Sulitnya mencari pengganti Susi Susanti

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sulitnya mencari pengganti Susi Susanti

AFP

Mengapa prestasi bulu tangkis putri tertinggal jauh dari putra?

JAKARTA, Indonesia — Nama Indonesia di kancah bulu tangkis dunia memang selalu menjadi perhitungan. Lagu Indonesia Raya sering kali dikumandangkan di berbagai turnamen internasional. Yang terakhir adalah kemenangan pasangan ganda putra Marcus Gideon/Kevin Sanjaya yang berhasil meraih gelar juara di All England dan Malaysia Open.

Berbeda dengan putra, para atlet putri belum menunjukkan prestasi yang berarti. Kurangnya prestasi tim putri menjadi perhatian banyak pihak, pasalnya Indonesia pernah menjadi yang terbaik selama bertahun-tahun di era 90an berkat kehadiran Ratu Bulu Tangkis: Susi Susanti.

Nama Susi Susanti hingga kini belum tergantikan. Sebab, sejak era Susi berakhir sampai sekarang, Indonesia belum sekalipun menjuarai Olimpiade di sektor tunggal putri. Prestasi tertinggi diraih oleh Maria Kristin Yulianti yang mendapatkan medali perunggu pada Olimpiade 2008. Bahkan pada Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil, Indonesia yang diwakili Lindaweni Fanetri gagal lolos dari babak penyisihan.

Dalam turnamen Piala Uber prestasi tim putri juga tertinggal dari putra di Piala Thomas. Tim putra juara Thomas terakhir kali pada 2002, dan sempat menjadi Runner-up pada 2010 dan 2016. Sementara tim putri terakhir kali juara pada tahun 1996 dan bahkan sempat tidak lolos kualifikasi pada Piala Uber tahun 2006.

Piala Thomas adalah turnamen bulu tangkis beregu khusus untuk putra, sementara Uber khusus untuk putri.

Prestasi Indonesia di Piala Thomas dan Piala Uber sejak tahun 1990

Sulitnya mencari putri berbakat

Kurangnya prestasi tim putri diawali dari sedikitnya talenta yang dapat diasah menjadi juara dunia. Mantan pebulutangkis Taufik Hidayat mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena jarang perempuan dengan postur yang sesuai memutuskan untuk menjadi atlet.

“Sekarang di Indonesia, cantik sedikit, tinggi, memilih jadi model, enggak mau jadi atlet,” ujar Taufik saat ditemui usai penyambutan pulangnya tim Indonesia dari All England bulan Maret lalu.

Tak hanya Taufik, sang ratu bulu tangkis Susi Susanti juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, banyak perempuan berbakat yang bisa berprestasi di bulu tangkis memutuskan untuk tidak menjadi atlet dan lebih memilih berkarir di dunia hiburan.

Setidaknya, menurut Susi, ada tiga faktor utama yang menyebabkan banyak perempuan mengurungkan niatnya menjadi atlet, khususnya di bulu tangkis. Pertama karena masa depan yang belum pasti jika dibandingkan dengan pekerja kantoran atau di dunia hiburan yang bisa mendapatkan pemasukan lebih besar.

Kedua, karena adat ketimuran mengesankan bahwa perempuan lebih baik melakukan hal-hal yang terkesan feminim. “Kalau jadi atlet itu kan image-nya kasar, jadi kayak cowok, tomboi,” ujar Susi saat dihubungi Rappler pada akhir Maret lalu.

Hal ketiga yang juga menjadi penyebab sedikitnya calon juara bulu tangkis yang bisa diasah adalah, pengorbanan menjadi atlet yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dilakukan seseorang untuk sukses di dunia hiburan.

“Biasanya yang muka cantik, badannya cantik, lebih gampang, mungkin dengan ikut idol [ajang pencarian bakat] saja, dalam waktu seminggu bisa langsung populer. Dengan modal sms yang banyak, nangis-nangis sedikit, itu lebih cepat terkenal. Sedangkan kalau untuk menjadi atlet itu kan prosesnya cukup banyak, cukup lama, dan cukup panjang.”

