Bincang Mantan: Via Vallen, netizen dan (lagi-lagi) pelecehan seksual

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bincang Mantan: Via Vallen, netizen dan (lagi-lagi) pelecehan seksual
Terima kasih Via Vallen, karena sudah menjadikan isu pelecehan lebih relevan

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius

 Adelia: Terima kasih, Via Vallen!

Seminggu terakhir ini media dan media sosial dengan percakapan mengenai Via Vallen. Seandainya saja topiknya tentang lagu baru Mbak Via (because don’t we all need to get Sayang out of our brain by now?), tapi sayangnya tidak. Topiknya adalah pelecehan seksual yang ia alami, laporkan di media sosial, dan menjadi bahan keributan netizen.

Unless you’re Patrick Starr living under a rock, kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi. Buat saya, saya sudah ndak paham sama netizen Indonesia dan segala cuitan maha benarnya. Banyak sekali hal yang bermasalah dari ribut-ribut ini.

Pertama, ternyata kita masih terkena dampak feodalisme, ya? Buktinya, masih banyak yang membenarkan apa yang dialami Via hanya karena pelakunya bule dan ‘ganteng’ atau yang anehnya “Ah itu kalau di luar negeri kan juga enggak apa-apa”. Permisi nih mbak, mengutip Ika Natassa, “Macam pernah tinggal di sana aja kau bilang biasa” — iya biasa kalau ada consent, alias dua-duanya mau, kalau sepihak mah enggak normal!

Kedua, ternyata masyarakat kita masih sangat seksis. “Ah kan cewek biasa digituin, kok manja banget sih?” — terserah kalau kamu ‘biasa’ digituin, tapi bukan berarti itu sesuatu yang baik dan normal kan? Makan Indomie 5 bungkus per hari juga ‘biasa’ buat beberapa orang, tapi bukan berarti itu baik dan wajar. Bisa mati kamu.

Ketiga, masyarakat Indonesia terlalu apologis, tidak tahu batasan ‘sopan’, sampai-sampai ada yang bilang “harusnya pesan mesum dari pelaku jangan diumbar-umbar, harusnya Mbak-nya bisa lebih menjaga, publik enggak perlu tahu”. Loh, kok malah ngajarin korban? Sudah jadi korban, masih juga diomelin? Kenapa enggak omelin pelakunya? Atau malah yang lebih parah, bilang kalau “Cuma di-DM nakal aja kok pelecehan”.

Begini ya, yang namanya salah ya tetap salah, memangnya harus diperkosa lalu dibunuh dulu baru seseorang baru boleh bicara?

Ini nih, yang paling nyebelin. Masih aja victim blaming. Masih aja nyalahin bajunya, pofesinya, atau apapun yang bisa disalahkan. Yang salah attitude-nya, budaya yang ‘melegalkan’ pelecehan. Kalau cuma masalah baju, kalian pikir di Timur Tengah, yang perempuannya pakai cadar dan baju super besar, tidak ada pelecehan?

Tapi, buat saya, yang paling menyedihkan adalah ucapan-ucapan sinis dari sesama perempuan.

Kalau perempuan saja meremehkan dan menormalkan pelecehan, kamu berharap laki-laki mau ikut dukung isu ini dan membantu merusak rape culture?

Kalau perempuan saja bisa menyalahkan korban atau berdalih di balik alasan “Ah, mereka saja belum pernah mengalaminya” sebagai pembenaran bagi kaum apatis lainnya, memangnya kamu tidak punya hati sampai tidak bisa empati? Memangnya harus ibumu dulu dicolek oleh supir angkot baru kamu peduli dengan isu pelecehan?

Kalau kamu berdalih “Ah, cuma begitu saja kok manja”, saya sudah tidak tahu harus berkata apa. Mungkin kamu sudah tidak punya hati, mungkin kamu tidak pernah mengerti kalau penderitaan itu subjektif, atau mungkin hidupmu sudah begitu susahnya sampai selalu sinis pada orang lain.

Yang paling menyakitkan adalah ketika saya sadar ucapan-ucapan sinis ini seakan-akan menjadi pembenaran dan penerimaan kalau perempuan memang diciptakan untuk direndahkan.

Orang-orang sinis seperti ini adalah alasan mengapa korban, baik laki-laki atau perempuan, tidak berani untuk melaporkan  pelecehan yang mereka alami — ditambah lagi perasaan malu, bukti yang sulit ditunjukkan, dan stigma sosial (data dari Yayasan Pulih).

Tapi, saya tidak mau cuma ngomelin orang yang ngomelin Via Vallen. Saya ingin menyelipkan ucapan terima kasih pada Via yang sudah menjadi pahlawan bagi perempuan, atau paling tidak, bagi saya.

