Liverpool vs Chelsea: Terancam terus terpuruk

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Liverpool hanya punya Liga Primer setelah tersingkir di Piala FA dan Piala Liga.

 Pemain Liverpool, Emre Can, meratapi kekalahan timnya oleh Wolverhampton Wandereres dalam putaran keempat Piala FA pada 28 Januari 2017. Foto dari Twitter/@LFC

JAKARTA, Indonesia — Sebagai klub yang pernah jaya di eranya, sedikit saja tanda bakal juara sudah mampu membuat girang para pendukung Liverpool. Memori kehebatan masa silam langsung diputar. Lagu-lagu kebangkitan kembali dinyanyikan. 

Tak peduli berapa kalipun harapan itu akhirnya pupus, para Kopites bakal segera melupakan trauma-trauma kegagalan. Untuk kemudian mengisinya kembali dengan harapan. Terus begitu berulang kali.

Meski dalam hati kecil terkadang muncul juga keraguan: jangan-jangan kejayaan itu hanya sekali terjadi pada suatu masa. Dan takkan mungkin berulang. 

Liverpool adalah sebuah kisah di mana keajaiban pernah terus hadir di setiap pertandingan. Tapi sekali ia hilang, keajaiban itu tak pernah lagi kembali. 

Era Liga Primer menjadi saksi betapa mereka beberapa kali begitu dekat dengan gelar juara. Terakhir, pada musim 2013-2014, The Kop memimpin klasemen di pekan ke-32 hingga 35. Hanya tiga laga menuju gelar juara. 

Sepak bola pun hampir saja kembali ke kota pelabuhan itu sebelum Stamford Bridge menyaksikan Steven Gerard terpeleset dan gawang mereka dibobol seorang penyerang berkulit hitam yang namanya sudah mulai dilupakan papan skor. 

Periode Liga Primer bagi Liverpool adalah masa di mana harapan diapungkan begitu tinggi. Untuk kemudian dihempaskan begitu kerasnya jauh ke dasar tanah. 

Hanya punya Liga Primer

Harapan itu kembali terbang dengan kehadiran Juergen Klopp. Pada pertengahan musim ini, mereka menjadi satu dari dua tim yang konsisten menempel penguasa klasemen sementara. Pemuncaknya, lagi-lagi, musuh yang tiga tahun silam menggulingkan mereka dari singgasana: Chelsea. 

Kemenangan melawan Manchester City pada 31 Desember lalu membuat mereka begitu dekat menempel anak-anak Antonio Conte. Hanya berjarak 2 kemenangan. Tapi, apa yang terjadi sesudahnya, seperti mengulangi pola takdir yang kerap terjadi pada mereka: seri dua kali dan justru kalah 2-3 dari Swansea membuat mereka terpental dari perburuan gelar. Posisi mereka digantikan Arsenal.

Liverpool yang sebelumnya menempel dengan selisih 6 poin kini menjauh menjadi 10 poin. 

Musim memang masih menyisakan 16 laga. Menganggap peluang gelar Liverpool sudah habis jelas mendahului suratan takdir. Tapi, percaya bahwa mereka akan mampu mengubah keadaan adalah suatu bentuk kepercayaan diri yang berlebihan. 

The Reds memang konsisten mengalahkan tim-tim besar. Mereka pernah melibas Arsenal, Chelsea, hingga Manchester City. Tapi sekali kalah, penderitaannya terjadi di fase-fase krusial. Misalnya, kekalahan dari Wolverhampton—klub yang berlaga di kasta kedua Liga Inggris, Championship—membuat mereka terdepak dari Piala FA. Sedangkan kekalahan dari Southampton menjadikan rival sekota Everton itu undur diri dari Piala Liga. 

Begitu juga di Liga Primer. Ketangguhan mereka melawan tim-tim besar tak ada bekasnya sama sekali saat The Reds dibekuk Bournemouth 3-4 dan Swansea 2-3. Dua tim yang mimpi terbesarnya hanyalah bagaimana caranya agar tidak terdegradasi. 

“Kalah dalam tiga laga beruntun membuat kami rasanya seperti tim di bawah rata-rata,” kata Klopp seperti dikutip BBC. “Tapi, lebih baik kalah di tiga kali di tiga kompetisi berbeda dibanding kalah tiga kali beruntun di satu kompetisi yang sama,” imbuh mantan pelatih Mainz dan Borussia Dortmund tersebut.

Pernyataan terakhir Klopp mengindikasikan satu hal besar: keinginan untuk  menghentikan tren kekalahan mereka. Tapi ambisi tersebut bakal bertemu tembok besar. Mereka harus menghadapi tim paling konsisten dan magis musim ini, Chelsea, di Anfield, Rabu, 1 Februari pukul 03.00 WIB dini hari. 

Antonio Conte, manajer Chelsea, menyebut Liverpool dalam kemarahan yang besar. Sebab, nyawa mereka kini hanya ada di Liga Primer setelah Piala FA dan Piala Liga lepas dari genggaman. Sesuatu yang harus diwaspadai John Terry dan kawan-kawan.

“Kami masih bisa lolos ke Liga Champions jika mengerahkan segala yang kami bisa,” kata Klopp. 

Kemarahan memang bisa jadi cuma satu-satunya yang diandalkan Liverpool. Para pemain kesayangan Klopp sedang absen. Danny Ings tak bisa dimainkan. Sedangkan Nathaniel Clyne dan Adam Lallana diragukan bisa tampil. Sementara andalan di lini depan, Sadio Mane, belum tentu bisa 100 persen karena baru tiba di Inggris usai mengikuti Piala Afrika. 

Situasi tersebut bisa menyulitkan mereka dalam menjaga posisinya di empat besar. Sebab, Manchester City bisa sewaktu-waktu menggeser Jordan Henderson dan kawan-kawan setiap kali mereka gagal menang. 

Bagi Conte, laga melawan Liverpool adalah salah satu titik penentu gelar juara. Kemenangan bakal membawa mereka semakin jauh melesat di puncak klasemen. Apalagi di putaran pertama, mereka dikalahkan Liverpool 1-2. 

“Sejak kekalahan itu, kami telah berubah dan berevolusi menjadi lebih baik lagi. Dalam hal identitas dan karakter. Melawan tim tangguh memang sulit. Tapi sekali kami menang, kepercayaan diri kami akan melambung tinggi,” kata Conte.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!