Real Madrid vs Barcelona: El Clasico setengah hati

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Real Madrid vs Barcelona: El Clasico setengah hati
Barca harus mengakui bahwa musim ini sudah berakhir lebih cepat bagi mereka.

JAKARTA, Indonesia — Kekalahan Bayern Muenchen atas Real Madrid di fase perempat final Liga Champions beberapa hari lalu tak membuat khawatir mantan pemainnya yang kini menjadi duta besar klub, Bixente Lizarazu. Menurut dia, kekalahan tersebut wajar.

“Klub-klub besar selalu membutuhkan waktu untuk transisi,” kata Lizarazu seperti dikutip New York Times.

Ya, Bayern memang harus beradaptasi dengan juru taktiknya yang baru musim ini. Carlo Ancelotti yang dilepas Real Madrid ditunjuk menukangi tim Bavaria tersebut. Der trainer asal Italia itu jelas membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan pasukannya . 

Namun, menganggap bahwa proses “transisi” hanya soal pergantian pelatih jelas sebuah upaya simplifikasi yang serampangan. Sebab, Bayern tak hanya beradaptasi dengan permainan baru di bawah Don Carletto. Tapi juga menghadapi situasi di mana para penggawa utamanya justru dalam waktu dekat akan meninggalkan sepak bola. 

Transisi dalam tubuh raksasa Jerman itu tak hanya soal Ancelotti. Tapi juga membangun gaya permainan yang jauh lebih baik dengan pasukan baru yang akan menjadi tulang punggung klub selama satu dekade. 

Jika di Bayern transisi itu sudah berlangsung dengan Ancelotti sebagai nakhodanya, tidak demikian halnya dengan Barcelona. Di Barca, pintu transisi itu bahkan baru saja dibuka. Dan pemicunya adalah pengumuman mundur entrenador mereka Luis Enrique.

Lelaki asal Gijon tersebut sudah menegaskan bahwa dia akan hengkang dari Camp Nou di akhir musim. Alasannya, dia sudah merasa cukup menangani klub Catalonia itu. 

Padahal, di mana-mana, transisi selalu ditandai dengan kondisi yang serba tidak stabil. Dan pengumuman pengunduran diri seorang manajer di tengah musim berjalan hanya akan membuatnya lebih buruk. 

Marcelo Lippi, misalnya. Allenatore Juventus yang mengawal kiprah Bianconeri selama lima musim itu, mendapati timnya gagal meraih scudetto di musim yang sama dia mengumumkan akan hengkang ke Inter Milan. 

Begitu juga Pep Guardiola. Pengumuman kemunduran dia di tengah musim 2011-2012 dari Barcelona hanya membuat timnya gagal di perburuan gelar Primera Division dan melihat Chelsea mengangkat Si Kuping Besar—sebutan untuk piala Liga Champions—untuk kali pertama dalam sejarah klub. 

Transisi memang dibutuhkan oleh klub-klub besar. Untuk berganti pelatih atau  menggantikan para pemain utama yang sudah lewat masa kejayaannya. Dan Barcelona tak bisa dikecualikan dari fase-fase krusial tersebut. Justru setiap kali selesai menjalani masa transisi, Blaugrana akan muncul kembali untuk tampil jauh lebih kuat.

Transisi dari era Frank Rijkaard menuju era Pep Guardiola menjadi salah satu bukti yang paling sahih. Barcelona-nya Guardiola adalah salah satu tim terbaik sepanjang lebih dari satu abad sejarah klub Catalonia tersebut. Bahkan Johan Cruyff, legenda yang membawa filosofi permainan—yang lebih populer disebut tiki taka ituke Camp Nou menganggap Pep telah menerapkan pemikirannya dengan sempurna. 

Kali ini, mau tidak mau Barca bakal menghadapi salah satu masa transisi besar dalam sejarah klub. Sebab, mereka bakal benar-benar lepas dari bayang-bayang Guardiola. 

Era Luis Enrique masih bisa dianggap menjadi bagian dari era Guardiola. Mantan pelatih Celta Vigo itu masih menggunakan pondasi permainan Guardiola—meski lebih direct dan mengombinasikannya dengan bola-bola crossing. Dia juga masih mengandalkan hampir semua pemain asuhan manajer yang kini membesut Manchester City itu. 

Menunggu era baru

Transisi Barca kali ini tak hanya dalam pemimpin nakhoda permainan. Tapi juga membangun skuat utamanya. Nama juru taktik baru mereka memang belum dipastikan. Beberapa nama sedang digodok termasuk asisten Enrique, Juan Carlos Unzur, manajer Everton Ronald Koeman, dan manajer Tottenham Hotspur Mauricio Pochettino. 

