Prediksi paruh musim Liga Primer: Menemukan kembali sepak bola yang hilang

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Prediksi paruh musim Liga Primer: Menemukan kembali sepak bola yang hilang

AFP

Para pelatih menyuntikkan gairahnya. Sepak bola pun kembali ke nilai-nilai asal.

 

JAKARTA, Indonesia — Liga Primer musim 2016-2017 lebih tepat disebut sebagai musim dimana tim-tim besar menemukan kembali dirinya. Mereka telah mampu mengembalikan sepak bola kepada nilai-nilai dasarnya: kesenangan dan kegairahan. 

Ambil contoh Liverpool. The Reds semakin solid dengan karakter baru yang disuntikkan Juergen Klopp. Di musim keduanya di Inggris ini, doktrin lelaki asal Mainz itu tersebut mulai merasuk ke alam bawah sadar para pemain. 

Tak heran jika tim yang selalu disebut terlena oleh kejayaan masa lalu itu kini tampil bak serdadu yang sedang mempertahankan benteng terakhirnya. 

Di hampir setiap pertandingan, mereka menyerbu kotak penalti lawan dengan sebanyak mungkin pemain dan membanjiri gawang dengan serbuan tembakan. 

Semangat gegen pressing yang dibangun sejak paruh musim lalu itu mulai menemukan konsistensinya musim ini. Hal itu terlihat dari statistik tembakan The Kop. Rival abadi Everton tersebut kini adalah klub kedua yang mencatatkan shot on target terbanyak (115 tembakan) setelah Tottenham Hotspur (120 tembakan). 

Bahkan, total tembakan mereka juga termasuk di jajaran tertinggi. Catatan tembakan mereka mencapai 212 tembakan. Hanya berselisih satu tembakan dari Manchester City di posisi kedua dan—lagi-lagi Spurs—di posisi pertama dengan 228 tendangan.

Menanti kudeta terbesar dalam 27 tahun

Gairah meledak-ledak Klopp kini menjadi atmosfer baru di Anfield. Aroma cadas mulai merasuk di semua nyawa yang terlibat di lapangan. 

“Ada tim yang suka menguasai bola dan melakukan umpan-umpan indah. Mirip orkestra. Tapi lagunya sunyi. Saya lebih suka heavy metal,” katanya dalam sebuah wawancara yang dikutip Telegraph

Semangat yang berkobar-kobar itu pula yang membuat Liverpool tak tersentuh kekalahan sekalipun di Anfield. Bahkan hanya 2 kali mereka ditahan seri di depan para Kopites. 

Dan jika stadion sudah kembali pada keangkeran yang telah lama hilang, siapa bisa menghentikan raksasa yang baru bangun dari masa semaput yang lama? 

Tercatat, 2 kali pasukan pimpinan Jordan Henderson itu memimpin klasemen. Bahkan kini mereka hanya berselisih 2 kemenangan dari Chelsea. Mereka konsisten menjadi pemburu gelar dalam 10 pekan terakhir. Tak pernah terlempar dari empat besar klasemen sementara sejak pekan kedelapan.

Wajar jika harapan melambung tinggi. Mirip seperti tiga musim lalu dimana mereka begitu dekat dengan gelar juara Liga Primer—meski secara menyakitkan harus finis sebagai runner up dan melihat Manchester City meraih gelar bersama Manuel Pellegrini. 

Tapi situasi kali ini berbeda. Liverpool di era Brendan Rodgers tersebut terlalu bergantung pada Luis Suarez. Jika di musim itu Suarez mendominasi dengan 31 gol, kali ini kontribusinya lebih merata. 

Liverpool adalah tim dengan sebaran pencetak gol yang cukup banyak, yakni 12 pemain. Bandingkan dengan Chelsea yang hanya 10 pemain. Atau Arsenal yang hanya 9 pemain. Sebaran kontribusi gol itu hanya bisa disamai Manchester City. 

Dan posisi para pencetak gol Liverpool tersebut tidak melulu dari pos striker. Justru 30 gol mereka dicetak para pemain tengah. Para ujung tombak hanya menyumbang 11 gol. 