Susi menjelaskan bahwa meskipun atlet putri yang berbakat lebih sulit ditemukan, namun dalam pembinaan di Pelatnas, PBSI mengusahakan agar jumlah atlet putra dan putri disetarakan.

“Kuota untuk di Pelatnas sendiri kita mau semuanya bisa sama-sama punya prestasi. Tapi dari permasyarakatan, permasalahan bulu tangkis dari hasil pertandingan atau bibit-bibit, memang terlihat agak sedikit jomplang,” tutur peraih emas dalam Olimpiade Barcelona 1992 tersebut.

“Kita melihat kalau di turnamen putra biasanya pemainnya banyak, kalau pemain putri paling enggak sampai setengahnya, bahkan cuma 40% atau 30%.”

Kesalahan Mia Audina

JADI WNA. Mia Audina saat membela Belanda dalam turnamen Piala Uber 2006 di Tokyo, Jepang. Foto oleh TOSHIFUMI KITAMURA / AFP

Setelah era Susi Susanti, sebenarnya Indonesia sempat memiliki harapan baru. Dia adalah Mia Audina, yang dijuluki ‘Si Anak Ajaib’ setelah menjadi bagian dari tim Piala Uber Indonesia tahun 1994 saat masih berusia 14 tahun.

“Kita sebetulnya punya banyak atlet [saat itu], sekitar ada 8-10 orang. Tapi karena waktu itu yang menonjol Mia sendirian, usia paling muda, paling menonjol, akhirnya yang di atas dia itu ‘dibuang’. Yang diprioritaskan Mia,” kata Susi Susanti.

Saat itu, atlet muda lainnya akhirnya banyak yang memutuskan untuk pindah kewarganegaraan dan membela negara lain. Sayangnya, Mia ternyata juga tidak bertahan di Indonesia. Setelah menikah dengan pria berkebangsaan Belanda, Mia pun pindah dan mewakili negara tersebut.

“Nah itu lah, ada satu era yang hilang, otomatis generasi ini ekstra mengejarnya untuk ke atas. Sehingga mungkin belakangan kan kita waktu itu sempat enggak terlalu banyak prestasi.”

Pengorbanan yang besar

Untuk bisa berprestasi di bidang olahraga, khususnya bulu tangkis, memang membutuhkan pengorbanan yang besar. Menurut Susi, ada empat hal utama yang dibutuhkan oleh seorang calon atlet bulu tangkis untuk berprestasi.

“Yang dibutuhkan tentunya: mau kerja keras, lalu disiplin, betul-betul fokus dan konsentrasi, dan harus bersikap profesional seperti dia bekerja sebagai pekerja profesional,” katanya.

Seluruh hal tersebut dibutuhkan karena untuk meraih prestasi, seorang atlet harus melalui proses yang panjang dan harus mau diatur dalam berbagai bagian dalam kehidupan sehari-hari mereka.

“Makan harus diatur, tidur, latihan, banyak banget prosesnya,” tutur Susi.

Atlet sektor tunggal putri nomor 1 Indonesia saat ini, Fitriani, juga mengemukakan hal serupa. Fitriani bercerita bahwa ia tinggal terpisah dari orang tuanya sejak usia 7 tahun karena bergabung dengan klub Exist untuk fokus mengasah kemampuan bulu tangkisnya.

“Saya sempat [tinggal] di Bandung waktu umur 7-8 tahunan. Itu di Bandung berdua sama kakak dan orang tua di Serang, Banten, waktu kelas 2 SD, kurang lebih 2 tahunan tinggal di klub,” tuturnya saat ditemui seusai latihan di Pelatnas PBSI Cipayung, Jakarta Timur, awal April lalu.

Tantangan juga dialami saat para atlet mengalami cedera. Bagi Fitri, saat-saat cedera sempat membuatnya merasa putus asa. Namun dukungan penuh dari orang terdekat selalu membuatnya kembali termotivasi.