Siapapun nama yang akan ditunjuk, mereka akan membawa beban ekspektasi tak hanya sebagai pelatih. Tapi juga pengawal satu era baru Camp Nou di masa depan. 

Dalam transisi kali ini, Barca akan dihadapkan para fakta bahwa pasukannya sudah mulai menua. Lionel Messi bakal berumur 30 tahun pada Juni tahun ini. Sementara para pemain seperti Luis Suarez, Gerard Pique, dan Javier Mascherano sudah mulai meninggalkan masa-masa kebintangannya. Sedangkan para pemain pelapis belum ada yang bisa benar-benar menyamai level mereka. 

Bagi klub dengan slogan Mes Que un Club (lebih dari sekadar klub) seperti Barca, masa transisi dihadapi dengan sangat hati-hati. Pelatih tak bisa ditunjuk secara sembarangan. Pertimbangannya tak hanya soal rasio kemenangan pelatih, tapi juga bagaimana kemenangan itu diraih.

Kita tentu masih ingat, salah satu alasan mengapa Jose Mourinho ditolak menjadi pelatih Barca adalah kebiasaannya yang sering memicu kontroversi. Juga begitu mudahnya dia mengumbar kesombongan dan menyebut dirinya sebagai sosok spesial. 

Padahal, di klub seperti Barcelona, tidak ada yang boleh menganggap dirinya lebih besar daripada klub.

Zlatan Ibrahimovic, mantan pemain Barca yang kini bersama Manchester Uniited, pernah bercerita, bahkan jenis mobil yang dibawa ke tempat latihan pun diatur. Jangan sampai terlalu mewah hingga mengganggu stabilitas di internal pemain.

“Dan para pemain di klub ini menaati aturan-aturan konyol itu seperti anak sekolah yang patuh pada peraturan,” kata Ibra di buku biografinya. 

Transisi di Barca jelas lebih rumit dibanding, misalnya, di Real Madrid. Di Real, transisi berjalan dengan lebih praktis. Pelatih baru didatangkan dan ditagih kemenangan. Para pemain hebat dibeli dan biarkan pelatih yang menyulap mereka menjadi piala-piala.

Jika gagal, mereka tahu bahwa pintu klub akan terbuka lebar bagi mereka untuk pergi. 

Karena itu, jangan heran jika bahkan pelatih yang sudah memberi gelar kesepuluh Liga Champions (La Decima) sekaliber Carlo Ancelotti pun tetap dipaksa pergi meski sudah memberi piala yang sudah mereka kejar sepanjang 12 tahun. 

Bagi Real, transisi tak perlu rumit. Ukurannya juga gampang: kemenangan dan gelar. 

Bagi Barca, situasi tidak semudah itu karena sosok entrenador juga adalah wajah publik bagi klub. Mereka tak hanya harus bisa mempersembahkan kemenangan, tapi juga meraihnya dengan cara-cara yang elegan, “ningrat”, dan tidak “murahan”. 

Karena itu, di tengah masa transisi Barcelona yang mulai berlangsung sejak Enrique memutuskan mundur itu, jangan terlalu berharap mereka akan bisa tampil cemerlang seperti biasa.

Kekalahan atas Paris Saint-Germain (PSG) 0-4 kemudian disusul kekalahan atas Juventus 0-3 di fase perempat final menunjukkan bahwa gairah di dalam diri para pemain sudah luntur. Mereka sudah tidak lagi memikirkan musim ini.

Pikiran mereka sudah bagaimana musim depan Barca akan membangun lagi tim bersama pelatih anyar yang lebih memahami gaya permainan Azulgrana. 

Memang, mereka masih berpeluang untuk menggagalkan Real meraih gelar di Primera Division. Tapi, selisih 3 angka tak akan ada artinya. Los Blancs akan terus berada dalam kondisi terbaiknya. Apalagi mereka juga baru lolos ke semifinal Liga Champions setelah mengalahkan Bayern.

Peluang Barca semakin tipis karena pasukan Enrique itu sudah memainkan satu laga lebih banyak dibanding Real.

“Transisi memang sebuah proses yang tidak mudah. Tapi, klub-klub besar selalu bisa melaluinya dengan baik,” kata Lizarazu. 

Bagi Barca, transisi ini akan menentukan masa depan klub untuk lima musim ke depan—bahkan lebih. Dan jika mereka bisa melaluinya dengan mulus, klub seperti Real akan kembali menghadapi masa paceklik gelar yang lama seperti era Guardiola.—Rappler.com

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!