Statistik tersebut menunjukkan bahwa Liverpool lebih memiliki kolektivitas. Bahwa kualitas pemain utama dan para penggantinya tidak memiliki jarak yang mencolok. Tak ada one man show. Tentu saja, mereka jauh lebih bisa konsisten tanpa perlu khawatir pada hantu cedera. 

Kini, mereka tinggal menunggu tim biru terpeleset dalam 20 laga sisa. Dan jika itu terjadi, para pekerja dan buruh di kota pelabuhan itu akan bersorak menyambut kudeta terbesar yang sudah dinanti sejak 27 tahun lamanya. 

Chelsea mengejar keajaiban Natal 

Tema yang sama juga terjadi di Chelsea. Mereka menemukan kembali kegairahan terhadap sepak bola bersama Antonio Conte. Rasanya, tidak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan lalu para pemain yang ogah-ogahan bertarung di lapangan seperti Cesc Fabregas, Eden Hazard, Diego Costa, dan Nemanja Matic bakal menjadi bintang dalam satu kelebatan malam.

Dan tema penemuan kembali identitas tersebut muncul dalam formasi 3-4-3. 

Sejak berubah ke sistem permainan tiga bek itu, Chelsea mencatatkan streak alias kemenangan beruntun sepanjang 12 laga dan hanya kebobolan 2 gol. Kemenangan beruntun itu mengantar mereka menjadi pemuncak klasemen sepanjang 6 pekan.

Memimpin klasemen di tengah perayaan Natal jelas memiliki makna tersendiri bagi klub London Barat tersebut. Sebab, tradisi berkata bahwa jika Chelsea memuncaki klasemen hingga Natal, mereka akan bablas menjadi juara. Itu terjadi pada Natal 2004, 2005, 2009, dan 2014. 

Bagaimana dengan Natal 2016? 

Posisi mereka di puncak klasemen tak tergoyahkan. Selisih mereka cukup aman. Mereka berjarak 6 poin dari Liverpool di peringkat kedua. Namun, kompetisi masih panjang. Masih ada 20 pertandingan tersisa. Memastikan Chelsea bakal meraih gelar juara Liga Primer musim ini bisa dianggap sebagai penistaan terhadap takdir. 

Dalam 20 laga sisa tersebut, masih ada urusan yang harus diselesaikan Chelsea. Yakni tim-tim yang di putaran pertama mengalahkan John Terry dan kawan-kawan dengan telak. Mereka adalah Arsenal yang menang besar 3-0 atas Chelsea di Emirates Stadium. Dan Liverpool yang mengalahkan mereka 2-1 di depan batang hidung fans biru. 

Selain itu, Chelsea sejatinya punya masalah dalam kedalaman skuat. Produksi gol mereka sangat bergantung pada Eden Hazard dan Diego Costa. Kehadiran penyumbang gol lain seperti Pedro Rodriguez pun baru muncul belakangan setelah lebih banyak dimainkan sejak awal. 

Catatan statistik dari Transfer Markt menunjukkan, Chelsea termasuk tim yang paling sedikit menggunakan pemainnya. Total pemain yang dimainkan sepanjang musim ini hanya 20 pemain. Artinya, minute play hanya berkutat pada pemain tertentu.

Bandingkan dengan Manchester City yang menggunakan 24 pemain berbeda sepanjang 20 laga. Atau juga dengan Liverpool dan Spurs yang masing-masing 23 pemain. 

Antonio Conte memang enggan beralih dari the winning team. Bahkan, pemain bintang seperti Cesc Fabregas baru mulai dilibatkan dalam 3-4 laga terakhir. 

Saat Diego Costa absen melawan Bournemouth Senin, 26 Desember lalu pun, dia tidak memilih Michy Batshuayi sebagai ujung tombak pengganti Costa. Dia tetap “memaksa” memainkan pemain lama dengan adaptasi formasi. Caranya dengan memasang Eden Hazard sebagai penyerang lubang alias false nine.

Strategi Conte tersebut bisa berujung petaka jika lebih dari dua pemain andalannya cedera. Lini tengah mereka memang masih cukup aman dengan kembalinya performa Fabregas. Dia bisa menjadi pengganti saat salah satu dari dua gelandang, Nemanja Matic dan N’Golo Kante, cedera. 

Tapi, bagaimana jika Costa, Hazard, dan Pedro kompak absen? Perahu Chelsea yang kecil terancam oleng. 

