AS Monaco vs Juventus: Identitas baru Si Nyonya Tua

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

AS Monaco vs Juventus: Identitas baru Si Nyonya Tua
Tak ada lagi sisa-sisa kejayaan Conte di Juve. Semua kini milik Allegri.

JAKARTA, Indonesia — Saat Massimiliano Allegri ditunjuk sebagai pelatih Juventus, banyak Juventini yang mengecam keputusan manajemen tersebut. Rekam jejak terakhir Allegri di AC Milan yang tak meyakinkan membuat mereka ragu dia bisa mempertahankan apa yang sudah dibangun Antonio Conte. 

Tak hanya menolak namanya, para Juventini bahkan melakukan aksi penghinaan untuk merespons kehadirannya. Mereka melempar telur busuk saat Allegri menginjakkan kaki pertama ke markas klub Turin tersebut. 

Tiga musim berjalan, tampaknya para suporter itu harus menelan kembali kata-katanya. Allegri terbukti menjadi pilihan terbaik Bianconeri. Juve praktis tak sedikitpun oleng dari dominasi mereka di Serie A.

Musim ini, untuk kali ketiga mereka akan meraih scudetto beruntun bersama pelatih kelahiran Livorno itu. Gelar keenam beruntun Juve jika dihitung sejak era kebangkitan mereka pasca skandal dan sanksi. 

Artinya, praktis tak ada prahara apapun sejak tongkat estafet kepelatihan itu beralih dari Conte kepada Allegri. 

Bahkan, bersama Allegri, mereka memiliki “bonus” yang tak bisa diberikan Conte: konsisten di empat besar Liga Champions dalam tiga musim belakangan. Bahkan, dua musim lalu, atau tepatnya di musim pertama Allegri menduduki kursinya, Juve langsung tembus partai puncak perebutan Si Kuping Besar itu meski dihajar Barcelona 1-3. 

Allegri juga terbukti menunjukkan dirinya sebagai sosok juru taktik yang matang. Dia bukan tipe pelatih yang egois dan memaksakan pola permainan favoritnya kepada tim. Di musim-musim pertamanya, mantan pelatih Cagliari dan Sassuolo itu tak banyak melakukan perombakan. Dia justru membangun Juve baru dengan gaya, pemain, dan pondasi yang ditinggalkan Conte. 

Perubahan butuh waktu. Dan Allegri benar-benar menikmati waktunya. Pelan-pelan dia mengubah wajah La Vecchia Signora. Hengkangnya Andrea Pirlo, pemain yang menjadi “legacy” Conte di Juve, menjadi penanda bahwa perubahan itu sedang terjadi. Begitu juga masuknya Sami Khedira, Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, dan Dani Alves.

Juve yang di era Conte lebih banyak bermain dengan umpan-umpan panjang kini lebih variatif. Mereka juga lebih memiliki variasi skema set-play di area akhir. Kehadiran Paulo Dybala, pemain yang memiliki keunggulan dalam dribble,memberi dimensi berbeda di kotak terlarang lawan. 

Juve baru di bawah Allegri lebih mampu melakukan banyak hal dibanding era Conte yang monoton.  

Jika era Conte identik dengan sistem tiga bek, Allegri lebih fleksibel. Dia bisa bermain 4-2-3-1 atau juga 3-5-2. Tak hanya itu, dia juga kerap melakukan perubahan sistem di tengah laga. Saat melawan Barcelona di babak perempat final, misalnya. Beberapa kali Juve berpindah dari sistem tiga bek menjadi empat bek. 

“Bersama dia, kami tak hanya terpaku pada satu formasi. Kami bisa berganti-ganti karakter permainan bahkan saat laga sedang berlangsung,” kata gelandang Claudio Marchisio seperti dikutip These Football Times. 

Kemampuan untuk beradaptasi itulah yang tak dimiliki Conte tapi begitu dikuasai Allegri. Bersama Conte, lanjut Marchisio, formasi dan skema set-play lebih terencana. Penerapan di lapangan juga lebih disiplin—untuk tidak disebut kaku. “Allegri lebih fleksibel,” katanya.

Allegri lebih mampu adaptasi

Adaptasi memang menjadi salah satu masalah Conte. Meski Chelsea kini berada di puncak Liga Primer, tim London biru itu kerap kebingungan jika melawan tim yang mengenal betul karakter mereka. Mereka sulit merespons perubahan. 

Dalam laga melawan Manchester United pada Minggu, 16 April lalu, misalnya. Conte kelimpungan merespons formasi kejutan 3-5-2 yang dimainkan United. Victor Moses dan Cesar Azipilicueta sampai harus saling berganti posisi demi bisa keluar dari cengkeraman pasukan Jose Mourinho.

Selain itu, kekuatan lain pelatih 49 tahun itu adalah dalam hal rotasi pemain. Allegri mampu mengelola skuat “gemuk” seperti Juve dengan baik. Mereka punya striker dengan selisih kualitas yang tak terlalu drastis seperti Mario Mandzukic dan Gonzalo Higuaian, atau di lapangan tengah seperti Claudio Marchisio dan Sami Khedira.

Manajemen pemain ala Allegri terbukti berhasil jika dilihat pada urusan mencetak gol. Gol-gol Juve di Liga Champions dicetak 11 pemain berbeda. Dan hampir semua lini pernah memberi kontribusi gol

Statistik ini menunjukkan bahwa selain tidak bergantung pada sejumlah pemain tertentu, Juve juga tidak menyandarkan produktivitas gol kepada para penyerang. 

Laga melawan AS Monaco pada Kamis, 4 April, pukul 01.45 WIB di leg pertama semifinal Liga Champions bakal kembali menjadi ujian Allegri. Laga ini jelas sarat kenangan bagi para penggemar Juve. Pada 1998, Juve yang masih diperkuat Allessandro Del Piero menghadapi AS Monaco di semifinal. Mereka menang 4-1 di kandang (saat itu masih di Delle Alpi) dan kalah 2-3 di Stade Louis II, kandang Monaco. 

Beberapa nama pemain bakal absen. Salah satunya Khedira. Namun, Allegri tak bakal risau. “Marchisio bisa mengisi pos yang ditinggalkan Khedira. Khedira memang lebih physical sedangkan Marchisio lebih mobile. Masing-masing tak hanya saling mengisi tapi juga memberi perbedaan saat bermain,” kata Allegri seperti dikutip dari Football Italia.—Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!