saja, hampir seluruh bumbu dapur, mulai dari bawang, kemiri, laos, jahe,  kunir, salam hingga cabai dipakai untuk melezatkan makanan tersebut. “Persis bumbu rica-rica lah, banyak rempah-rempahnya, cuma enggak pakai lada dan merica,” katanya.

Proses merebus keong ternyata juga butuh waktu lama. Kusnani mulai memasak keong sehabis subuh, pukul 05:00 WIB, hingga keong benar-benar matang pukul 10:00 WIB, atau sekitar lima jam.  Proses yang lama itu dibutuhkan untuk memastikan daging benar-benar lunak, serta bumbu merasuk ke daging dan kuah. 

Khamlani mulai merintis usaha itu tahun 1995, saat penjual keong belum seramai sekarang. Kala itu, ia hanya membuka lapak setiap kali Ramadan datang dan menutupnya saat musik mudik berakhir. 

Permintaan keong nyatanya terus meningkat seiring dengan gencarnya pemberitaan media massa terhadap kuliner khas tersebut. Hingga ia memutuskan untuk membuka warungnya setiap hari. Meski di hari-hari biasa permintaan keong tak begitu tinggi. Ia hanya mampu menjual 20-an kilogram keong saat hari normal. 

Namun permintaan melonjak tajam, hingga 500 persen pada bulan Ramadan dan 10 hari pertama bulan Syawal. Pada momentum itu, setiap hari tak kurang dari 1 kuintal keong ludes diserbu pelanggan. “Jam 3 sore biasanya sudah habis, tinggal yang pesanan-pesanan,” katanya.

Khamlani menjual keong sawah seharga Rp 40 ribu per kilogram. Pelanggan bisa juga memesan perporsi seharga Rp 15 ribu. 

Sama halnya pedagang lain, kendala Khamlani dalam menjalankan bisnis ini adalah keterbatasan bahan baku. Tidak semua jenis keong yang ada di sawah bagus untuk dimasak. Untuk mendapatkan bahan baku itu, ia masih mengandalkan suplai dari luar daerah, yang masih melimpah untuk jenis keong sawah itu. 

Laris manis di bulan Ramadan

Sampai pekan kedua bulan Ramadan ini, Khamlani masih mampu melayani permintaan palanggan rata-rata 1 kuintal keong per hari. Tetapi dia tidak yakin pada lebaran nanti mampu melayani permintaan yang pasti naik karena banyak pemudik dan pelancong bertandang ke Purwokerto. 

Rumi, warga Arcawinangun Purwokerto Timur Banyumas mengaku gemar makan keong. Menjelang sore itu, ia telah mengantre untuk membeli keong di warung milik Khamlani. Satu kilogram keong dirasanya cukup untuk memenuhi hasrat makan dia dan dua anggota keluarganya lain. 

Ia membelinya sebagai menu berbuka puasa.  Keong memang jadi menu spesialnya saat bulan Ramadan. Tetapi di hari biasa pun ia mengaku kerap membelinya karena sudah terlanjur hobi. Bagi dia, daging keong terasa gurih, di banding masakan lain. Untuk olahannya, ia punya selera sendiri, yakni cita rasa bumbu rempah yang merasuk kuat hingga ke daging. “Saya memang suka sih, kalau hari biasa pun beli,” katanya.

Menikmati keong ini pun ada caranya tersendiri, tak seperti masakan olahan lain. Penikmat harus menyedot lubang cangkang hingga daging yang tersembunyi di dalam keluar dan menempel di lidah. 

Kuah bercampur bumbu rempah yang terselip di cangkang ikut tersedot hingga memperkuat rasa. Cara ini tentu melahirkan sensasi terasndiri bagi penikmatnya karena butuh usaha untuk memakannya. 

Cara lainnya adalah dengan menggunakan alat bantu semisal tusuk gigi untuk mengambil daging yang masih melekat pada cangkang. Tak perlu jijik melahap daging keong yang belum dipisahkan dari cangkangnya ini. Masakan ini sudah melalui proses panjang pengolahan sehingga dijamin bersih. Yang jelas, sensasi rasa keong masak dijamin bisa membuat pecinta kuliner ketagihan.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!