“Semua pasti pernah ngalamin nge-down, putus asa gitu. Cuma dari orang tua juga tetap kasih support, kasih semangat,” katanya.

Upaya meningkatkan prestasi bulu tangkis putri

Fitriani yang merupakan pebulutangkis putri nomor 1 Indonesia saat ini hanya berada di peringkat 28 dunia. Peringkat ini tentu belum cukup baik bagi bangsa kita yang dikenal sebagai salah satu negara yang disegani dalam dunia bulu tangkis. Oleh karena itu, berbagai upaya sedang dilakukan oleh PBSI untuk meningkatkan terus prestasi tim putri.

Salah satu program yang dilakukan Susi Susanti sebagai Kepala Pembinaan dan Prestasi PB PBSI adalah menghidupkan kembali program Pelatnas Pratama. Tak seperti Pelatnas Utama yang mempersiapkan pemain untuk prestasi 1-2 tahun, Pelatnas Pratama difokuskan untuk membina bibit-bibit muda untuk jangka panjang.

“Memang program ini kita bikin untuk 4-6 tahun ke depan. Hal ini untuk menyiapkan regenerasi,” ujar istri dari mantan pebulutangkis Alan Budi Kusuma tersebut.

Selain mempersiapkan pembinaan untuk jangka panjang, PBSI juga berharap dengan adanya apresiasi yang cukup baik dari pemerintah untuk para atlet dapat mendorong minat masyarakat untuk menjadikan atlet sebagai pilihan pekerjaan.

“Mudah-mudahan dengan adanya penghargaan dan pemahaman dari pemerintah, perhatian juga akan lebih lagi,” tutur Susi.

Susi juga berharap bahwa perhatian terhadap penghargaan untuk atlet berprestasi dapat diwujudkan dalam bentuk undang-undang.

“Sehingga mungkin kalau jaminan masa depan sudah pasti, itu juga merangsang generasi muda untuk menjadi seorang atlet, karena sudah ada kepastian masa depan.”

Ketua Umum II PBSI Lutfie Hamid mengungkapkan bahwa pihaknya optimis dengan program yang dicanangkan Susi Susanti ini.

“Saya kira sekarang ini Mbak Susi sudah menyiapkan beberapa pemain-pemain yg nantinya diharapkan akan segera muncul dalam 2-3 tahun ini, paling tidak di tataran 50 besar dunia,” tuturnya saat ditemui saat menyambut kepulangan pasangan ganda putra Marcus Gideon/Kevin Sanjaya dari All England bulan Maret lalu.

Masih ada harapan

PENGGANTI SUSI SUSANTI? Fitriani berada di peringkat 28 dunia dan nomor 1 di Indonesia untuk sektor tunggal putri pada April 2017. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler.com

Meskipun jalan untuk menemukan ratu bulu tangkis baru sepertinya masih akan panjang, namun sang legenda Susi Susanti tetap optimistis.

“Saya selalu percaya, kalau kita mau kita bisa. Kita bangsa yang besar dan kita juga pernah melalui masa jaya bulu tangkis,” ujar Susi.

Optimisme ini muncul karena perempuan kelahiran Jawa Barat, 11 Februari 1971 ini melihat adanya potensi dan bakat dari para pemain muda.

“Pemain-pemain muda kita cukup baik dan saya di sini juga melihat progress, peningkatan juga terlihat. [Mengubah] mindset, cara berpikir dari generasi-generasi muda kita untuk maju. Karena kalau kita mau sebetulnya kita bisa,” katanya.

Untuk itu Susi pun berpesan agar para generasi muda yang berbakat untuk tidak ragu untuk berkarier sebagai atlet bulu tangkis profesional.

“Jangan ragu-ragu untuk bisa menggapai cita-cita, jangan takut dan tentunya dengan usaha. Apa yang kita lakukan dengan usaha keras pasti akan menghasilkan prestasi yang baik.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!