Terima kasih telah berani angkat suara (and no thanks to you, NM yang menganggap harusnya perempuan santai saja kalau ada yang ‘aneh-aneh’). Terima kasih karena tidak mau puas dengan ucapan “Perempuan mah biasa digituin” apalagi “Enggak apa-apa lah genit, kan bulenya ganteng”. Terima kasih (dan maaf) kamu harus mengalami hal tidak mengenakkan untuk akhirnya masyarakat mau membahas lagi masalah ini.

Terima kasih, Via, sudah menjadikan isu pelecehan lebih relevan, karena mungkin selama ini tagar #MeToo dan International Women’s March belum cukup sampai ke kalangan biasa. 

Terima kasih juga telah membuat saya juga belajar kalau Indonesia masih jauh kesadaran sosial, tapi bukan berarti sudah tidak ada harapan — paling tidak dari pertentangan di media sosial yang mau membela Via dan hak perempuan pada umumnya. Paling tidak, masih ada orang waras di negeri ini.

Yang terpenting, terima kasih telah membela diri dan mejadi inspirasi bagi Vianisti, terutama yang perempuan, untuk tidak puas dengan keadaan sekarang dan bahwa perempuan tidak bisa direndahkan seenaknya. Via Vallen, you are not the hero we wanted, but the hero we needed.

Bisma: Pesan untuk para laki-laki di luar sana

Belakangan ini jagat media sosial diramaikan berita adanya seorang perempuan, yang kebetulan seorang public figure, yang mendapatkan pelecehan seksual di sosial medianya, dan sayangnya ternyata masih banyak orang Indonesia yang belum bijak dan sensitif dalam menanggapi kejadian macam ini. 

Tidak sedikit lho yang malah bersikap nyinyir dan malah komentar “Ya pantes aja, dia kan penyanyi dangdut”.

Miris banget denger komentar macam itu yang seakan memberikan justifikasi atas pelecehan apapun bentuknya!!

Kalau menurut saya, apapun kondisinya, yang namanya pelecehan seksual yang salah ya pelakunya. Bukan korbannya. Ini berlaku apapun keadaannya. Mau itu perempuan penyanyi dangdut, penyanyi keroncong, penyanyi jazz, pake baju minim, baju syari, baju renang, apapun keadaannya jika mereka dilecehkan, mereka tidak salah. Yang salah ya laki-lakinya.

Ada komentar yang bilang “Ya, siapa suruh pakai baju mengundang?”

Enggak ada urusannya sama baju. Ada museum di Brussels, Belgia yang memamerkan baju yang digunakan para korban pelecehan seksual ketika kejadian nahas itu menimpa mereka. Apakah isinya baju seksi? Jawabnya tidak!!

Dari berita yang saya baca, di sana baju yang ditampilkan tuh biasa banget. Dari polo shirt, t-shirt dan jeans, dress, kaus lengan panjang, bahkan kostum Tinkerbell yang dipakai anak korban pelecehan.

Jadi, masih mau nyalahin bajunya?

Tidak. Yang perlu disalahin ya laki-lakinya yang memang dari awal tidak punya moral dan harga diri sebagai laki-laki. Kita itu seharusnya memandang semua wanita, saya tegaskan lagi, semua wanita, ya sebagai wanita yang harus dihormati.

Jangankan penyanyi dangdut yang merupakan pekerjaan halal, pencuri wanita pun harus tetap kita hormati kehormatannya.

“Ah kan ini cuma chat aja via DM, santai aja lah harusnya ini kan bercanda”. Coba kamu bayangin ibu kamu, istri kamu, pacar kamu, adik kamu, anak kamu, dapat DM yang melecehkan gitu. Masih bisa santai? Masih bisa anggap bercanda?

Di sini saya masih berpegang dengan ungkapan “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan”. Apa sih susahnya being nice to others? Apa sih susahnya menghormati orang lain? Apa sih susahnya nahan hasrat komen enggak penting yang arahnya malah melecehkan?

Di lubuk hati yang terdalam kita pasti tahu kok apa yang benar dan salah untuk dilakukan. Pasti. Tidak ada manusia yang terlahir untuk jahat dan untuk menyakiti orang lain.

Please untuk semua laki-laki di luar sana, sebelum berlaku tidak pantas ke orang lain apalagi wanita, bayangin deh kalau orang terdekat kita digituin! Atau, sebelum ngapa-ngapain hitung dulu sampe 10 sambil berpikir dampak dari apa yang mau kamu lakukan. Udah melakukan itu semua tapi tetap masih pengin? Mending ke psikolog, psikiater, atau polisi aja sekalian karena ada yang salah sama kamu.

—Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!