Masalahnya, tak ada “badai” yang bisa menggoyahkan Chelsea. Mereka diuntungkan karena tak bermain di kompetisi Eropa. Para pemain punya waktu recovery yang cukup. 

Meskipun begitu, Conte tak lantas tinggal diam. Dia memahami, tim rawan tergelincir di tengah kompetisi. Karena itu, mantan pelatih Juventus itu sedang berburu pemain anyar untuk jendela transfer Januari ini. Tujuannya, menguatkan the winning team

Sektor yang menjadi pembenahan adalah lini depan dan lini belakang. Karena itu, sejumlah nama sempat dikaitkan dengan Chelsea. Mereka di antaranya gelandang serang Real Madrid James Rodriguez, Antoine Griezmann, hingga bek Middlesbrough Ben Gibson. 

Tanpa rekrutan anyar, kemalangan di tengah perburuan gelar bisa menggagalkan tahta juara di depan mata. Tentu Conte tak menginginkan itu. Apalagi Roman Abramovich. Hanya gelar juara yang bisa mempertahankan kursi juru taktik Italia itu di Stamford Bridge. 

Tetangga berisik kurang bising

 

 

Jika tim-tim di atas berhasil menemukan kembali sepak bola, tidak demikian halnya dengan Manchester United. Bersama siapapun pengganti Sir Alex Ferguson, atmosfer tim selalu negatif. David Moyes, Louis van Gaal, hingga sekarang Jose Mourinho. 

Tak ada satupun dari mereka yang mampu benar-benar menginjeksikan semangat baru terhadap Setan Merah. Tidak juga kehadiran para pemain mahal seperti Paul Pogba. 

Manajer United, Jose Mourinho, juga seperti kehilangan kegairahannya. Sejak kehilangan kepercayaan pemain di Chelsea musim lalu, lelaki Portugal itu terlihat masih sulit merebut kembali panggungnya. Loyalitas para pemain yang menjadi senjatanya di semua klub lamanya seperti menguap di Old Trafford. 

Para pemain tidak bertarung dengan kebanggaan. Mereka tampil di lapangan seperti seorang buruh yang hanya ingin sekadar memenuhi kewajiban jam kerja. 

Mental negatif tanpa antusiasme itu pula yang berakibat pada proses recovery yang cukup lama. Sejak kalah 0-4 dari Chelsea, perlu 5 laga bagi United untuk kembali mengukir 5 streak. Kondisi tersebut jelas tidak menunjukkan mentalitas tim pemburu gelar. 

Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi pada rival dekat mereka, Manchester City. Tetangga berisik itu hanya membuat gaduh di awal musim. Kini, mereka juga dijangkiti situasi yang sama. Kalah beruntun dari Chelsea 1-3 dan 2-4, mereka baru bisa kembali meraih streak dalam 3 laga terakhir. 

Padahal, di awal musim, manajer City Pep Guardiola digadang-gadang bakal langsung meraih gelar juara. Ternyata ekspektasi publik terlalu tinggi. Kompetisi yang ketat jelas tak pernah dia hadapi saat menukangi Barcelona dan Bayern Muenchen. 

Di Jerman dan Spanyol, dia hanya perlu mengatasi satu atau dua tim dengan serius untuk meraih gelar juara. Benar-benar nyaman untuk seseorang yang gemar bereksperimen di lapangan hijau. 

Di Inggris, bahkan tim promosi pun bisa mencuri poin darimu. 

“Dia pelatih yang arogan. Merasa bahwa filosofi sepak bolanya adalah yang terbaik,” kata Peter Schmeichel mengkritik performa City saat keok 1-4 dari juara bertahan tersebut. 

Padahal, Liga Primer adalah kompetisi yang berbeda. Semua tim selalu menjadi ancaman. Karena itu, ruang eksperimen sangat sempit. Tak ada waktu untuk coba-coba. 

Jika memaksakan diri, hasilnya bisa buruk. Misalnya, seorang penjaga gawang yang lebih mampu menjadi bek daripada menangkap bola bisa membuatmu kebobolan 20 gol dalam 18 laga. Catatan pertahanan terburuk di antara tim-tim yang duduk di lima besar klasemen sementara.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!